Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Intan Mellina Cahyani

Menilik Aspek Keadilan dalam Pajak Penghasilan

Edukasi | Wednesday, 01 Nov 2023, 16:53 WIB

Akhir juni 2023 yang lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 66 tahun 2023 yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PMK ini membahas tentang perlakuan pajak penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan.

Aturan ini menegaskan tentang pajak penghasilan yang dikenakan kepada penerima imbalan atau penghasilan yang bentuknya bukan uang namun dalam bentuk barang atau fasilitas. Sebelum aturan ini terbit, pemberian barang atau fasilitas dari perusahaan kepada karyawannya dianggap bukan penghasilan yang dikenakan Pajak, sehingga banyak fasilitas ataupun natura yang diterima orang pribadi/ karyawan tidak dikenakan pajaknya.

Sedangkan dari sisi perusahaan pengeluaran tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Hal ini membuat perusahaan harus menanggung beban yang besar ketika memberikan fasilitas / barang kepada karyawannya. Dengan terbitnya PMK-66 tahun 2023 ini, perusahaan kini bisa mengurangkan biaya atas fasilitas/ natura yang dikeluarkan. Si sisi lain, penghasilan natura dan/ fasilitas ini dianggap penghasilan yang dipotong Pajak penghasilan.

Tentu hal ini dirasa lebih adil, karena bagi karyawan yang tidak mendapat fasilitas atau natura, pajaknya tidak akan sebesar karyawan yang mendapat fasilitas / natura. Biasanya semakin tinggi kedudukan karyawan dalam perusahaan maka akan semakin banyak fasilitas atau pemberian dari perusahaan. Oleh karena itu, adalah wajar dan adil apabila yang mendapat natura/ fasilitas lebih harus membayar pajak yang juga lebih besar dari karyawan lain yang tidak menerima natura / fasilitas.

Kalau kita tengok kembali, pemenuhan aspek keadilan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak hanya tercermin dari PMK 66 tahun 2023. Ada beberapa aturan turunan UU HPP yang didasari oleh semangat keadilan bagi masyarakat pembayar pajak. Tentu aturan-aturan ini belum bisa dikatakan adil secara ideal. Namun sebuah keadilan yang diupayakan tetap lebih baik dari yang tidak diakomodir sama sekali. Adil dalam istilah ini diartikan bahwa warga negara yang berpenghasilan tinggi harus mengemban beban pajak lebih tinggi dibanding yang berpenghasilan di bawahnya. Semua keadilan yang diusahakan ini diharapkan bisa menyuntikkan semangat gotong royong, saling bahu membahu dalam membangun bangsa dan meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau biasa disebut UU HPP ditetapkan tanggal 29 Oktober 2021 dan merupakan penjabaran dari UU Cipta Kerja no. 11 tahun 2020. Walaupun UU Cipta Kerja sudah mengalami perubahan, namun dari segi perpajakan UU HPP masih termasuk yang dipertahankan materinya. Aspek keadilan merupakan salah satu unsur yang menjadi semangat dalam Undang-Undang ini. Dalam pasal 1 UU HPP disebutkan bahwa Undang-undang ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Masih di pasal 1 di ayat kedua menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari dibentuknya UU ini adalah untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Lahirnya UU HPP membawa semangat baru dalam kesadaran membangun negeri lewat membayar pajak.

Dalam istilah pajak, seorang Wajib Pajak digolongkan UMKM apabila omzetnya masih dibawah Rp4,8 milliar per tahunnya. Sebelum hadirnya UU HPP, menurut PP 46 tahun 2018, wajib pajak orang pribadi UMKM dikenakan tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet. Berapapun omzetnya asalkan masih di bawah Rp 4,8 milliar akan dikenakan tarif pajak final sebesar 0,5% tanpa batasan omzet minimal dan tanpa melihat unsur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal ini membawa konsekuensi bagi kalangan usaha untuk tetap membayar pajak walaupun omzetnya sangat kecil. Bisa kita bayangkan, misalnya bagi tukang sayur atau pedagang kecil di pasar, nilai setengah persen dari omzet tentu sangat berarti jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh sehari-hari. Banyak yang memandang aturan ini kurang adil dan kurang efektif karena tidak ada batasan minimal omzet tidak kena pajak. Pada akhirnya hanya sedikit kalangan UMKM yang mau membayar pajak.

