Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AqilahL

Dampak Bullying Terhadap Perkembangan Kepercayaan Diri Peserta Didik

Edukasi | Sunday, 29 Oct 2023, 22:02 WIB

Pada ilmu psikologi, terdapat aliran teori bullying yang dikembangkan oleh Olweus. Menurutnya, bullying merupakan perilaku agresi bersifat proaktif yang merujuk pada tindakan sengaja dari seseorang atau kelompok untuk maksud atau tujuan tertentu sebagai bentuk hukuman balasan kepada korban (Astuti, hlm. 21). Menurut Matuzahroh bullying merupakan perlakuan secara terencana dan sengaja dilakukan seseorang yang mempunyai kekuatan lebih dibandingkan korbannya. Melengkapi pendapat sebelumnya, Mellor (dalam Wicaksana, 2010) menyatakan tindakan disebut bullying saat terlihat adanya perilaku pemaksaan atau pencobaan tindan menyakiti, baik secara verbal maupun nonverbal terhadap orang atau sekelompok orang yang dianggap lebih lemah dari orang atau sekelompok orang yang memiliki persepsi bahwa dirinya lebih kuat (Ulfiah, 243). Jadi, dapat disimpulkan tindakan bullying merupakan sikap pelaku kepada korban, yang dianggap lebih lemah dibandingkan dirinya, dengan cara menyakiti dan mengintimidasi, baik secara verbal maupun nonverbal di dunia nyata ataupun dunia maya sehingga korban merasa tidak nyaman dan tertekan.

Tindakan bullying tidak mengenal usia ataupun fisik, baik pihak pelaku maupun pihak korban. Tak terkecuali tempat pem-bully-an itu terjadi, seperti di sekolah yang menjadi tempat para individu peserta didik mendapatkan bimbingan dan pengajaran menyangkut intelektual, moral, emosional, dan sosialnya (Irmayanti dan Agustin, hlm. 5). Marak ditemui kasus-kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah, seperti berita hangat yang dikutip dari CNN Indonesia mengenai tersangka pelaku berinisial MK berusia 15 tahun bersama WS berusia 14 tahun melakukan aksi perundungan terhadap korban berinisial FF berusia 14 tahun berupa tindakan kekerasan fisik, seperti menendang, menginjak, dan memukul secara membabi-buta. Kejadian serupa dikutip dari berita Kompas korban berinisial NA yang kerap diejek dan berlanjut hingga mendapatkan pem-bully-an secara nonverbal dari pelaku berinisial MS. Keduanya sama-sama bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri 2 Makassar. Dari kasus-kasus berita yang ditemukan, segala alasan yang mendasari pelaku melakukan aksi bullying tentu tidak dapat diwajarkan. Umumnya pelaku bullying memiliki keyakinan akan pemikiran bahwa dirinya lebih kuasa dan kuat (Irmayanti dan Agustin, hlm. 6). Namun, mereka memanifestasikan kekuasaannya lewat tindakan yang semena-mena kepada korban yang dianggapnya lemah.

Kasus bullying dapat berupa aspek verbal dan aspek nonverbal. Tindakan bullying secara verbal berkaitan dengan lontaran kata-kata seperti ejekan, hinaan, tuduhan, fitnahan, mempermalukan di khalayak umum, makian, sorakan, dsb (Irmayanti dan Agustin, hlm. 6). Dalam aspek bullying verbal ini dikatakan Putri, Ismaya, & Fardani (dalam Jelita, Purnamasari, & Basyar, hlm. 234) terbagi menjadi dua bentuk, yakni verbal fisik dan verbal nama panggilan. Verbal fisik berkenaan dengan hinaan, ejekan, dan memperlakukan terhadap apa yang menjadi 'kekurangan' fisik korban, sedangkan verbal nama panggilan berkenaan dengan ejekan dan hinaan yang dengan sengaja dibuat sebagai bahan ledekan atau membuat sebutan yang dapat berpotensi mempermalukan diri korban. Lain hal dengan aspek verbal, bullying secara nonverbal berkaitan pada kontak fisik langsung antara pelaku dengan korban, seperti dorongan, pukulan, tamparan, tendangan, dsb yang langsung bertindak kekerasan fisik (Irmayanti dan Agustin, hlm. 7).

