PEMILU 2024 : Upaya Membalikan Pengkhianatan
Politik | 2023-09-30 13:04:05Penulis: Arief Rachman
Bagi saya pemuda kampung rahim petani, impian bangsa kita ke depan sudah terkandung teguh di dalam Pancasila sebagai falsafah kebangsaan, sekaligus persetumpuan luhur atas tujuan kemerdekaan kita. Di sini pasca Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-78 lebih dimaknai sebagai momen refleksi untuk memeriksa ulang perjalanan kita sebagai suatu bangsa : Telah kemana kita merdeka? dan Pra Pemilihan Umum 2024 lebih dimaknai sebagai upaya revitalisasi konkret pintu gerbang yang akan menjawab : Selanjutnya kemana kita merdeka?
Sekarang kita bersinggungan dengan suasana pasca HUT RI ke-78 dan pra Pemilihan Umum 2024, tentu amatlah relevan bagi kita tetap mengindahkan kesadaran sejarah dalam konteks alam penjajahan versus alam kemerdekaan sebagai suatu dikotomi universal. Meminjam kata-kata Soedjatmoko: “Kesadaran sejarah membimbing (kita) kepada pengertian mengenai sangkan paran (kita) sebagai suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are what we are.” Sangkan paran secara literal bermakna mana (sangkan) dan akan ke mana (paran) atau berarti sebuah konsep yang menyoalkan muasal dan akhir seluruh alam raya. Konsep sangkan paran dalam tradisi Jawa mempunyai tujuan untuk menyoalkan permulaan dan akhir dari penciptaan (Firdausy & Syarifah, 2017).
Hanya lewat penghayatan akan sangkan paran itu, kita bisa memelihara kesadaran akan cita-cita, kehormatan, dan bahaya yang kita hadapi dari masa ke masa sebagai negara dan bangsa. Jika Ernest Renan menyatakan bahwa “a nation is a daily plebiscite”, kita bisa menyatakan bahwa “freedom is a daily reckoning.”
Di setiap negara yang lebih tegar menjunjung keadilan bagi segenap warganya, kemerdekaan akan lebih berprogresi ke arah pembangunan keadaban. Tetapi, dinegara yang lebih melecehkan keadilan, kemerdekaan akan lebih beregresi menuju kebiadaban.
Pada alternatif pertama, kita lazim berbicara tentang pengkhianatan kemerdekaan, sebab di sini frekuensi kasus pengkhianatan terhadap ideal-ideal kemerdekaan masih berada dalam batas-batas normal. Pada alternatif kedua, kita sudah harus berbicara tentang kemerdekaan pengkhianatan sebab di sini pengkhianatan sudah kian menjadi pakem perilaku para pelaksana negara. Selanjutnya ketiga, sangatlah lazim membicarakan proyeksi Pemilihan umum 2024 sebagai upaya pintu gerbang yang akan menghapuskan kata pengkhianatan terhadap kemerdekaan.
Sebelum jauh membahas, sedikitnya kita perlu bersyukur, sedikit tidaknya ada kebaikan di tengah perayaan HUT RI sebelumnya, masyarakat kita tetap ramai dan gigih menunjukkan bakti-bakti terpujinya dan tidak lupa Dr. H. Zulkieflimansyah bersama Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah (Gubernur dan Wakil Gubernur) “Gemilang” Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah segudang Event bertaraf Nasional hingga Internasional dengan “buah manis” yang pernah terealisasikan antara lain, Kejuaraan Dunia Motocross (MXGP) Samota dan Selaparang, Event Sepeda Dunia L'etape hingga yang paling terkenal ialah WSBK MotoGP Mandalika (2022-2023).
Kota Bima Mendapatkan Penghargaan KEMEN PPPA-RI Kota Layak Anak Kategori “NINDYA” 2023, Penghargaan Tiga Besar se-Indonesia atas Kepatuhan Tinggi terhadap Standar Pelayanan Publik dari Ombudsman RI, Penghargaan Universal Health Coverage dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI dan lainya.
Kabupaten Bima pun mendapatkan legitimasi Pawai Rimpu Bima Meraih Rekor Muri, raih Penghargaan Nasional Lonvergensi Stunting dari Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah dan lainya. Selain itu legitimasi penghargaan bertaraf Nasional dan Internasional juga di dapatkan oleh semua Kota Kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Barat.
