Penyelesaian Pewarisan Beda Agama dalam Perspektif Islam
Agama | 2023-11-03 13:45:33Perjalanan kehidupan manusia tidak akan terlepas dari kematian. Peristiwa kematian itu menyebabkan munculnya suatu hukum pewarisan yaitu proses beralihnya hak dan harta orang yang meninggal kepada ahli warisnya.
Dalam masalah waris terdapat 3 unsur pokok yaitu pewaris, ahli waris, dan harta yang diwariskan. Dalam pewarisan terdapat hal-hal yang menghalangi ahli waris mendapatkan warisan dari yang mewariskan. Salah satunya yaitu perbedaan agama.
Dimasa kontemporer seperti sekarang ini permasalahan pewarisan beda agama tak jarang terjadi. Pewarisan tersebut melibatkan 2 pihak yang berbeda keyakinan,pewaris muslim sementara ahli waris non muslim atau sebaliknya.
Para ahli fikih sepakat bahwa pewarisan beda agama tidak diperbolehkan dalam Islam. Oleh karena itu non muslim tidak bisa mewarisi harta orang yang beragama Islam dan orang yang beragama Islam tidak bisa mewarisi harta yang beragama selain Islam. Sebagaimana sabda Nabi Saw, لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ، ولا يَرِثُ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
Artinya, “Orang muslim tidak bisa wewarisi orang kafir (begitu juga sebaliknya) orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hukum mengenai ketentuan dan syarat-syarat pewaris dan ahli waris dalam proses pembagian warisan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 butir b dan c KHI. Dalam butir b KHI diterangkan bahwa "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan."
Dalam butir c Pasal 171 ditegaskan bahwa "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
Berdasarkan sabda Nabi Saw dan Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka pewarisan beda agama tidak diperbolehkan.lalu bagaimana solusi agar ahli waris tetap mendapatkan harta dari pewaris yang berbeda agama?
Ada beberapa solusi agar ahli waris bisa mendapatkan harta dari orang tuanya. Namun solusi ini bukanlah sebagai pengganti warisan akan tetapi alternatif agar tidak menimbulkan sengketa nantinya.
Solusi tersebut antara lain :
1. Hibah
Dilansir dari Wikipedia hibah merupakan "pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga."
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 butir g, "hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki."
Hibah dapat menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan harta dari pewaris dengan syarat orang yang berbeda agama itu bukanlah musuh Islam. Status yang mendapatkan harta disini adalah sebagai penerima hibah bukan sebagai ahli waris.
2. Kesepakatan saudara
Maksud dari kesepakatan saudara disini adalah pemberian dari jatah warisan dari saudara kepada saudaranya yang berbeda agama dengan maksud pemberian suka rela, bukan kesepakatan pemberian warisan. Jadi yang diberikan adalah bagian saudara yang berhak mendapat warisan kepada yang saudarnya yang tidak mendapatkam warisan tanpa adanya paksaan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris merupakan salah satu hal yang menjadi penghalang dalam mendapatkan warisan dan pewarisan beda agama tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. Hibah dapat menjadi upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul kepada ahli waris beda agama, seperti khawatir ahli waris itu akan terlantar setelah kematian pewarisnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.