Dari banyaknya bentuk pem-bully-an, bullying verbal seringkali tidak disadari oleh pelaku bahwa tindakannya itu sudah termasuk perundungan terhadap korban bahkan pelaku bisa saja tidak tahu jika dirinya sudah atau pernah melakukan perundungan terhadap korban karena kerap berlindung dibalik kata bercanda padahal potensi dari tindakannya tersebut dapat berdampak kepada psikis korban. Kasus yang sudah disinggung sebelumnya, korban berinisial NA mendapatkan perlakuan bullying dari temannya yang berinisial MS di sekolah salah satunya berupa ejekan dan hinaan fisik yang dimilikinya, yakni giginya jelek dan busuk. Kasus dari bullying verbal berupa ejekan, hinaan, dan ledekan nama panggilan tersebut nyatanya bisa berdampak terhadap perkembangan kepercayaan diri dan harga diri korban. Kepercayaan diri merupakan aspek penting pada kepribadian seseorang.

Kepercayaan diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya sendiri dalam mengahadapi segala kondisi serta situasi sehingga dapat menyelesaikan berbagai persoalan dengan rasa tanggung jawab. Maka dari itu, rasa percaya diri yang dimiliki oleh para peserta didik akan sangat penting untuk dapat membantu mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya secara maksimal, baik di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya (Sholihah, hlm. 35). Menurut Hakim pertumbuhan kepercayaan diri itu bertahap dan berkembang seiring terbentuknya proses tersebut. Secara garis besar, kepercayaan diri terbentuk dari tahap berikut: (1) Pemahaman akan segala kelebihan yang dipunya hingga menciptakan keyakinan untuk dapat melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kelebihannya tersebut, (2) Pemahaman atas segala kelemahan yang dipunyai dengan mereaksi positif supaya tidak memunculkan rasa rendah diri dan sulit dalam menyesuaikan diri, dan (3) Pengalaman menjalani berbagai aspek kehidupan dengan memanfaatkan serta menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (dalam Amri, hlm. 162). Dari tiga tahap terbentuknya rasa percaya diri tersebut jika salah satunya direnggut oleh kasus bullying yang diterima oleh peserta didik tentu akan menggangu perkembangan kepercayaan dirinya. Kala peserta didik sudah bisa menggunakan kelebihannya dengan baik sehingga kekurangan dirinya tidak menjadi suatu masalah karena lebih memaknai kelebihan yang dimilikinya, tetapi secara tiba-tiba mendapat tindakan bullying terhadap apa yang menjadi kekurangannya tadi maka pada tahap ketiga peserta didik tersebut tidak bisa menjalani kehidupan dengan memanfaatkan kelebihannya secara optimal dan sebagaimana harusnya seperti pada tahap pertama. Perlu diingat bahwa kepercayaan diri pada peserta didik bukanlah suatu bakat dari dirinya melainkan kualitas mental dan aspek kepribadian yang dimiliki mereka (Azmi, dkk., hlm. 3557). Hal ini berati juga bahwa kepercayaan diri dapat terbentuk lewat proses interaksi yang di alami di lingkungannya.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Sholihah bahwa faktor-faktor pembentuk kepercayaan diri dibagi menjadi dua, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal pembentuk kepercayaan diri, seperti konsep diri, harga diri, kondisi fisik yang dimiliki, dan pengalaman hidup yang dialami, sedangkan faktor eksternal, seperti pendidikan, pekerjaan, serta lingkungan dan pengalaman hidup. Dapat dibayangkan jika pembentukan kepercayaan diri pada individu peserta didik terhambat di salah satu faktor, yakni lingkungan dan pengalaman hidup karena dialaminya tindakan perundungan tersebut. Pada penelitian Harahap dan Saputri yang berjudul Dampak Psikologis Siswa Korban Bullying di SMA Negeri 1 Barumun peserta didik korban bullying berinisial SM kerap diejek dengan penyebutan genderuwo, genderuwo. Di saat pembelajaran berlangsung pun SM terlihat tidak memiliki teman bahkan teman yang berada di sampingnya seolah memandangnya layaknya hal yang menjijikan. Kejadian serupa dialami oleh peserta didik korban bullying berinisial NS yang kerap mendapatkan bentakan dan sebutan bodoh dan goblok oleh teman-temannya ketika ia maju untuk menjawab pertanyaan. NS pula mendapatkan bullying secara nonverbal karena temannya dengan sengaja menginjak kakinya dan melempar-lempar topinya. Terindentifikasi faktor pem-bully-an yang dialami SM dan NS ini karena adanya keterbatasan mereka dalam fisik, kognitif, dan sosialnya.

