Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Puspita Sari

Mengupas Tuntas Hutang Negara

Info Terkini | Tuesday, 10 Oct 2023, 23:15 WIB

Halo sahabat readers, kali ini aku mau bahas satu topik ekonomi yang sering banget disalah artiin sama masyarakat dan pemerintahan yang beredar. Nggak jarang topik ini juga dipolitisasi buat Giring opini tertentu. Tapi sayangnya pembahasan topik ini seringkali cuma sepotong-potong dan gak tuntas. Pada akhirnya ada banyak banget kesalahpahaman yang meluas di Masyarakat. Iyap topik yang mau aku bahas kali ini adalah “Utang Negara Indonesia.”

Sebetulnya gimana sih situasi hutang negara Indonesia saat in? apa aja komponen-komponen utang itu? dan Gimana cara ngukur kondisi hutang negara dengan pendekatan yang lebih tepat? Kalau tentang kondisi utang negara saat ini masih wajar atau udah mencemaskan? penilaian itu bakal aku balikin lagi ke opini sahabat readers nih, jadi baca artikel ini sampai selesai ya biar kita semua tuh lebih paham situasinya.

Jadi Kondisi utang negara Indonesia saat ini per 31 Mei 2023 jumlahnya udah mencapai Rp.7.787,5 Triliun Rupiah dan bisa dibilang jumlah utang negara ini emang terus naik dari tahun ke tahun kita lihat deh daerah dua pemerintahan terakhir di era presiden ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono dan di era presiden ke 7, Joko Widodo. Di era Presiden Jokowi utang kita naik sekitar Rp.5.000 triliun sejak tahun 2014 dimana tahun 2014 lalu jumlahnya itu masih di angka Rp.2.608 triliun itu artinya dalam 9 tahun terakhir utang Indonesia naik sekitar 3 kali lipat sementara di era Presiden SBY juga terjadi peningkatan jumlah utang negara dari yang tadinya Rp.1.298 triliun di tahun 2004 naik sekitar dua kali lipat jadi Rp.268 triliun di tahun 2014.

Wah kalau kita lihat dari polanya kok jumlah hutang kita makin nambah terus ya dari tahun ke tahun? Nah, sebelum kita masuk ke situ aku mau jelasin dulu nih, sebetulnya komponen utang negara itu apa aja sih? apa semua utang negara itu keluar negeri? sebetulnya negara ini Hutang ke siapa sih?

Oke menurut laporan kemenked di APBN edisi Juni 2023, saat ini dari Rp.7.787 triliun utang negara ternyata, Rp.6.934 triliun atau sekitar 89% diantaranya berasal dari penjualan surat berharga negara atau SBN, dan cuman Rp.829 triliun atau 10,6% aja nih yang berupa pinjaman ke luar negeri. Jadi, komponen utang negara itu ternyata mayoritas bukan pinjaman ke luar negeri, tapi justru dari penjualan SBN. SBN adalah surat berharga negara yang dijual mayoritas ke masyarakat Indonesia dan dibayar beberapa bulan sekali. Mulai dari, ORI, SBR, ST, sukuk, obligasi, FR dan lain-lain.

Terus yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa saja yang membeli SBN negara kita? pihak asing atau rakyat kita sendiri ya?

Bisa di lihat laporannya di website resmi SBN pada tanggal 6 Juli 2023 ada 31% SBN dimiliki oleh perbankan, 17,3%nya dimiliki oleh BI, 20,5% dimiliki oleh manajer investasi, asuransi, dan dana pension, 6,6% nya dimiliki oleh individu, dan hanya 15% dari SBN yang dimiliki oleh asing, termasuk pemerintah, dan Bank Sentral luar negeri yang sekitar 4%. Jadi, bisa dibilang mayoritas pemilik SBN adalah entitas di dalam negeri kita sendiri. Sampai sini aku harap kita jadi lebih paham ya gimana sih komposisi utang negara kita? berapa banyak yang pinjaman ke luar negeri dan berapa banyak yang ke dalam negeri?

sekarang kita masuk ke pertanyaan apa utang Rp.7.700 triliun itu masih bisa dibilang sehat? dan buat apa sih kita ngutang sebanyak itu?