Di kalangan para pelaksana negara pun, kita menyaksikan Presiden, sejumlah Menteri, dan Kepala Daerah tiada henti membuktikan tanggung jawab mereka dengan melawan Pandemi Covid-19 dan segudang prestasi bahkan event nya yang tidak cukup untuk di tulis secara keseluruhan.
Sebut saja, ada menteri yang tempo kerjanya sudah tinggi sedari awal pandemi dan ikut terpapar, menteri yang tanpa ragu naik ojek ke lokasi-lokasi merah dan terpencil, juga menteri yang terus ulet bekerja dengan otoritas dan integritas istimewa sembari tak lupa berzikir.
Pasca bersyukur adakalanya kita teringat hingga tersentak oleh laku korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara atas dana bantuan sosial pandemi di tengah deraan derita bangsa. Lalu kezaliman terhadap ke-75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN); perenggutan independensi, kebebasan, dan kepedulian di pucuk dunia akademik, kawal setia suara kebenaran dan keadilan di sepanjang masa kemerdekaan; dakwaan terhadap para aktivis keadilan lewat “pasal-pasal karet” Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); parahnya kesenjangan antara aspirasi rakyat akan keadilan dan laku khianat sebagian anggota DPR.
Begitu juga APH Tembak APH (Ferdi Sambo dkk Vs Josua) dan terbaru isu hangat BPJS AB (Inisial nama Joki cilik kuda Kota Bima yang meninggal dunia) hingga bapak Walikota Bima yang terseret kasus gratifikasi atas penyalahgunaan kekuasaannya dan Case Rempang-Galang Batam.
Tidak sampai disitu deretan vonis atau tuntutan miskin integritas dari lembaga-lembaga peradilan yang diberikan dalam kasus Jaksa Pinangki, Joko S Tjandra, dan Edhy Prabowo. ICW mencatat (Data, 02 August 2023) setidaknya 26 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh MA. Dari kedua puluh enam terdakwa tersebut, Gazalba Saleh tercatat sebagai anggota majelis hakim yang memutus bebas 5 orang terdakwa korupsi.
Dalam kilas balik hampir empat dekade ke belakang, setidaknya kita dapat menunjuk tiga penyebab meningkatnya kemerdekaan pengkhianatan yang berkelindan erat satu sama lain.
Pertama, mega-impunitas pada tahun-tahun peralihan Orde Baru ke rezim Reformasi (1998-2003). Kedua, deideologisasi dan pemiskinan ketercerahan politik di kalangan partai sehingga memeratakan sifat bunglon tanpa karakter dalam berpolitik dan ketiga adalah praksis legislasi DPR yang miskin otoritas dan integritas, papa substansi, miskin deliberasi, serta bangkrut legitimasi.
Impunitas politik
Irasionalitas politik memarakkan impunitas politik. Pertama dan terpenting adalah praktik impunitas terhadap rangkaian mega-korupsi dan kejahatan masif terhadap kemanusiaan pada rezim Orde Baru. Negara kita tergiring ke arah kemerdekaan pengkhianatan lantaran para pelaksananya gagal atau menolak menyadari impunitas sebagai suatu ilusi sebagai penipuan diri sendiri.
Tak sedikit pejabat tinggi negara kita di ketiga cabang pemerintahan dari Orde Baru hingga ke era Reformasi yang wawasannya terlampau tersungkup untuk memahami kerja hukum psiko-politik, yakni bahwa setiap impunitas dalam pelaksanaan pemerintahan akan membawakan kebangkitan kembali padanan dari laku angkara yang diloloskan dengan daya rusak berganda.
Kian besar bobot impunitas, kian besar pulalah daya rusak baliknya. The greater the impunity, the more it returns with an even greater vengeance. Dan diktum politik perenial perihal negara bekerja di sini: negara, jika dikelola secara benar, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar. Namun, jika dikelola sebaliknya, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar. Sebab, negara adalah pemangku tunggal daya paksa dan segenap sumber daya ekonomi dan politik nasional. Bangsa kita telah menyaksikan kedua sisi dari ekuasi itu.
Dalam perbandingan, keprihatinan besar akan impunitas inilah yang membuat Partai Demokrat dalam Kongres Amerika pada hari-hari ini terus gigih memperjuangkan adanya investigasi bipartisan atas pemberontakan di Capitol Hill pada 6 Januari lalu.