Masih dengan topik penelitian yang sama, penelitian Zakiyah, Fedryansyah, & Gutama yang berjudul Dampak Bullying Pada Tugas Perkembangan Remaja Korban Bullying mewawancarai peserta didik korban bullying di SMK Pariwisata Telkom Bandung berinisial LA yang mendapatkan cibiran dan dianggap semua yang dilakukan olehnya salah di mata teman-temannya. Serupa dengan LA, peserta didik korban bullying berinisial MJ selalu dipojokkan, disindir, dan dipandang dengan tatapan tak nyaman oleh siswa-siswa di sekolah. Adapun penelitian Jelita, Purnamasari, & Basyar yang berjudul Dampak Bullying Terhadap Kepercayaan Diri Anak membahas kasus bullying yang terjadi pada setiap jenjang kelas di SD Negeri Kedungmundu Semarang dari kelas I hingga kelas VI. Peserta didik yang terlibat dalam kasus ini, yakni pelaku berinisial MSO dan RRD melakukan bullying terhadap I dan LA serta MSO juga melaksanakan bullying terhadap RA. Penjelasan dari sang kepala sekolah, bentuk bullying yang terjadi berupa verbal dan nonverbal. Bullying verbal, seperti mencemooh, mengucilkan, mengejek nama orang tua korban, memanggil dengan panggilan tidak pantai, hinaan fisik, sedangkan bullying nonverbal, seperti pemukulan, cubitan, tendangan, perobekan buku, dan lemparan tepung kepada teman yang tengah berulang tahun.

Kasus-kasus bullying di atas memiliki dampak yang hampir sama, yakni timbulnya trauma psikis dan penurunan kepercayaan diri pada peserta didik korban bullying. Pada peserta didik korban bullying inisial SM dan NS mengaku perkembangan sosialnya terhambat karena setelah pem-bully-an yang diterimanya mereka menjadi minder, pendiam, merasa tidak nyaman, dan tidak dihargai sehingga memutuskan untuk membatasi diri dalam bersosialisasi dan bergaul. Korban menjadi lebih diam, sedih, serta menangis karena trauma yang timbul pada diri mereka. Pada peserta didik korban bullying inisial LA yang sering menangis di kamarnya setelah pulang sekolah, menjadi merasa malu hingga malas untuk bersekolah karena akan bertemu dengan teman-teman. LA bahkan sampai memutuskan untuk bolos selama dua minggu lamanya dan pernah meminta untuk dipindahkan ke sekolah yang lain sehingga berdampak pada nilai akademiknya di semester akhir yang menurun. Dirasakan pula oleh MJ yang sedih dan terkadang merasa marah kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak bisa membantu dirinya untuk menghentikan perundungan yang ditujukan kepadanya. MJ pun sampai merasa takut kalau harus menjumpai kakak-kakak kelasnya di sekolah. Pada peserta didik korban bullying inisial RA dan I dampak bully-an yang diterima olehnya menjadikannya kerap murung, menyendiri, merasa tak nyaman, dan menangis hingga nilai akademik yang menurun. Berbeda dengan RA, peserta didik korban bullying inisial LA bully-an yang diterima olehnya dimanfaatkan menjadi bahan motivasi dirinya untuk lebih baik dan aktif lagi di sekolah.

Dampak-dampak kasus bullying verbal akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan diri peserta didik sebagai korban pem-bully-an. Kepercayaan diri para peserta didik yang terganggu perkembangannya akan mengakibatkan mereka menjadi tidak optimal dalam memanfaatkan kelebihannya, menjadi merasa minder atas kekurangannya, dan tidak makmisal dalam mengaktualisasikan potensi dirinya di sekolah hingga nilai-nilai mereka turun. Para korban yang dulunya merupakan peserta didik yang aktif, periang, ekspresif, dan nyaman di sekolah harus berubah menjadi pribadi yang tertutup, sensitif, takut, minder, dan menyendiri karena kepercayaan diri mereka yang hilang. Di sinilah peran guru dan orang tua harus hadir untuk bekerja sama menyikapi kasus bullying terhadap anak dan peserta didiknya agar dapat mengoptimalkan potensi dirinya dengan lebih baik lagi.

Orang tua sebagai pondasi utama bagi anak untuk menumbuhkembangkan karakternya. Membersamai diri mereka dengan sang anak tentu akan membangun kedekatan dan komunikasi yang harmonis. Kedekatan yang optimal bersama anak menyebabkan anak merasa dihargai, diinginkan, dipedulikan, dan diperhatikan sehingga mereka tidak akan mencari perhatian dari orang lain dengan tindakan dan perilaku yang kurang baik, seperti menjahili dan menimbulkan keributan di sekolah. Orang tua juga perlu mengajarkan nilai-nilai agama, etika, serta moral dan sosial. Adapun hal yang dilakukan oleh orang tua untuk menyikapi tindakan bullying ini, seperti membekali anak untuk memiliki rasa tidak takut dan percaya diri yang kuat, memberi arahan kepada anak agar dapat memilih teman yang baik, dan kalau memang hal-hal seperti bullying itu terjadi berikan kewenangan kepada mereka untuk membela diri bahkan membalas (Fikriyah, dkk., hlm. 16). Selain orang tua, guru merupakan pendidik yang tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga mendidik para peserta didiknya. Guru juga harus dapat menjadi contoh teladan yang baik dalam membentuk karakter yang lebih cerdas bagi peserta didiknya, tidak hanya cerdas pada bidang akademik pengetahuan, tetapi juga cerdas dalam mengolah emosionalnya. Peran guru untuk menyikapi tindakan bullying, seperti sigap melakukan pencegahan dan penanganan kasus pem-bully-an, senantiasa memotivasi dan membina peserta didik untuk selalu melakukan hal-hal yang baik, memberikan sanksi kepada peserta didik yang melakukan perilaku buruk, dan dapat bekerja sama atau berkoordinasi dengan orang tua para peserta didik untuk mengkomunikasikan hal-hal yang terjadi di lingkungan sekolah, dan selalu memberikan nasihat serta didikan terkait bullying (Junindra, dkk., hlm. 11137).