Untuk menilai apakah utang dalam sekala negara itu masih wajar atau sehat kita perlu membandingkannya dengan indikator lain. Salah satu indikator yang dianggap cukup akurat adalah dengan membandingkan antara hutang dan GDP atau PDB. Dengan membandingkannya dengan GDP kita akan melihat perbandingan hutang negara dengan kemampuan produktivitas negara secara keseluruhan. Indikator ini namanya Debt To GDP, makin besar angkanya artinya hutang itu semakin tidak sehat sedangkan smakin kecil angkanya artinya hutangnya makin sehat. PDB Indonesia sendiri ada di Rp.19.588 triliun dengan hutang sekitar Rp.7.781 triliun. Maka, rasio hutang kita terhadap GDP ada 37,85%.

Sekarang pertanyaannya, apa rasio utang 37,8% ini bisa dibilang masih oke?

Jawabannya ada beberapa macam, Yang pertama, angka ini emang masih di bawah batas maksimal yang ditetapkan oleh undang-undang nomor 17 tahun 2003 yaitu, 60% dari PDB. Yang kedua, Jika dibandingkan dengan negara-negara dengan ekonomi yang mirip, maksudnya negara-negara G20, rasio utang Indonesia terhadap GDP bisa dibilang cukup kecil.

Namun, jika dilihat dari trendnya rasio atau Indonesia bisa dibilang terus meningkat yang lumayan signifikan dari tahun ke tahun. Terutama sejak tahun 2015, dan tahun 2020 untuk pemulihan ekonomi nasional pasca pandemic. Padahal, jika dilihat trend pasca krisis moneter sejak tahun 2000-2012, trend rasio hutang Indonesia itu terus menurun.

ada satu lagi indikator yang menarik untuk menilai kondisi utang negara kita. Namanya, Debt to Service Ratio, membandingkan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri dengan penerimaan Ekspor. Semakin besar angkanya, maka semakin buruk kondisi hutang negara kita. Sedangkan jika semakin kecil angkanya, maka semakin sehat kondisi hutang negara kita.

Dari data yang dikeluarkan oleh BI rasio utang terhadap penerimaan Ekspor terus ngalamin penurunan selama 9 tahun terakhir. Artinya, kondisi hutang kita semakin sehat. Di mana pada tahun 2016 sempat di 35%, sementara pada Kuartal 1 2023 mengalami penurunan pada nilai 16.25%. Itu artinya, beban pembayaran cicilan dan bunga utang negara terus ngalamin penurunan. Jika, dibandingkan dengan penerimaan ekspor negara kita.

Kenapa sih trennya makin sehat? karena pemerintah terus menurunkan porsi hutang luar negeri dan memperbanyak hutang ke dalam negeri lewat penjualan SBN. Jika dilihat dari nota keuangan APBN 2023 pemberian SBN dari Rp.3.600 triliun di tahun 2018 naik pesat menjadi Rp.6.300 triliun per Juni 2022. Sedangkan, pinjaman luar negeri angkanya cenderung stuck sejak tahun 2018. Bahkan, cenderung turun jika dilihat dari tahun 2020. Jadi, kenaikan utang Indonesia yang terkesan tinggi ini sebetulnya didominasi sama penerbitan SBN setiap tahun alias hutang ke rakyat dan institusi keuangan dalam negeri sendiri, bukan utang ke luar negeri.

Dengan begini sebenarnya bisa kita lihat bahwa pemerintah berusaha untuk ngejaga 2 jenis risiko yang pertama, risiko fluktuasi nilai mata uang yang bikin nilai utangnya jadi makin mahal. Yang kedua, itu resiko Capital outflow yang membuat aliran dana kita keluar terus ke luar negeri, untuk bayar hutang dan bunganya. Dengan memperbanyak polusi pembiayaan lewat SBN, negara jadi terhindar dari risiko utang yang makin numpuk, karena kurs dolarnya makin naik. Disisi lain kita juga menjaga perputaran uang supaya tetap berputar di Indonesia.

Nah readers, selanjutnya kita bahas tentang Kenapa sih kita masih perlu ngutang dan terbitkan SBN terus-menerus? bukannya sudah ada pajak dan penerima devisa negara, yang katanya ada surplus?

Untuk menjawab itu kita perlu tahu dulu nih, bagaimana komposisi penerimaan negara agar bisa membiayakan berbagai proyek pembangunan dan program-program lain? Prinsipnya adalah pemerintah itu punya tiga sumber pembiayaan yaitu, dari pajak, penerimaan negara bukan pajak atau pnbp, dan pembiayaan dari utang, seperti penjualan SBN.