Kalau dibandingkan dengan wajib pajak karyawan, mereka memiliki batasan PTKP dimana karyawan yang penghasilannya masih dibawah PTKP tidak akan dikenai tarif pajak. PTKP saat ini untuk satu orang karyawan yang belum menikah dan tidak ada tanggungan adalah sebesar Rp 54 juta. Maka karyawan dengan penghasilan maksimal Rp 54 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak.

Satu sisi keadilan dari UU HPP yang bisa dirasakan masyarakat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) saat ini adalah penetapan batas omzet yang tidak kena pajak. Kalau seorang karyawan bisa mendapat PTKP, maka dengan amanat UU HPP, kini UMKM orang pribadi dengan omzet sampai 500 juta tidak dikenakan tarif pajak 0,5%. Pajak final baru akan dikenakan apabila omzet di tahun tersebut telah diatas Rp500 juta. Hal ini berlaku setiap tahunnya.

Untuk perhitungan pajak lebih adil lagi, Wajib Pajak UMKM bisa menggunakan pembukuan untuk menghitung keuntungan. Nilai pajak yang disetorkan nantinya adalah sebesar keuntungan setahun dikurangi PTKP, kemudian dikalikan tarif Pajak Penghasilan Orang pribadi. Dengan begitu apabila WP mengalami kerugian,maka secara otomatis tidak ada Pajak penghasilan terutang yang harus disetor. Dalam ketentuan ini, apabila Wajib Pajak tersebut sudah menggunakan pembukuan, maka tidak bisa kembali menggunakan tarif PPh final menurut PP 46 tahun 2018 (sebesar 0.5% dari omzet).

Selain batas omzet UMKM yang tidak kena pajak, UU HPP juga melahirkan interval baru penghasilan kena pajak. Sebelumnya interval penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut: Rp 0-Rp50 juta pajaknya 5%, Rp 50 juta-Rp 250 juta pajaknya 15%, Rp250jt- Rp500 jt pajaknya 25%, dan diatas Rp 500 juta pajaknya 30%. Saat ini interval pajak dengan undang-undang yang baru, ditetapkan penghasilan antara Rp 0-Rp60 juta pajaknya 5%, Rp60 juta - Rp250 juta pajaknya 15%, Rp250 juta-Rp500 juta pajaknya 25%, Rp500juta- Rp5 Milliar pajaknya 30%, dan diatas Rp 5 Milliar pajaknya 35%. Dari perubahan aturan ini dapat kita lihat bahwa pemerintah ingin membagi beban pajak dengan lebih adil. Kepada masyarakat dengan penghasilan kena pajak dibawah 60 juta diturunkan tarifnya menjadi 5%. Kepada masyarakat dengan penghasilan kena pajak diatas Rp 5M dikenakan tarif 35% (naik 5% dari sebelumnya). Dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi kepada warga negara yang berkemampuan lebih diharapkan asas keadilan dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat.

Aspek keadilan lainnya dari UU HPP adalah penghapusan pajak penghasilan atas Sisa Hasil Usaha (SHU) yang diterima anggota koperasi. Sebelumnya SHU harus dipotong PPh final sebesar 10% sebelum diserahkan kepada anggota koperasi. Hal ini tentu dianggap sebagai langkah positif dalam memajukan sektor ekonomi kerakyatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa koperasi memiliki andil besar dalam meningkatkan taraf ekonomi dari kalangan petani, pedagang, dan masyarakat menengah ke bawah. Dengan di hapusnya pajak penghasilan atas SHU maka bagian yang diterima oleh anggota koperasi akan tetap utuh tidak terpotong pajak.

Sebagaimana SHU, Dividen yang diterima oleh orang pribadi saat ini dapat dikecualikan dari pemotongan PPh dengan syarat diinvestasikan kembali di Indonesia. Opsi ini cukup menarik dan adil karena dapat memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, baik Wajib pajak maupun negara. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas ini harus melaporkan investasi dari dividen yang diterimanya di akun pajak yang terdaftar di laman www.pajak.go.id. Wajib Pajak dapat memilih menu ereporting investasi untuk langsung melaporkan investasi atas dividen secara online. Apabila tidak dilaporkan dalam waktu yang telah ditentukan maka Wajib Pajak tersebut harus membayarkan PPh final sebesar 10% dari nilai dividen.

Itulah beberapa aspek keadilan dari pengenaan Pajak Penghasilan saat ini. Perubahan ini didasari atas semangat memberikan keadilan yang lebih baik bagi masyarakat. Adanya sisi keadilan dalam pengenaan pajak diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam berkontribusi. Demi terciptanya negara sejahtera adil dan makmur, pemerintah harus memelihara sensitifitas dalam menelisik rasa keadilan di tengah masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image