Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Estri Sri Utami

LGBT DI Mata Lima Agama

Agama | Tuesday, 17 Oct 2023, 23:25 WIB
Pride Flags. Sumber Ilustrasi:PEXELS

Bangsa Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa dengan lima macam agama yang menjadi kepercayaan masyarakatnya. Diantaranya, Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, dan Konghucu. Kelima kepercayaan tersebut memiliki pandangan yang berbeda-berbeda mengenai persoalan LGBT. Ada agama yang sangat menentang dan ada pula yang tidak menentang; namun, melarang adanya pernikahan sesama jenis dalam agamanya. Dalam perbedaan tersebut, kelimanya memiliki sebuah persamaan yakni meyakini Tuhan Yang Maha Esa. Setiap agama pasti memiliki tujuan untuk menyelamatkan umatnya dari dosa dan memberi arahan untuk tidak melanggar perintah Tuhan. Tetapi dalam satu tujuan yang sama tersebut, kelimanya memiliki prinsip masing-masing terkait LGBT. Dalam tulisan ini, pembaca akan diberikan beragam pandangan mengenai LGBT berdasarkan sudut pandang agama.

Pada tahun 1990, istilah "lesbian, gay, biseksual, dan transgender" (juga dikenal sebagai LGBT atau GLBT) diciptakan untuk mengubah istilah "komunitas gay". Istilah ini dinilai lebih kompleks untuk menyebutkan komunitas tersebut. Istilah-istilah ini misalnya, (1) Lesbian adalah golongan individu yang secara biologis wanita namun memiliki kecenderungan menyukai sesama wanita baik itu bentuk fisik, mental, dan moralitas. (2) Gay adalah golongan individu yang dilahirkan secara biologis pria namun memiliki ketertarikan dengan sesama pria, baik dari segi fisik, mental, dan moralitas. (3) Biseksual merupakan golongan individu yang memiliki ketertarikan pada dua gender baik laki-laki maupun perempuan di saat yang bersamaan. (4) Transgender adalah golongan individu yang beranggapan bahwa gender lahir yang didapatkannya merupakan suatu kesalahan sehingga timbul keinginan untuk merubahnya, misalnya laki-laki maupun perempuan yang melakukan operasi pergantian alat kelamin.

Sejarah dari LGBT sendiri sudah ada sejak zaman kerajaan nusantara. Hal ini tergambar pada perilaku Raja Kelana Swandana yang merupakan awal mula dari terciptanya kebudayaan reog. Raja Kelana menyukai anak kecil laki-laki dan menganggap mereka sama seperti perempuan, hingga akhirnya beliau meminang Dewi Sanggalangit yang berjanji untuk mengubah perilaku menyimpang raja kerajaan Bandarangin. Selain itu, sejarah tercatatnya perilaku menyimpang ini juga kembali terjadi pada tradisi penyempurnaan kesaktian Warok. Warok sendiri adalah sekumpulan para pemuda sakti mandraguna yang dipimpin oleh Ki Ageng Kutu selaku penguasa wilayah Wengker. Pembentukan Warok sendiri bertujuan membela pasukan Wengker atau Ponorogo setelah ditaklukan oleh utusan majapahit Batara Katong.

Dalam proses penyempurnaan kesaktian tersebut mereka dilarang untuk melakukan hubungan intim dengan wanita.Sebagai rasa penyaluran rasa nafsu, para Warok melakukan hubungan seksual pada anak laki-laki berusia 8–15 tahun yang disebut Gemblak atau Gemblakan sebagai pelampiasan. Para Warok percaya jika mereka memelihara Gemblak yang tampan maka akan menjaga kesaktiannya. Hubungan tersebut haruslah didasarkan dengan rasa suka sama suka, tak jarang para Warok mengeluarkan uang yang tak sedikit jumlahnya demi para Gemblak yang dipelihara. (Rajasa.2015.kompasiana.com, 18 September 2023).

Dua sejarah LGBT dalam indonesia yang terjadi pada zaman kerajaan Nusantara telah membuktikan bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baru. Hanya saja ketika zaman tersebut belum ditemukannya terkait agama samawi yang memaparkan perilaku LGBT. Namun, ketika agama tersebut sudah terbentuk menjadi lima agama samawi, muncul berbagai pengajaran dan pandangan yang berbeda mengenai LGBT. Berikut adalah sudut pandang lima agama terkait LGBT:

1. Agama Islam

Menurut World Population Review tahun 2021, sekitar 231 juta orang di Indonesia menganut agama Islam, hal ini dinobatkan sebagai agama dengan populasi umat terbesar di dunia. Islam melarang perbuatan LGBT karena memiliki alasan yakni, perbuatan tersebut menyalahi fitrah manusia yang seharusnya pasangan laki-laki adalah perempuan, begitu juga sebaliknya. Manusia diciptakan dengan bentuk yang sempurna berdasarkan fitrah keselarasan dalam mencapai kehidupan yang baik. Hal ini termuat surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْر.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

(Q.S Al- Hujurat [49]:13).