Terkikisnya patokan-patokan ideologis dan prinsip-prinsip politik luhur di kalangan partai merupakan akibat langsung dari avalansa impunitas atas rangkaian mega-korupsi dan pelanggaran HAM masif di bawah Orde Baru.
Kedua, amendemen empat kali atas konstitusi dan pembentukan lembaga-lembaga penopang sistem demokrasi memang merupakan prestasi nyata Reformasi. Namun, dengan tetap utuhnya personalia dan mesin-mesin politik Orde Baru di kancah era Reformasi yang segera terjadi adalah pertandingan panjang, a long tug-of-war, yang kian lama kian timpang antara realitas praksis Orde Baru dan ideal praksis Reformasi.
Pergantian episentrum kekuasaan dari eksekutif ke legislatif di bawah diktasi atau hegemoni mesin politik Orde Baru membuat praktis semua partai kelahiran reformasi pun ikut terkontaminasi oleh laku penghalalan cara model Orde Baru. Selain itu, politik dinasti dan ”politik trah” mencampakkan tuntutan kaderisasi dan mekanisme seleksi demokratis internal partai serta mengabaikan aktivasi/agregasi gagasan-gagasan politik tercerahkan dalam praksis kepartaian.
Kontras tajam dengan karakter kepartaian sepanjang 1912-1960, aneka sifat buruk di dunia kepartaian kita, terutama di era Reformasi, itulah yang bermuara dalam bentuk perekrutan para pelaksana di ketiga cabang pemerintahan dan merupakan booster utama dari apa yang kita sebut ”kemerdekaan pengkhianatan”.
Ketiga, parahnya kemiskinan integritas dan otoritas, minimnya deliberasi, serta tiadanya pengindahan pada prinsip keabsahan prosedural dan keabsahan substansial dalam penyiapan, penetapan, dan revisi UU. Itulah yang berlaku pada UU ITE, UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Tiga yang pertama merupakan hasil revisi. Keempat UU ini disahkan di masa pemerintahan Jokowi.
Dengan kecacatan besar dalam praktik legislasi itu, keempatnya akan potensial berdampak langsung pada penyepelean aktualisasi ideal-ideal kemerdekaan kita. UU ITE (2016) memprivilesekan para pelaksana kekuasaan dengan membentengi mereka dari kritik dan pengawasan masyarakat, menafikan keniscayaan kontrol bersama atas pelaksanaan kekuasaan demi terlaksananya pemerintahan bersih dan akuntabel.
UU KPK (2019) menyangkal kenyataan bahwa magnifikasi dan kumulasi korupsi merampas hak-hak banyak warga bangsa akan perlakuan layak dan adil dalam berbagai bidang. Kresendo korupsi langsung memiskinkan; mengikis keberdayaan, kreativitas, dan harapan rakyat; mengikis moralitas pemerintahan; menggerogoti solidaritas dan keluhuran kebangsaan.
UU Minerba (2020) menggampangkan perusakan lingkungan hidup dan kelangsungan kesehatan ekologis, yang semestinya harus gigih dipelihara sebagai bagian dari ”hajat hidup orang banyak” akan produktivitas ekonomi berkualitas dan berjangka panjang demi kesejahteraan bangsa lintas generasi.
UU Cipta Kerja (2020) tegak di atas asumsi bahwa investasi can do no wrong dan bahwa ancaman deforestasi, hak-hak kaum buruh dan kaum perempuan untuk hidup layak dan bermasa depan.
Keempat UU itu manifestasi dari menjauhnya negara dari bangsa dan sudah tentu sama-sama menjadi indikator utama dalam kemerdekaan pengkhianatan. UU KPK (2019) paling sarat dengan niat dan konten khianat terhadap keniscayaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. UU Cipta Kerja merangkum wewenang perundang-undangan paling luas sekaligus paling rancu dan paling bermasalah dalam hitungan keabsahan prosedural dan keabsahan substansial.