Yang jadi pertanyaan sekarang kenapa sih kita harus ngutang? Jawaban, karena penerimaan dari pajak dan non pajak itu tidak cukup untuk membiayakan seluruh rencana program pemerintah. Dan sudah menjadi rahasia umum bukan, jika pemasukan pajak negara kita sangat kurang dan jauh di bawah ideal. Bisa dilihat dari angka Tax Ratio yang sangat rendah. Tax Ratio adalah angka yang mengukur perbandingan antara penerimaan pajak dengan pendapatan domestik bruto atau PDB suatu negara. Sejak tahun 2008 tax negara terus ngalamin penurunan dari 13% dan pada tahun 2021 menjadi 9,1%. Rata-rata negara Asia Pacific punya Tax Ratio sebesar 19%, dan negara OECD punya teks rasio sebesar 33,5%, diantara negara Asia Pasifik Indonesia menempati urutan terendah ketiga dalam rasio penerimaan pajak, padahal menurut IMF Tax Ratio yang ideal itu adalah minimal 15% untuk menjamin tersedianya dana yang cukup untuk melakukan pembangunan berkelanjutan tanpa harus membawa utang negara. Dengan penerimaan pajak dan ketaatan pajak yang masih sangat rendah dari ideal bagimana Indonesia bisa ngerjain semua programnya? Maka dari itu, jalan keluarnya dengan penjualan SBN atau hutang ke masyarakat dan institusi keuangan.

Disisi lain Indonesia adalah negara yang sangat luas dan masih banyak daerah yang belum memenuhi standar kelayakan fasilitas umum, dimana pembangunan jalan tol, jembatan, jaringan listrik, internet, air bersih, dan fasilitas kesehatan adalah hal yang sangat fundamental dalam pembangunan negara untuk menunjang pemerataan ekonomi sampai ke daerah-daerah. Selain itu, negara juga punya banyak tuntutan beban pengeluaran rutin yang sangat besar, salah satunya adalah subsidi BBM yang sangat membebani anggaran negara. Dimana Tahun 2022 lalu jumlah subsidinya sampai tembus 500 miliar rupiah.

Direktur surat utang negara kemenkeu Kang Deni Ridwan pernah menyatakan “kalau kita sebenarnya bisa berhenti ngutang, asalkan subsidi BBM dihilangin.”

Tapi tentu aja pencabutan subsidi BBM berisiko menimbulkan penolakan besar dri Masyarakat.

Ada nggak sih cara lain selain naikin jumlah utang buat menuhin kebutuhan program negara kita?cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah yaitu meningkatkan pendapatan atau mengurangi pengeluaran. Untuk meningkatkan pendapatan kita bisa maksimalkan penerimaan pajak, sekarang penerimaan pajak saja masih dibawah standar, dan jika penerimaan pajak kita dapat mencapai titik ideal minimum 15% ada potensi penerimaan negara dari pajak bisa meningkat nih sebesar Rp.850.000/tahun. Solusi lain yang juga bisa digunakan adalah dengan meningkatkan penerimaan PNBP dari BUMN pendapatan blue atau penjualan SDA. Tapi, berdasarkan data penerimaan APBN Tahun 2022 realisasi PNBP itu hanya 588 triliun atau sekitar 22,4% dari total penerimaan negara.

Kemudian solusi dari sisi mengurangi pengeluaran, kira-kira apa nih pengeluaran negara yang bisa dipangkas?

Sebenarnya yang sangat dapat dikurangin itu subsidi BBM, di mana Ini udah menjadi candu yang membebani ekonomi negara kita, tapi kembali lagi ke pengurangan ketergantungan subsidi inikan tidak mungkin dilakukan secara mendadak perlu ada proses bertahap supaya masyarakat tidak kaget dan kestabilan ekonomi itu juga terjaga.

Nah itu tadi beberapa alternatif yang secara teori bisa dilakukan untuk mengurangi utang negara. Prakteknya tentu tidak semudah itu ya, karena tentu ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.

Oke deh sahabat readers Itu tadi ulasan aku tentang kondisi utang negara kita. Dari artikel ini aku harap setidaknya kita sudah jadi lebih paham, bagaimana sih Kondisi utang negara kita? yang pertama, kita jadi tahu komponen utang dan proporsi utang negara kita. Yang kedua, kita juga jadi paham indikator yang tepat untuk nilai kondisi kesehatan tentang negara kita. yang ketiga, kita jadi tahu kenapa sih negara masih perlu mengutang. Yang terakhir, kita jadi tahu apa aja sih langkah alternatif yang secara teori bisa dilakukan buat menekan jumlah utang negara kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image