Angka Perceraian Tinggi, Bisakah Diturunkan?
Agama | 2023-09-22 18:45:09Dirilis oleh akun Instagram #Bondowosotodayid pada 14 September lalu, disebutkan bahwa angka perceraian di Bondowoso tembus 1233 kasus. Angka ini sangat tinggi dan diprediksi masih akan terus meningkat sampai tutup tahun 2023. Dari angka 1.233 tersebut, 893 berkas berisi cerai gugat, sedangkan cerai talak sebanyak 340 berkas. Data ini terhitung mulai bulan Januari sampai Agustus.
Nah, bagaimana dengan angka perceraian nasional? Dikutip dari Goodstats.Com (22/5/2023), berdasarkan laporan Statistik Indonesia 2023, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 15% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Sebagian besar kasus perceraian yang terjadi pada 2022 merupakan cerai gugat sebanyak 338.358 kasus atau sebanyak 75,21% dari total kasus perceraian yang terjadi. Tingginya angka perceraian ini menempatkan Indonesia sebagai pemegang rekor tertinggi di Asia Afrika, yaitu sekitar 28% dari angka perkawinan. Yang memprihatinkan, 93% di antara kasus perceraian adalah cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan oleh istri. (Kemenag, 14/06/2022).
Akar Masalah Perceraian
Hal paling mendasar untuk menemukan solusi tuntas dari masalah perceraian adalah dengan menelusuri akar masalahnya. Banyak pihak menuding pernikahan dini sebagai penyebab utamanya. Pada faktanya tidaklah demikian. Pada tahun 2022 penyebab utama perceraian tertinggi adalah perselisihan dan pertengkaran sebesar 284.169 kasus atau 63,41% dari total perceraian. Penyebab terbesar kedua yakni masalah ekonomi sebanyak 110.939 kasus. Penyebab lainnya, yaitu salah satu pihak meninggalkan, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Berbagai penyebab di atas sebenarnya hanyalah cabang. Apabila ditelisik, ada sebab lain yang menjadi akar masalahnya, yaitu tata kelola kehidupan yang berjalan saat ini. Diakui atau tidak, sistem kehidupan saat ini sengaja memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya mengatur urusan peribadatan, sedangkan urusan kehidupan dibiarkan berjalan tanpa aturan agama, termasuk dalam mengelola rumah tangga. Sistem kehidupan seperti ini populer dengan sebutan sekularisme.
Yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak paham kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, menelantarkan mereka, dan mengabaikan tanggung jawabnya. Begitu pula suami-suami yang suka melakukan kekerasan terhadap istri, berselingkuh, berpoligami secara tidak adil, dan kezaliman lain yang menyalahi syarak. Semua berujung perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suami.
Demikian pula sebaliknya. Para istri tidak paham dengan kewajibannya sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Istri-istri yang tidak memahami suaminya, terlalu banyak menuntut dari A sampai Z, bahkan menuntut pemenuhan sesuatu yang bukan menjadi kebutuhan keluarga. Hal yang demikian ini pun dapat berujung pada pertengkaran dan gugatan cerai.
Cara Islam Cegah Perceraian
Apa yang terjadi pada rumah tangga-rumah tangga muslim saat ini sangat jauh berbeda dengan kondisi saat Islam diterapkan. Kala itu, suami sangat paham dengan kewajibannya untuk mencari nafkah, menjadi imam yang baik bagi keluarganya, dan senantiasa membimbing istri dan anaknya untuk taat syariat. Begitu pula dengan istri. Ia paham kewajiban-kewajibannya. Kehidupan suami istri dalam Islam adalah kehidupan penuh persahabatan, bukan model hubungan antara atasan dan bawahan atau pun berserikat layaknya bisnis.
Apabila didapati suami yang ingkar dari kewajibannya untuk menafkahi, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta suami. Harta itu akan dinafkahkan oleh negara pada keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban memberi nafkah berpindah kepada para wali dari jalur suami. Apabila ternyata mereka semua miskin, negaralah yang mengeluarkan nafkah dari kas negara.
Agar para suami dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan tata kelola perekonomian dalam Islam yang melarang pihak swasta mengelola sumber daya alam strategis, bukan hal mustahil bagi negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang luas. Kepastian larangan pengelolaan sumber daya alam oleh pihak swasta, niscaya menjamin kebutuhan individu warga negaranya. Seluruh rakyat akan sejahtera. Tidak ada kisahnya bercerai karena perekonomian keluarga lemah.
Akan tetapi, bila dalam keluarga tersebut unsur Sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak terpenuhi maka keduanya perlu dimediasi. Allah Swt. berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’: 35)
Jika dimediasi tidak juga membaik, Islam menjadikan cerai sebagai solusi agar tidak saling menderita dengan pernikahannya. Allah Swt. berfirman,
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 227)
Perceraian memang tidak dilarang, tetapi Allah membenci terjadinya perceraian. Dalam Islam, bercerai adalah jalan terakhir ketika seluruh solusi buntu dan upaya untuk mempertahankan rumah tangga tidak membuahkan hasil.
Demikianlah sekelumit aturan Islam yang unik. Islam tidak sekedar mengatur ibadah ritual saja, tetapi juga mengatur seluruh sistem kehidupan. Apabila Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari niscaya kemuliaan individu, keluarga, dan masyarakat akan senantiasa terjaga. Selain itu, Islam memberikan seperangkat aturan untuk menjaga agar tidak mudah terjadi perceraian. Salah satunya dengan menyolusi setiap perselisihan antara suami istri. Tatkala syariat Islam diterapkan, niscaya seluruh persoalan kehidupan akan tersolusi dengan tuntas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.