Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fina Annisa Nurjannah

Sistem Pendidikan Indonesia Bunuh Kreatifitas dan Karakter Siswa ??

Pendidikan dan Literasi | 2023-10-16 01:32:16
Potret Pelaksanaan Ujian di Sekolah

Lingkungan sekolah dan sistem pendidikan di Indonesia dinilai menjadi penyumbang terbesar dalam membatasi bahkan membunuh kreatifitas siswa. Terlalu banyak standar yang harus dicapai oleh siswa hanya untuk menyandang sebutan “Pintar”. Sekolah tidak seharusnya membentuk siswa menjadi pribadi yang sama atau seragam, melainkan membantu dan memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuannya atau apa yang diminatinya. Mirisnya, yang terjadi dikehidupan nyata adalah menjadikan nilai maupun hasil tugas sebagai tolak ukur keberhasilan. Siswa yang pandai Matematika diyakini lebih pintar daripada siswa yang jago melukis. Pintar Matematika yang dijadikan standar kecerdasan pun seakan mempersempit makna kata kreatif itu sendiri.

Tak hanya berhenti di pemahaman teori, masih banyak kecerdasan dan keterampilan lain yang perlu siswa kuasai. Namun, banyak sekolah yang tidak menghiraukan hal tersebut. Disekolah, siswa terbiasa hidup dibawah aturan dan perintah yang telah ditentukan oleh lembaga pendidikan dan juga guru. Hal ini menjadikan semua kegiatan siswa telah terpola dan tersusun secara sistematis. Sekolah dari Senin hingga Jumat, dengan siklus datang ke sekolah untuk belajar melalui mendengarkan penjelasan dari guru, apabila tidak mengerti hanya perlu bertanya pada guru, diberi latihan, diberi pekerjaan rumah, lalu dikumpulkan. Dengan siklus yang berulang-ulang dari mulai Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) selama 12 tahun. Kondisi ini membuat siswa terbiasa menjalankan sesuatu yang telah dipilihkan, sehingga siswa tidak pernah tahu bagaimana cara memilih sendiri, bagaimana cara mengambil keputusan. Padahal lulus dari bangku sekolah, siswa akan dihadapkan langsung dengan kehidupan dunia dan sistem kerja yang abstrak. Yang mana dengan menghadapi banyak kondisi akan memaksa siswa untuk terampil dalam mengambil keputusan. Pembelajarannya pun masih sangat tekstual bukan kontekstual, sebagian besar masih terlalu fokus pada teori yang ada dibuku tanpa tahu bagaimana cara mempraktekkannya pada kehidupan rill yang terjadi sehari-hari. Sangat disayangkan bukan?

Sistem pendidikan di Indonesia pun terlalu menyeragamkan, mulai dari pakaian hingga pikiran. Semua harus berpedoman pada apa yang sudah dijelaskan guru atau pada buku panduan. Apabila ada pemikiran yang berbeda atau tidak sejalan, maka dianggap salah dan aneh. Padahal seharusnya siswa bebas membangun pemahamannya sendiri dari apa yang didapat dikehidupan sehari-harinya. Selan itu, siswa didorong untuk memahami semua pelajaran dan lulus dengan nilai yang memuaskan, meskipun itu bukan bidang yang diminatinya. Bukankah ini terlalu meyeragamkan??

Lalu bagaimana dengan siswa yang gemar berdagang, apa perlu mendalami Fisika sampai harus mendapat nilai sesuai standar rata-rata? Ada baiknya sistem pendidikan dibuat seperti perguruan tinggi, yang mana pembelajarannya terbagi dalam mata pelajaran wajib dan juga peminatan. Contoh nya seperti siswa suka melukis, tapi bukan berarti mata Pelajaran Sejarah dilupakan. Hanya saja standar kompetensi untuk lulus nya tidak perlu terlalu tinggi. Karena pada dasarnya kita perlu pendidikan yang mengasah critical thinking, analytical thinking, dan decision making.

Terlalu focus pada peningkatan kognitif sehingga kecerdasan afeksi dan motoriknya kurang terasah. Hal ini disebabkan karena semasa sekolah siswa hanya dilatih untuk menghafal tidak untuk mempraktekkan. Sehingga nilai-nilai seperti kecerdasan emosional, kepedulian, empati terhadap apa yang terjadi dilingkungan sekitar menjadi kurang.

Adakah upaya dalam mengatasi sistem pendidikan yang terkesan kuno ini? Adanya Kurikulum Merdeka digadang-gadang dapat membawa perubahan bagi sistem pendidikan. Dalam Kurikulum Merdeka proses pembelajarannya mengacu pada intrakurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bersifat teoretis, ko kurikuler yang dimaksudkan agar peserta didik dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari pada intrakurikuler, dan ekstrakurikuler yang membantu dalam pengembangan aspek seperti minat dan bakat. Pembelajarannya pun berfokus pada kebebasan belajar dan pemikiran kreatif, dimana siswa bebas membangun pemahamannya sendiri dari sumber manapun. Tak hanya itu, peserta didik juga diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami, meresapi, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-hari melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image