Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Peran Indonesia dalam Perdamaian Dunia

Politik | Monday, 09 Oct 2023, 08:27 WIB
Presiden Jokowi harus tampil di level global untuk menyerukan perdamaian dunia. Foto: Republika.

Indonesia memberikan konstribusi penting bagi perdamaian dunia di tengah hiruk pikuk perang di sejumlah negara lain. Rusia dengan Ukraina, Palestina dengan Israel, Niger dengan sejumlah negara Eropa dan ancaman Tiongkok di Asia Tenggara, menjadi betapa bumi sangat rentan dengan perang eskalasi tinggi. Di Indonesia, berbagai seruan perdamaian berkumandang disampaikan tokoh agama, masyarakat hingga pejabat resmi Pemerintah.

Serua itu menjadi relevan dengan semangat konstitusi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Indonesia mengakui bahwa penjajahan di muka bumi menjadi antitesis bagi perdamaian dunia. Oleh sebab itu, politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif demi terwujudnya perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial.

Indonesia memiliki kepentingan atas isu perdamaian dunia karena akan menentukan jalannya keberlangsungan NKRI di masa depan. Dalam konteks Indonesia di masa yang datang tergantung pada kelangsungan dan keberlanjutan negara-negara luar, khususnya di regional ASEAN. Isu kemanusiaan, keadilan dan kebebasan menjadi hal yang sangat urgen.

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa menjadi contoh keberhasilan dalam menghadirkan keharmonisan kehidupan agama yang pluralistik. Perjalanan negara-negara di abad 20 diwarnai dengan peperangan mematikan yang melibatkan komunitas agama. Konflik agama antara kelompok Hindu dan Muslim telah melahirkan Pakistan pada 1947 dan kemudian mengakibatkan perang di Bangladesh pada 1971. Ketegangan-ketegangan relijius yang terjadi secara terus menerus telah menyulut berbagai konflik, seperti pemberontakan suku Sikh dan Kashmir untuk menuntut kemerdekaan dari India.

Penulis buku "Why Men Rebel" Ted Robert Gurr menyoroti konflik-konflik dunia berdasarkan realita yang ada. Sejak 1990-an, intensitas konflik di muka bumi kian menunjukkan pada kemungkinan pecahnya perang dunia berdasarkan agama.

Di Timur Tengah, konflik Israel dan Palestina berkobar, Suriah masih mencekam, dan Yaman dipenuhi tangis masyarakat sipil. Tidak bisa dimungkiri, jika konflik di negara-negara tersebut memiliki keterkaitan erat dengan agama. Amerika Serikat menggempur Afghanistan dan Irak dengan alasan memerangi terorisme yang kemudian telunjuknya diarahkan ke komunitas Muslim.

Perang sipil di Afrika Utara pun dilatarbelakangi komunitas yang memahami agama secara radikal dan ekstrim. Kelompok ekstrim masih menghantui rakyat sipil lantaran perilaku keagamaan mereka yang menebar teror ke penghujung negeri.

Perang di Suriah yang masih terjadi dan menyeret negara-negara adikuasa. Ratusan ribu lebih warga sipil yang terbunuh dan jutaan lainnya menjadi pengungsi dengan nasib yang tidak jelas. Suriah yang tadinya salah satu negara indah, kini porak poranda dihajar perang tidak berkesudahan. Kelompok yang bertikai pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan perang, justru kini api peperangan kian berkobar.

Di Asia, ancaman terorisme pun mengintai sejumlah kawasan. ISIS dan simpatisannya menguasai wilayah Filipina Selatan dan sudah tentu mengancam Indonesia dan beberapa negara tetangga lainnya. Join Statement pun dideklarasikan antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan negara lainnya yang terancam dengan ISIS.

Dengan kondisi dunia yang kian terancam dengan konflik, kekerasan yang kemudian berujung pada perang, maka Indonesia harus tamil sebagai oase di tengah gurun yang tandus. Tidak disangkal, konflik antar kelompok agama salah satunya disebabkan pemahaman agama yang parsial dan berdasarkan tafsir keagamaan yang monopolitik. Padahal, dalam khasanah keagamaan, puluhan bahkan ratusan tafsir agama mewarnai perjalanan agama itu sendiri.

Amaliah agama seyogyanya tidak boleh dipisahkan secara hitam putih antara ritual vertikal (hablumminallah) dengan ibadah horisontal (hablum minannaas). Keimanan terhadap agama harus menjadi fondasi bagi cerminan dan tolok ukur kesalehan ibadah sosial. Semakin beriman terhadap Tuhan, maka seharusnya makin sholeh dan bermanfaat bagi umat manusia kebanyakan.

Indonesia harus menegaskan bahwa negara dibangun dengan semangat persaudaraan, serta persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathoniyah), serta persaudaraan sesama manusia (ukhuwah bashariyah). Dimensi ketuhanan merupakan ruh bagi pengembangan spiritualisme kehidupan bangsa dan negara. Sedangkan hubungan sesama manusia lebih bersifat luas, terbuka, rasional dan obyektif sehingga bisa dikembangkan secara adaptif dan interaktif dengan segi-segi kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam konteks kebangsaan ini dibutuhkan upaya mengembangkan nilai-nilai moral universal yang berangkat dari ajaran agama. Ini tugas para pemimpin negara, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menggali dan membumikan substansi ajaran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia pasca reformasi pernah diguncang sejumlah konflik agama. Namun, berkat kesepahaman antar umat agama, konflik tersebut bisa diatasi dan tidak menyebabkan negara ini terpecah belah. Peranan ormas agama, pemerintah, tokoh masyarakat dan elemen bangsa lainnya yang mampu melewati ujian perpecahan berbasis kelompok agama. Oleh sebab itu, Indonesia bisa menjadi kiblat dalam menciptakan perdamaian dunia yang saat ini kian terancam. Dialog adalah kunci, selain tentunya nilai-nilai kemanusiaan yang universal seperti saling menghormati, tenggang rasa dan tidak mengklaim kebenaran.

Di dalam kitab suci pun disebutkan bahwa manusia pada awalnya diciptakan satu, kemudian berpasang-pasangan, beranak pinak yang kemudian menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Itu semua menunjukkan bahwa manusia pada hakikatnya bersaudara dan diciptakan di muka bumi untuk saling mengenal, bukan membunuh. Ini juga menjadi argumen tidak dibenarkannya segala perilaku destruktif. Persaudaraan antar manusia semacam ini berisi pesan agama yang bersifat perennial, abadi, otentik sepanjang masa, sehingga perlu dipupuk terus menerus di tengah situasi dunia saat ini. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image