Konflik Agraria, Negara Membela Siapa?
Politik | 2023-10-01 20:53:58
Belum selesai kasus rempang, muncul kembali kasus terkait konflik lahan di Gorontalo yang menjadi sebab dibakarnya Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo. Masyarakat melakukan Unjuk rasa terkait permintaan ganti rugi lahan ke perusahaan tambang emas yang berakhir ricuh.
Dikutip dari CNN Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah. "Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 secara daring, Minggu (24/9).
Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.
Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.
Masalah ini tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir. Salah satunya akibat kinerja tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang mandek meski telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan persoalan.
Konflik agraria sendiri sudah terjadi cukup lama, dan jelas merugikan rakyat, apalagi biasanya ganti rugi tak sepadan dengan harga tanah yangd dimiliki. Namun, negara seolah membiarkan rakyat menderita dan lebih memilih membela kepentingan investor.
Sederet konflik tersebut menunjukkan bahwa negara tidak ubahnya penyedia karpet merah bagi investor, baik asing maupun lokal. Atas nama proyek strategis nasional, perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi dalih pembenaran bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan oligarki.
Istilah oligarki belakangan ini kerap mewarnai ruang publik. Sebagian masyarakat menyadari bahwa negeri ini sedang dikuasai segelintir oligarki.
Dalam kamus oligarki, tidak ada nama rakyat dalam kepentingan mereka. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Berlindung di balik proyek-proyek negara, oligarki kekuasaan menggarong hak dan tanah rakyat.
Mereka bekerja sama dengan investor mendanai proyek-proyek strategis. Siapakah investor yang dimaksud? Tidak lain adalah para pemilik modal (kapitalis) dan korporasi.
Demikianlah dampak sistem kapitalisme jika masih diterapkan. Akibat keserakahan kapitalisme, rakyat menjadi korban, oligarki terus menguasai negara ini.
Perspektif Islam
Pada dasarnya, tanah merupakan bagian dari alam semesta milik Allah Taala. Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).
Dari sini, kita bisa mengambil dua hal penting, yaitu pemilik hakiki tanah adalah Allah Swt. dan Dia memberikan keleluasaan bagi manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya. Oleh karenanya, pengaturan dan pengelolaan tanah harus ditetapkan berdasarkan hukum Allah semata.
Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Menghidupkan tanah mati yang dimaksud ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.
Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Dalam kapitalisme, kepemilikan tanah bergantung pada selembar sertifikat. Kepemilikan tanah yang dihuni secara turun temurun bisa diklaim milik negara hanya karena tidak bersertifikat. Adapun dalam Islam, kepemilikan tanah yang sudah dihuni dan dikelola berpuluh tahun tidak dapat diambil siapa pun bahkan oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Inilah di antara keadilan Islam dalam mengatur kepemilikan tanah.
Selain itu, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan keridaan pemilik tanah. Jika pemilik tanah tidak rida, negara tidak boleh menggusur paksa, apalagi bertindak sewenang-wenang. Jika pemilik tanah rida, negara dapat memberikan ganti untung yang membuat pemilik tanah tidak mengalami kesusahan.
Keadilan atas status kepemilikan tanah dan pengaturannya hanya bisa dirasakan dalam sistem Islam kaffah. Dalam Islam, negara adalah pelindung, pengurus, dan bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.