Ia juga ditandai oleh tiadanya kesiapan akademik, terbatasnya deliberasi, dan tergesanya pengesahan, termasuk laku liar mengubah isi materi UU setelah disahkan oleh DPR. Tiadanya keabsahan substansial terlihat pada pertabrakan atau kekisruhan dengan sejumlah UU lain, kumulasi laku zalim terhadap kaum buruh dan kaum wanita, ataupun pertentangannya dengan prinsip-prinsip keadaban dalam perburuhan internasional (Konvensi ILO, Konfederasi Serikat Buruh Internasional, dan puluhan lembaga investasi internasional).
Keempat UU itu manifestasi dari menjauhnya negara dari bangsa dan sudah tentu sama-sama menjadi indikator utama dalam kemerdekaan pengkhianatan.
Tak pelak lagi UU Cipta Kerja berpotensi menjadi kontributor terbesar dalam pengkhianatan terhadap ideal-ideal kemerdekaan kita. Jika tujuan utama UU ini untuk memudahkan investasi plus lapangan kerja, berlakunya kepastian hukum di dunia usaha, dan terlaksananya ideal-ideal kemerdekaan kita, ia justru berpeluang terbesar membatalkan dan mengkhianati itu semua.
Membalikkan pengkhianatan
Di sini, kita patut kembali mengutip peringatan lirih Bung Karno 78 tahun silam perihal “satu bangsa yang mula-mula mencoba hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya kembali menjadi ... ’een natie van koelies en een koelie onder de naties’.”
Ke mana kita merdeka? Sudah 78 tahun, yaitu sejak Orde Baru, bangsa kita tergiring ke dalam regresi kontinu dari ideal-ideal kemerdekaan kita sehingga sudah menjadi suatu tantangan yang menggunung. Namun, pada PEMILU 2024 kali ini bangsa kita harus bangkit menegasikannya.
Bagi masyarakat yang peduli demokrasi lebih-lebih perbaikan Indonesia dalam penyelenggaraan negara, pemilu merupakan sesuatu yang dipersyaratkan dan jadi tonggak pendewasaan demokrasi dan konsensus regenerasi pemimpin yang diharapkan mampu membawa kemakmuran bangsa Indonesia. Untuk itu, kualitas Pemilu 2024 harus ditingkatkan.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Jangan biarkan demokrasi mati di tangan para begundal dan jangan biarkan Pemilihan umum di menangkan oleh kalangan manusia bebal!
Kesebalan-kesebalan kita pada penguasa saat ini mungkin menjadi alasan pembenar untuk kita melangkahkan kaki ke bilik suara bukan lagi menjadi alasan pembenar untuk tidak melangkahkan kaki ke bilik suara di hari pemilihan.
Bicara Pemilu 2024, sangat erat kaitannya dengan sistem demokrasi. Sebuah pemilu dapat dilaksanakan tentu atas dasar suatu negara tersebut menganut sistem pemerintahan yang demokrasi dimana masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan aspirasi nya. Salah satu bentuk aspirasi itu adalah dengan ikut berpartisipasi memilih secara langsung kepala negara, daerah maupun menggunakan hak pilihnya pada pemilihan legislatif.
Adapun fenomena-fenomena demokrasi reformasi yang saat ini ada di Indonesia menurut Prof Martin diantaranya suksesi pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung yang terpolarisasi, hilangnya kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara (sila ke-4), menonjolnya kekuasaan, dinasti dan perebutan sura demi mempertahankan kekuasaan, dwi fungsi TNI, serta efek globalisasi.
Untuk mensiasati berbagai ancaman, tantangan dan peluang yang dihadapi kita dapat mempersiapkan maupun mensiasati hal tersebut dengan melibatkan social control terhadap komponen masyarakat, keterlibatan ranah perguruan tinggi dalam proses pendidikan politik, pemahaman arti pentingnya demokrasi pancasila. Langkah-langkah lainnya ialah meningkatkan pemahaman rakyat agar tidak awam lagi dalam memilih calon presiden ataupun kepala daerah serta partai pengusung.
Salah satu yang paling tepat ialah memahami motif pencalonan. Agar tidak bingung dan rasional dalam memilih maka baik kiranya kita memahami motif Pencalegan hingga Pencalonan Eksekutif.
Dikutip dari buku Dr. Gun-Gun Heryanto. M.Si seorang akademisi dari UIN Jakarta. Dalam bukunya beliau menulis ada lima motif Pencalonan, Antara lain: mereka mencari prestise (wibawa) dari jabatan sebagai wakil rakyat, Calon yang mencari perlindungan, Para Pencari Kerja dan Petualang Politik, Proteksi dan Expansi Bisnis dan Motif Perjuangan dan Pelayanan ialah yang paling mulia.
