Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

25 Tahun Setelah Kejatuhan Soeharto

Politik | Friday, 29 Sep 2023, 13:10 WIB

Pada tanggal 11 Maret 1966, Soeharto menyalahgunakan surat perintah dari Bung Karno untuk mengambil-alih kekuasaan. Kemudian, pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden oleh MPRS. Lalu, pada 21 Mei 1998, Soeharto pun akhirnya mengumumkan pengunduran diri setelah aparatus kekuasaannya tidak sanggup lagi menghalau perlawanan mahasiswa dan rakyat miskin.

Soeharto berkuasa sangat lama : 32 tahun. Dalam manifesto Partai Rakyat Demokratik (PRD) dikatakan bahwa masa kekuasaan Soeharto adalah masa pengembalian kolonialisme (re-kolonialisme). Pada bulan November 1967, orang-orang kepercayaan Soeharto telah menjual seluruh kekayaan bangsa ini kepada perusahaan-perusahaan besar dunia, diantaranya: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.

Belum cukup dengan itu, Soeharto juga menghadiahi korporasi-korporasi asing itu dengan sebuah Undang-Undang yang sangat liberal: UU penanaman modal asing (PMA) tahun 1967. Sebagai imbalannya, Soeharto mendapat pinjaman dari Bank Dunia dan sejumlah lembaga donor lainnya selama beberapa kali. Gara-gara pinjaman illegal tersebut, Soeharto mewarisi bangsa Indonesia dengan utang hampir sebesar Rp1.500 triliun.

Segera setelah Soeharto tumbang, orang-orang ramai berbicara mengenai sebuah proses transisi demokrasi, yang ditandai dengan sistim multi-partai, pemilu reguler, kebebasan pers, kebebasan mendirikan organisasi dan menyatakan pendapat, dan lain sebagainya.

Ternyata, apa yang dimaksudkan transisi demokrasi bukanlah proses meninggalkan kehidupan di bawa kediktatoran menuju kehidupan yang benar-benar demokratis, melainkan dari peralihan dari cara penindasan dengan kediktatoran menjadi demokrasi liberal; atau, dari kapitalisme kroni menjadi kapitalisme neoliberal.

Apakah situasi telah menjadi lebih baik? Jelas tidak. Bangsa Indonesia telah memasuki situasi keterpurukan yang sedemian parahnya. Jika zaman Soeharto dianggap zaman kegelapan, maka jaman sekarang bisa dikatakan “zaman kematian atau kemusnahan’.

Di zaman orde baru, sebagaimana dicatat oleh Walden Bello, seorang ekonom progressif dari Focus on the Global South, sepanjang kekuasaan Soeharto dari tahun 1980an hingga 1980, negara masih menjadi aktor kunci dalam kehidupan ekonomi. Dalam catatan Bello disebutkan, perusahaan negara di era itu mencatat kontribusi sebesar 30% dari GDP dan sekitar 40% dari PDB itu berasal dari sektor non-pertanian. Persentase belanja negara mencapai 47%, yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara, dimana Thailand hanya berkisar 23 menjadi 33%, sedangkan Filipina dari 26% menjadi 16%.

Sekarang ini, di bawah pemerintahan Jokowi, persentase BUMN terhadap PDB berkisar 53%. Belum lagi, dengan kebijakan privatisasi yang sangat agresif, sebagian besar BUMN itu telah berpindah-tangan ke asing.

Jokowi juga lebih “rakus” berutang ketimbang Soeharto. Jika Soeharto mewariskan utang sebesar Rp1500 triliun dalam 32 tahun atau Rp46 triliun pertahun, maka Jokowi menambah utang Rp1000 triliun per-tahun.

Pada zaman Jokowi ini, agenda penghancuran ekonomi rakyat marhaen juga semakin dipertegas dengan kebijakan perdagangan bebas, baik melalui perjanjian bilateral maupun kawasan (regional), bahkan banyak sekali Proyek Strategis yang memakan alat alat produksi rakyat miskin dalam hal ini TANAH.

Indonesia yang luas dan subur, yang kata Koes-Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, ternyata di zaman Jokowi telah menjadi menjadi negara pengimpor terbesar semua kebutuhan pangannya: antara tahun 1998-2001 kita menjadi negara importir beras terbesar di dunia; dan kini setiap tahun kita impor gula 40 persen dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; impor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan susu.

Apa capaian demokrasi di bawah Jokowi? Demokrasi liberal ugal-ugalan ala Jokowi telah menyingkirkan sebagian besar rakyat marhaen dari kehidupan politik. Ada begitu banyak produk perundang-undangan yang diputuskan tanpa konsultasi dengan rakyat marhaen, meskipun undang-undang itu sangat merugikan rakyat marhaen.

Korupsi di zaman Jokowi sama halnya diera pemerintahan sebelumnya juga tumbuh-subur, bahkan terang-terangan. Jika di jaman Soeharto sebagian besar keuangan negara dirampok Soeharto dan kroninya, maka di zaman Jokowi pun demikian. Bahkan, tidak sedikit dari praktek korupsi itu dilegitimasi atas nama kebijakan pemulihan ekonomi nasional.

meskipun ada banyak sekali tidak benarnya. Benarnya adalah bahwa rakyat Indonesia sudah sangat kecewa dengan rezim Sekarang, terutama karena tidak bisa mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan kesalahannya, bahwa seolah-olah era Soeharto terputus dengan era Jokowi ini, sehingga orang memandang era Soeharto lebih baik dari sekarang ini. Era Soeharto telah menyediakan fondasi bagi kembalinya kolonialisme, sedangkan rezim jokowi telah memperkuat fondasi kolonialisme itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image