Seksualitas merupakan kebutuhan biologis yang identik pada manusia, Islam pun membenarkan hal tersebut. Namun, kebutuhan biologis harus sejalan dengan ketentuan agama, yaitu hanya dibenarkan jika dilakukan oleh lawan jenis. Dengan begitu, Islam tidak menghendaki adanya perilaku abnormal seperti perilaku LGBT yang dapat merusak tatanan kehidupan manusia.

Al-Qur’an surah Asy-Syu’ara ayat 165-168 mengisahkan sejarah LGBT yang terjadi pada masa Nabi Luth, kisah ini diceritakan Allah murka sehingga memberikan azab besar kepada kaum Sodom yang menyukai sesama jenis. Nabi Luth sangat membenci perbuatan kaum nya dan Rasulullah SAW. melaknat atas perbuatan menjijikan tersebut. Sehingga Rasulullah bersabda,

”Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, juga wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain. Seorang laki-laki tidak boleh tidur dalam satu selimut yang sama, begitu juga wanita tidak boleh tidur dalam satu selimut yang sama.” (H.R. Muslim).

Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa Islam melaknat perbuatan LGBT karena bisa merugikan tatanan kehidupan manusia dan melanggar perintah Allah, hukum dari perbuatan tersebut ialah haram. Maka dari itu umat muslim penting untuk menghindari perbuatan tersebut.

2. Agama Kristen

Kristen dibagi menjadi dua yakni Protestan dan Katholik, agama ini merupakan agama yang dibawa oleh Yesus Kristus. Baik Protestan maupun Katholik, keduanya melarang adanya perbuatan LGBT. Pernyataan tersebut dibuktikan dalam kitab Imamat sebagai berikut:

“Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.” [Imamat 20:13].

Kitab tersebut menyebutkan bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang keji dan hina, bahkan Allah sangat membencinya. Homoseksual juga dianggap telah melanggar perintah Allah, dalam kitab lain seperti kitab perjanjian lama juga turut menegaskan bahwa perilaku homoseksual merupakan perbuatan keji dan hina. Perilaku homoseksual merupakan perbuatan yang jahat, hal ini dijelaskan dalam kitab perjanjian baru. Dari kedua kitab tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan homoseksual dianggap sesuatu hal yang sangat menyalahi aturan dan begitu keji serta hina untuk dilakukan oleh umat manusia.

Pernikahan sesama gender dilarang oleh agama ini, pernyataan tersebut dibenarkan oleh Paus Benekdiktus XVI yang mengatakan gereja katholik melarang pernikahan sesama gender dan mengecam perbuatan aborsi. Romo Paulus Christian juga mengatakan hal yang sama. Karena pernikahan sebenarnya dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan. Selain itu, itu dianggap sebagai melanggar perintah Allah dan sebuah dosa besar yang berpotensi merugikan umat manusia.

3. Agama Hindu

Para Rishi adalah orang yang membawa ajaran Hindu dengan tujuan untuk kedamaian umat manusia. Agama ini melarang adanya pernikahan sesama gender karena dianggap tidak dapat menghasilkan keturunan. Perilaku LGBT dalam agama tersebut tidak dipandang sebagai perilaku kriminal. Shri Sri Ravi Singkar membenarkan tentang pernyataan bahwa perbuatan LGBT dianggap sebagai dosa yang harus dipertanggungjawabkan setiap individu sehingga mereka yang melakukan tidak berhak melaksanakan upacara pernikahan berdasarkan puja mantra Veda.

Alhasil tidak menjelaskan secara jelas bahwa ada larangan pernikahan sesama jenis, hanya dijelaskan bahwa pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang mendapatkan keturunan sebagaimana dijelaskan dalam kitab Manavadharmasastra. Dalam kitab tersebut menyatakan pernikahan meliputi, Dharmasampati [bersama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma], praja [melahirkan keturunan] dan rati [menikmati kehidupan seksual dan indira lainnya].

Ihaiva stam mā vi yaustam, Visvām āyur vyasnutam. Krindantau putrair naptrbhih, Modamānau sve grhe. (Rgveda : X.85.42).

4. Agama Buddha

Buddha Gautama membawa agama Budhha dengan tujuan menyelamatkan umat manusia. Dalam hal mengenai perilaku LGBT, agama ini tidak memiliki tidak melarang maupun menghukum,serta tidak ada peraturan mengenai pelaksanaan pernikahan. Para umat Buddha menganggap pernikahan hanyalah sebuah tradisi sosial bukan kegiatan keagamaan yang dijalankan oleh umat lainnya.

