Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Berbicara Soal Demokrasi Kekinian

Politik | Thursday, 21 Sep 2023, 03:45 WIB

Demokrasi memang masih memberi harapan. Banyak negara berharap demokrasi bisa menerangi jalan mereka menuju masa depan. Dunia kini sedang berjalan dalam lorong gelap. Di depan lorong gelap itu menanti cahaya. Itulah masyarakat “bebas” dan demokratis.

Namun, jika melihat krisis kapitalisme sekarang, banyak orang yang kehilangan optimisme. Demokrasi liberal, yang dulu dipuja-puja akan membawa kebebasan dan kemakmuran, justru membawa mayoritas (99%) rakyat marhaen hingga Proletar dalam kemiskinan, kesengsaraaan, dan utang. Sebaliknya, demokrasi ini justru gagal membendung keserakahan segelintir (1%) pemilik korporasi.

Demokrasi liberal di tempat asalnya, Eropa dan Amerika Serikat, sedang digugat. Demonstrasi anti-kapitalis dan berbagai gerakan bermunculan adalah ekspresi kuat betapa rakyat merasa diperdaya oleh demokrasi liberal itu. Pengeritik kapitalisme paling pedas, Naomi Klein, menganggap demokrasi sudah dibajak oleh segelintir (1%) elit.

Demokrasi liberal hanya mengekalkan penumpukan kekayaan di tangan segelintir elit. Sebaliknya, pada saat bersamaan, rakyat dipaksa menyerahkan hak-hak dasar dan layanan publiknya kepada pasar. Ironisnya, pada proses politik, pengambilan keputusan semakin tersentralisasi di tangan segelintir elit.

Akhirnya, terjadilah apa yang dikatakan Ilmuwan politik Argentina, Atilio Boron, bahwa pasarlah yang sesungguhnya memiliki kekuasaan nyata, sementara demokrasi tak lebih sebagai ornamen pelengkap. Suara rakyat, yang secara rutin diritualkan per-lima tahun, tak lebih sebagai alat legitimasi belaka. Terbentuklah “pemerintahan dari pasar, oleh pasar, dan untuk pasar.”

Di belahan dunia lain, tepatnya di Amerika Latin, sesuatu yang lain justru sedang berlangsung di sana. Kawasan ini pernah diluluhlantakkan oleh neoliberalisme plus perangkat demokrasi liberalnya. Sekarang, kawasan ini justru mulai sehat ketika mereka membuang demokrasi liberal ke “keranjang sampah”. Mereka kemudian menganut konsep demokrasi baru: demokrasi partisipatif.

Demokrasi tak ada artinya jika rakyat marhaen tetap miskin. Demokrasi tak berguna kalau korupsi tetap tumbuh subur. Juga demokrasi kehilangan makna jikalau orang dibeda-bedakan dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, perumahan, dan lain-lain. Demokrasi itu hanya alat, begitu kata Bung Karno, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Indonesia sebetulnya kaya dengan konsep demokrasi. Jauh sebelum kedatangan kolonialisme di bumi nusantara, masyarakat Indonesia sudah mengenal konsep demokrasi, yaitu demokrasi desa. Bung Hatta menguraikan ciri demokrasi desa sebagai berikut: rapat, hak melakukan protes, tolong-menolong, dan kepemilikan kolektif terhadap alat-alat produksi.

Sembilan puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 1932, para pendiri bangsa sudah menguraikan kegagalan demokrasi liberal. Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka tak setuju jika konsep demokrasi barat diterapkan di Indonesia. Bagi mereka, demokrasi barat hanya memberikan kebebasan politik saja, tetapi tidak ada demokrasi di lapangan ekonomi.

Padahal, teorinya mengatakan, siapa mengontrol ekonomi, maka dengan sendirinya ia mengontrol kehidupan politik. Artinya, kalau kaum borjuis mengontrol alat-alat produksi, maka bangunan demokrasinya pun berwatak borjuis. Demokrasi tersebut hanya akan membela kepentingan kaum borjuis.

Karena itu, para pendiri bangsa kita sudah menggariskan, demokasi Indonesia harus mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Jadi, di satu sisi, rakyat marhaen diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam kekuasaan politik. Sementara, pada sisi lain, rakyat marhaen juga mengontrol alat-alat produksi ekonomi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image