Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Bung Karno Sebagai Icon Perjuangan Melawan Penjajahan Asing

Politik | Wednesday, 27 Sep 2023, 12:06 WIB

Selama bertahun-tahun, sejak sepeninggal Bung Karno hingga reformasi sekarang ini, icon Bung Karno seolah-olah menjadi hak paten partai-partai yang mengaku diri Penerus PNI atau partai-partai tempat berkumpulnya anak-anak Bung Karno. Padahal, Bung Karno bukan milik sebuah keluarga atau aliran politik tertentu, melainkan milik bangsa Indonesia.

Terlepas kekurangan beliau selama memerintah negara ini sejak 1945 hingga 1966 digulingkan.

Sekarang ini, setelah imperialisme dan buahnya bernama neoliberalisme begitu deras menindak kekayaan dan perasaan nasional kita, sebagian kaum muda pun mulai mengangkat kembali icon Bung Karno. Kecintaan terhadap founding father bangsa Indonesia ini pun memuncak. Salah satunya, dalam musyawarah pemuda pergerakan mendatang, sosok Bung Karno akan ditonjolkan.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, salah satu Organisasi Mahasiswa progresif di Indonesia, menjadikan Bung Karno sebagai salah satu tokoh inspirasi bangsa, sebagaimana rakyat Venezuela mengangkat Simon Bolivar dan Kuba dengan Jose Marti. GmnI bukan hanya mengambil Bung Karno sebagai inspirasi perjuangan, tetapi juga mempelajari kembali pikiran-pikiran beliau.

Saat ini diperlukan suatu simbol nasional untuk menyatukan kembali seluruh gerakan pemuda dan rakyat marhaen. Untuk tujuan itu, menurutnya, sosok Bung Karno sangatlah cocok. Bung Karno memang sudah tiada secara fisik, tetapi pikiran-pikirannya masih terus hidup.

Jiwa besar Bung Karno sangat relevan untuk membangkitkan bangsa Indonesia saat ini. Dengan menelusuri perkembangan berbegai gerakan nasional melawan kolonialisme Belanda sejak lahirnya Boedi Oetomo dalam tahun 1908 sampai 1965, maka nampak nyatalah bahwa Bung Karno adalah promotor atau penerus gerakan kebangkitan nasional.

Ajaran Bung Karno, Marhaenisme, juga dianggap sangat relevan untuk memperkaya teori perjuangan melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Pada masa orde baru, sebagaimana juga marxisme, marhaenisme juga turut dilarang (mungkin sampai sekarang karena sangat jelas negara dan perangkat perangkatnya berusaha memisahkan Pancasila Dengan Marhaenisme).

Barulah pada pemilu 1999, pemilu pertama pasca kejatuhan Soeharto 1998, ada partai politik yang secara resmi menggunakan marhaenisme sebagai azas, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI)-Front Marhaenis yang pada akhirnya terpecah, beberapa mendirikan PNI-Massa Marhaen, Partai Nasional Demokrat (PND), Dan Partai Nasional Indonesia Pimpinan Ny. Supeni. Pada saat itu, kendati dikatakan era transisi demokrasi, Presiden B.J. Habibie sempat berbicara tentang bahaya “Komas”, singkatan dari komunisme, marhaenisme, dan sosialisme.

Dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael Laifer, mencantumkan bahwa Marhaenisme merupakan salah satu varian dari Marxisme. Sementara menurut Dawam Rahardjo, Guru besar ekonomi pada Universitas Muhammadiyah, di Malang, marhaenisme juga merupakan alternatif terhadap marxisme. “Dalam interpretasi itu terkandung adanya penolakan, paling tidak kritik terhadap marxisme,” katanya.

Pikiran-pukiran Bung Karno tidak dapat dilepaskan dari Marxisme. Setidaknya, sebagian besar karya-karya Bung Karno diperkaya oleh pikiran-pikiran orang-orang marxis. Teori mengenai imperialisme, misalnya, Bung Karno banyak mengambil dari Rudolf Hilferding, J.A Hobson, Karl Kautsky, dan Lenin. Semua orang itu adalah orang yang menganut marxisme. Ada yang berkecenderungan sosial demokrasi, tetapi ada pula yang komunis.

Marhaenisme merupakan cara Bung Karno menerapkan Marxisme dalam konteks Ke-Indonesia-an, khususnya kekhususan-kekhususan relasi produksi yang muncul di Indonesia saat itu, 1927. Sebagai misal, penggunaan kata Marhaen mengacu kepada pemilik produksi kecil, yang meskipun mempunyai alat produksi, tetapi hasil produksinya tidak bisa mengcukupi untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya sendiri. Marhaen adalah identifikasi kelas dalam kekhususan relasi produksi di Indonesia.

Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum miskim lain-lain.

Dimana letak kecocokan marhaenisme dengan situasi sekarang? Saya berusaha memberi contoh: Sekarang ini, yang disebut sektor informal sudah mencapai 60%. Sektor informal ini sebagian besar adalah pemilik produksi kecil alias marhaen. Kalau mau memperjuangkan sosialisme di Indonesia, maka itu akan menjadi tidak mungkin jika mengabaikan kaum marhaen yang sebanyak itu.

Bung Karno sendiri pernah mengatakan, untuk memahami Marhaenisme perlu untuk memahami dua pengetahuan: pertama, pengetahuan mengenai situasi dan kondisi Indonesia, dan kedua, pengetahuan tentang Marxisme.

Di tangan kaum nasionalis gadungan, yang tidak mau belajar marxisme dan situasi Indonesia, marhaenisme hanya menjadi dogma dan slogan, sedangkan Bung Karno dikerangkeng sekedar sebagai gambar mati dalam spanduk, dan Diam dalam patung.

Sekarang ini, ajaran marhaenisme hampir terancam bangkrut, karena tidak ada usaha untuk memperdalam marhaenisme itu sendiri dan tidak ada usaha mengembangkannya untuk situasi sekarang serta banyak usah usaha yang melepaskan Marhaenisme dengan Pancasila.

YUDYA PRATIDINA MARHAENIS, MERDEKA!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image