Sang Buddha tidak banyak yang berbicara mengenai pernikahan, biasanya mereka hanya akan memberikan nasihat tentang cara membuat pernikahan bahagia. Dalam khotbah Buddha tidak menerangkan secara jelas adanya larangan pernikahan sesama jenis. Namun, dapat dipahami ajaran Buddha yang harus dijalankan oleh umat Buddha tentang Pancasila Buddhis [lima Sila] adalah saya mengikuti aturan latihan untuk menahan diri dari: [1] Membunuh makhluk hidup, [2] Mengambil apa yang tidak diberikan, [3] Penyimpangan seksual [4] Berkata bohong [5] meminum obat yang candu dan minuman keras.

Perilaku LGBT tidak dibenarkan namun, perlu diberlakukan bimbingan sehingga mereka yang melakukan penyimpangan seksual tersebut dapat kembali seperti manusia pada umumnya. Hal ini diungkapkan oleh Suhadi Sendjaja yang ditafsirkan berdasarkan sila ketiga dalam Pancasila Buddhis.

5. Agama Konghucu

Kepercayaan Konghucu dibawa oleh Hong Hu Tsu dengan tujuan keselamatan manusia. Dalam agama ini tidak melarang perilaku LGBT karena hanya dijelaskan tujuan dari menikah yang dijelaskan kitab Susi sebagai berikut:

“Bila dalam keluarga saling mengasihi niscaya seluruh negara akan ada dalam cinta kasih. Bila dalam tiap keluarga saling mengalah, niscaya seluruh negara akan di dalam suasana mengalah” (Tai Hak IX.3).

Perilaku LGBT tidak ditolak secara tegas dalam agama Konghucu, melainkan agama ini menekankan soal keturunan yang akan didapatkan dari cinta kasih dalam keluarga. Uung Sendana menerangkan agama Konghucu merangkul pelaku LGBT dan melarang adanya tindak kekerasan serta main hakim sendiri. Hal tersebut diungkapkannya sebagai perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKINI).

Kelima agama tersebut memiliki beragam pandangan dalam menyikapi larangan perilaku LGBT. Dalam Agama Islam dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 13, setiap insan manusia diciptakan berpasangan. Laki-laki dengan perempuan dan perempuan dengan laki-laki, alasan yang melatarbelakangi gagasan tersebut adalah selain karena hal itu tidak sesuai fitrah manusia yang diciptakan berpasangan, dampak bahaya lain yang ditimbulkan dari perilaku LGBT adalah merugikan umat manusia yang dimana ditakutkan akan terjadinya kepunahan manusia. Berbeda dengan agama Islam yang melarang perbuatan LGBT karena melanggar fitrah manusia, agama Kristen melarang adanya perbuatan LGBT karena menganggap hal tersebut sebagai perbuatan jahat yang keji dan hina. Hal ini termuat dalam kitab Imamat dan diungkapkan oleh Paus Benediktus XVI bahwa katholik melarang adanya pernikahan sesama gender. Berbeda dengan kedua agama tersebut, agama Hindu melarang perbuatan LGBT karena akan merugikan keturunan umat manusia. Hal tersebut lebih condong kepada pernikahan yang diyakini mereka bahwa pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang memiliki keturunan. Sehingga dapat disimpulkan agama Hindu melarang adanya perbuatan LGBT. Agama Buddha justru tidak dijelaskan secara gamblang mengenai peraturan pernikahan, agama ini melarang perilaku LGBT karena tidak sesuai dengan lima sila yang harus dipatuhi setiap umat buddha, yakni sila ketiga yang merupakan penyimpangan seksual. Dan juga dalam agama Buddha, pelaku LGBT diajarkan untuk dibimbing agar kembali ke jalan kehidupan yang benar, sesuai ajaran Buddha. Sama seperti agama Hindu yang lebih menekankan kepada dampak tidak adanya keturunan, agama Konghucu turut memiliki pandangan yang sama. Agama ini melarang umatnya melakukan perbuatan LGBT karena dapat merugikan keturunannya. Jika dalam pernikahan tidak ada keturunan, hal tersebut akan dianggap berkurangnya cinta kasih dalam keluarga pernyataan ini dimuat dalam kitab Susi.

Perbedaan kelima pandangan tersebut memiliki makna bahwa Indonesia beragam namun tetap bersatu, dalam menyikapi berbagai persoalan masalah sosial pun memiliki banyak pandangan. Persamaan dari kelimanya, agama tersebut sepakat untuk melarang perbuatan LGBT dengan caranya sendiri. Sebagai pemuda masa kini, kita harus menyikapi persoalan LGBT dengan memiliki pemikiran kritis terhadap dampak yang ditimbulkan dalam perilaku tersebut.Hal tersebut memerlukan benteng keimanan yang kuat. Oleh karenanya, kita harus melaksanakan pengajaran dari kepercayaan yang dipegang oleh masing-masing pribadi dengan baik dan benar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image