Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Pemilu dan Partisipasi Warga

Politik | Tuesday, 19 Sep 2023, 15:18 WIB
Pemilu yang berkualitas dibutuhkan agar masyarakat percaya hasil yang mereka terima adalah bukan rekayasa atau kecurangan.

Pemilihan Umum (Pemilu) yang perhelatannya lima tahun sekali membuktikan sistem Indonesia adalah demokrasi. Pemilihan pemimpin adalah berdasarkan kemauan rakyat yang disalurkan melalui pencoblosan suara. Hal ini dilakukan sebagai bukti demokrasi di Indonesia untuk menghapus kecenderungan negara memusatkan kekuasaan secara absolut pada individu atau kelompok tertentu. Partai politik atau perkumpulan sipil hadir sebagai pemenuhan aspirasi politik alternatif. Aspirasi yang disalurkan untuk mengimbangi dan mengontrol kekuasaan.

Dalam sejarah politik Indonesia, berbagai kalangan sepakat jika Pemilu 1955 adalah yang paling ideal. Saat itu, Pemilu berjalan baik sekalipun angka buta huruf masyarakat masih tinggi mencapai 97 persen. Meski realitasnya begitu, partai politik menyadari bahwa persaingan yang terjadi adalah untuk masa depan Indonesia yang terbaik. Mereka juga mengemban misi untuk memberi pendidikan politik melalui gagasan yang diusung.

Ironisnya, pemilu selanjutnya tidak demikian. Pemilu di era Orde Baru hanya formalitas semata bagi kemenangan Golkar dan kroninya yang selalu meraup suara di atas 60 persen. Soeharto pun menjadi diktator dengan gayanya yang militeristik dan sentralistik.

Harapan perubahan pada era Reformasi pun sebenarnya tidak berubah. Pelaksanaan Pemilu 1999 dengan model proporsional tertutup membentuk partai politik seperti perusahaan. Pemilik saham menentukan siapa yang berhak duduk di kursi parlemen. Nepotisme yang diperjuangkan pada gerakan 1998, hanya menjadi slogan yang dilupakan. Wakil-wakil rakyat di Senayan adalah mereka yang memiliki kedekatan bahkan kerabat dengan pimpinan partai.

Ketika model proporsional terbuka diberlakukan pada Pemilu 2004 hingga 2019, harapan perubahan tidak juga hadir. Pemilu menjadi pesta demokrasi dengan anggaran triliunan. Korupsi-kolusi dilakukan secara terang-terangan dan sistematis sejak awal pencalonan anggota legislatif. Fungsi partai pun mengalami degradasi karena tugas elektoralnya dibebankan kepada caleg. Kalaupun terpilih, nasib selanjutnya tetap ada di tangan ketua umum partai.

Pluralisme Hukum

Kualitas Pemilu sebenarnya bergantung pada penentuan hasil dan dalam menangani sengketa yang terjadi. Banyak kasus kecurangan yang merugikan pihak lain, menjadi segelintir contoh carut marutnya penanganan hasil Pemilu. Akademisi menilai urgensi pluralisme hukum adalah demi keadilan penegakan hukum itu sendiri.

Pluralisme hukum tidak lantas membuat hukum pidana kehilangan taringnya. Hakim yang bekerja hanya mencocokkan perbuatan melawan hukum dengan unsur-unsur pemidanaan, maka penegak hukum cukup diganti dengan robot AI yang jauh lebih cerdas. Dengan pluralisme hukum, penegak hukum akan melihatnya sebagai manusia. Pelaku kejahatan kemanusiaan seperti korupsi, narkotika, kekerasan seksual terhadap anak dilarang divonis ringan.

Adalah sebuah lelucon jika seorang koruptor divonis ringan hanya karena dianggap tidak menikmati kejahatannya. Begitu juga dengan gembong narkoba yang dibela dari vonis hukuman mati atas dasar pertimbangan hak asasi manusia (HAM). Dengan pluralisme hukum, maka hukum tidak dilihat berjalan parsial tanpa melihat realita sosial.

Dikutip dari Hukum Online, Prof. Anne Griffith menjelaskan kita tidak mungkin menafikan pluralisme hukum karena saat ini kita semua hidup dengan berbagai hukum yang berlaku, seperti hukum agama, norma, nilai kearifan lokal dan adat istiadat.

Begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah berujar bahwa teori pluralisme hukum efektif menyelaraskan unsur non hukum (moral, etika, agama, dan kemasyarakatan) agar kekuasaan negara, termasuk pembentukan pemerintahan melalui pemilu berjalan sesuai koridor Pancasila. Teori pluralisme hukum beraliran progresif. Sifanya sebagai pemandu sekaligus pendobrak, agar apa yang diatur hukum memberi manfaat (bukan sekedar kehendak penguasa).

Menangani Sengketa Pemilu

Pemilu yang berkualitas dibutuhkan agar masyarakat percaya hasil yang mereka terima adalah bukan rekayasa atau kecurangan. Untuk membuktikannya tentu dibutuhkan seperangkat alat hukum yang bisa dipercaya.

Berkaca dari kasus sebelumnya, perbedaan tafsir terhadap peraturan yang berlaku antara KPU dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah menyebabkan sengketa Pemilu. Peraturan KPU (PKPU) yang tidak diakui MK menyisakan persoalan.

Salah satu isu krusial adalah PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota legislatif. Persoalan ada pada sikap KPU yang tidak merevisi pasal 8 ayat (2). Padahal, revisi itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkannya karena bertentangan dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pertentangan ini berkaitan dengan jumlah 30 persen bakal calon perempuan di setiap dapil.

Penentangan juga datang dari aktivis perempuan yang menilai hal itu bertentangan dengan demokrasi. Pasal 245 UU No. 7/2017 menyatakan bahwa daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Tentunya, kita berharap penyelenggaraan Pemilu yang akan datang lebih baik dan berkualitas dibanding sebelumnya. Akademisi melihat sistem proporsional dalam pemilu 1955 yang paling ideal, mencakup ambang batas parlemen 5-7 persen, multi partai sederhana, proporsional tertutup, demokrasi yang bertanggung jawab, dan koalisi parpol bersama capres-cawapres tidak bubar pascapemilu. Dengan semakin tinggi kualitas Pemilu, maka partisipasi warga untuk datang ke TPS pun meningkat. Demokrasi pun diselamatkan dan Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image