Artinya, masyarakat perlu mendeteksi dini apa sebetulnya motif seseorang mencalonkan diri. Kritis terhadap hal ini perlu, untuk mempengaruhi niat luhurnya. Meski semua calon pasti akan beralasan bahwa tujuan mereka adalah untuk motif perjuangan dan pelayanan.
Untuk melihat motif itu. Tentu kita dapat melihatnya dari latar belakang. Trackrecord seorang yang mencalonkan diri tersebut. Nilailah pada kacamata sendiri, agar bisa menentukan pilihan sendiri, tapi tentu dengan basis value pengetahuan.
Selain itu, dari berbagai calon kepala negara, daerah maupun calon legislatif hingga senator pada pemilu 2024 sudah selayaknya bagi kita untuk mengetahui siapakah dari deretan para calon yang siap untuk menanggung semua beban demi membalikan pengkhianatan, melepaskan masyarakat dari jeratan-jeratan kebijakan yang dzolim demi menghilangkan suara-suara jeritan dan tangisan rakyat menuju kemerdekaan yang sebenarnya.
Jika ada, silahkan pilih mereka!!! Jika tidak ada, masa bersuaralah dan pastikan mereka menempatkan dirinya pada proses perjuangan bersama Rakyat dan mereka siap untuk menanggung semua beban yang ada. Namun jika jabatan telah di dapatkan dan mereka kembali berkhianat, maka sudah selayaknya kita marah dan membentuk kelompok perlawanan yang solid untuk membrantas golongan pendusta, pengkhianat kemerdekaan; firaun-firaun keji yang terlahir atas percampuran sperma-sperma iblis dengan dajjal tersebut.
Artinya, kesebalan-kesebalan kita hari ini tentu juga tidak boleh sampai menjadikan kita manusia yang apolitis sama sekali. Ada ruang-ruang demokrasi yang masih terus bisa kita pakai dan manfaatkan. Misalnya saja dengan terus menyuarakan kritisisme mengenai problem-problem demokrasi yang kita hadapi. Kritik dan diskusi publik soal bermacam cacat aparatur negara harus terus digemakan sebagai lonceng bahwa kita masih ada terus mengawasi denyut demokrasi dan Indonesia.
Saya teringat pernyataan senior Adi Ardiansyah sewaktu berdiskusi. Guru ikatan sapaan akrab beliau, menyebutkan bahwa kritik dapat menyelamatkan pembangunan. Melalui kritik, ada proses dialog yang tercipta antara pemangku kebijakan dan masyarakat, ada feedback terhadap itu semua. Sehingga, ruang wacana terbuka semakin lebar dan negara tidak bisa lagi seenaknya menetapkan sesuatu ke jidat rakyatnya.
Secara mendasar, kritik tidak hanya berfungsi mendorong perbaikan hidup masyarakat tapi juga mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang berkualitas dari penyelenggara negara. Jika meminjam istilah Amartya Sen “peraih nobel bidang ekonomi” dengan demokrasi para pelaksana pemerintahan dapat memperoleh insentif secara politik untuk segera bertindak. Pada akhirnya, sebebal apa pun rezim yang kita hadapi, kritik dan pengawasan harus tetap berjalan. Sebab, kita tidak ingin demokrasi yang kita jalani mati di tangan para begundal-begundal republik.
Kini, sanggupkah kita membalikkan kemerdekaan pengkhianatan itu?
Tuhan menganugerahi kita modal-modal kebangsaan istimewa: satu bahasa nasional yang berharkat; tradisi kejuangan yang tegar serta sejarah pergerakan dan revolusi kemerdekaan yang gemilang. Para pendiri bangsa berkarakter terpuji dan berwawasan tercerahkan; tradisi saling menyantuni dalam keragaman budaya dan agama; dan ideal-ideal Pancasila yang akar-akar historisnya menghujam ratusan tahun ke belakang dengan visi politik progresif yang menjangkau jauh ke masa depan.
Dengan internalisasi dari semua modal yang nilainya tak terperikan itu, imbauannya pasti bukanlah sanggupkah kita, melainkan bersediakah kita?
*Penulis adalah Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.