Selain peran orang tua dan guru, ada beberapa strategi dan metode yang dapat digunakan untuk mengembalikan rasa kepercayaan diri peserta didik korban bullying, seperti penggalian potensi yang dimiliki peserta didik atau metode Casework. Pada penelitian Febriana dan Aulina, praktikan memberikan bantuan kepada klien SG untuk menghidupkan kembali rasa percaya dirinya menggunakan metode casework dari Zastrow yang merupakan suatu proses yang digunakan oleh badan sosial tertentu dalam membantu para individu agar dapat memecahkan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sosial mereka secara efektif (Perlman). Metode ini seperti melakukan suatu kerja sama dengan para korban bullying untuk dapat mencapai kehidupan pribadi dan sosial yang lebih baik lagi. Tahapan yang dilakukan praktikan kepada klien SG meliputi lima tahapan, yakni (1) EIC (engagement, intake, contract), tahapan pendekatan kepada klien SG dan pembuatan kontrak atas kesepakatan yang disanggupi oleh klien SG, (2) Assessment, tahap mencari dan menggali penyebab serta potensi yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Di sinilah terkuak bahwa SG sebelumnya seorang pribadi yang aktif serta ceria dan memiliki ketertarikan terhadap dunia sastra karena kegemarannya dalam membaca buku-buku, (3) Planning, tahap untuk menentukan apa saja strategi dan program yang tepat untuk dirancang guna menyelesaikan masalah klien SG. Strategi yang dilakukan oleh praktikan berupa penggalian potensi yang dimiliki SG melalui aktivitas kegemarannya, yakni membaca buku, (4) Intervensi, tahap yang mengimplementasikan strategi dan program yang telah ditentukan sebelumnya dengan berbekal harapan akan terjadinya suatu perubahan yang diinginkan dari pribadi klien SG. Praktikan juga menekankan kesadaran kepada klien SG akan potensi yang dimilikinya. Klien SG diberi kesempatan untuk membaca dan memahami buku agar dapat diceritakan kembali kepada praktikan. Klien SG juga diberi kesempatan untuk membuat puisi serta cerpen yang bisa diperlihatkan pada teman-temannya, (5) Evaluasi, memonitoring sejauh mana keefektifan strategi dan program yang dilaksanakan sebelumnya pada diri klien SG dan seiring berkembangnya waktu rasa percaya diri klien SG mulai berkembang kembali dan juga tak lagi memperindah bahwa dirinya pernah mengalami pem-bully-an (Febriana dan Aulina, 873—874).

Segala bentuk perundungan atau bullying yang dilakukan oleh pelaku kepada korban akan berdampak pada tingkat perkembangan kepercayaan diri korban bullying tersebut. Kepercayaan diri korban yang seharusnya dapat dioptimalkan dalam bersosialisasi atau dalam mengaktualisasikan potensi dirinya harus terganggu bahkan hilang akibat bullying yang diterimanya. Korban bullying akan merasa sendiri, tidak berharga, takut, dan enggan membuka diri untuk bersosialisasi mengeksplor lingkungan sekitarnya, sebagaimana trauma dan dampak buruk yang ditimbulkan oleh bullying tersebut jika dibiarkan terlalu lama akan menjadi dampak yang lebih serius lagi sehingga dapat timbul pemikiran untuk menyakiti dirinya sendiri. Maka dari itu, perlunya orang-orang sekitar, seperti teman, guru, dan orang tua untuk peka terhadap perkembangan kepercayaan diri temannya, peserta didiknya, dan anaknya sehingga jika memang melihat perkembangan diri dari mereka tidak digunakan secara optimal, segera dampingi dan meminta bantuan para profesional untuk dapat mengembalikan rasa kepercayaan diri mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image