Agama dan Politik: Dua Realitas yang Saling Terkait
Agama | 2023-09-15 22:50:23
Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas dalam siaran pers Kementrian Agama, Senin (4/9/2023) di Garut, Jawa Barat mengimbau masyarakat untuk tidak mendukung calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik. Menurutnya, agama seharusnya berperan dalam melindungi kepentingan semua umat dan masyarakat. Islam, sebagai agama yang dianut oleh banyak individu, mengajarkan konsep rahmat untuk seluruh makhluk alam semesta, bukan hanya untuk golongan tertentu. Oleh karena itu, dalam pandangan Gus Yaqut, seorang pemimpin ideal harus mampu memberikan manfaat (rahmat) bagi semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Untuk menentukan pilihan pemimpin yang tepat, ia menyarankan masyarakat untuk menilai apakah calon pemimpin tersebut pernah menggunakan agama sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadi. Jika ada indikasi semacam itu, Gus Yaqut menegaskan agar tidak memberikan dukungan kepada calon tersebut. Tujuan dari panduan ini adalah agar bangsa Indonesia dapat memiliki pemimpin yang dapat dipercayai dan siap untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam memajukan negara. Gus Yaqut juga memberikan pesan kepada semua warga agar saat memilih pemimpin, khususnya calon presiden dan wakil presiden, untuk benar-benar memeriksa rekam jejak mereka sebagai bagian dari proses penentuan pilihan politik. (https://nasional.kompas.com)
Berkaitan dengan hal ini, Ujang Komarudin, seorang pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, menilai bahwa pernyataan Gus Yaqut justru akan memicu perpecahan diantara masyarakat, karena justru akan memicu respon negatif dari masyarakat. Sebab, pernyataan tersebut justru berpotensi memicu munculnya politik identitas.
Agama dan Politik, Satu Kesatuan
Pernyataan yang mengatakan agama tidak seharusnya digunakan sebagai alat politik. Pandangan ini muncul akibat pemahaman yang sempit tentang politik yang dipengaruhi oleh demokrasi. Padahal, politik dalam Islam menyangkut kemaslahatan dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Tujuan utama politik Islam bukanlah kekuasaan itu sendiri, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al Ghazali, dunia adalah ladang untuk mencapai akhirat, dan politik adalah alat untuk mencapai tujuan ini.
Dalam Islam, aspek politik dikenal sebagai "siyasah," yang secara bahasa mengacu pada pengaturan, perbaikan, dan pendidikan. Politik dalam konteks Islam diinterpretasikan sebagai pengelolaan urusan umat, dengan penyelesaian setiap masalah sesuai dengan pandangan Islam. Esensi dari politik dalam Islam adalah mengatur urusan umat, dan oleh karena itu, konsep pemisahan antara agama dan politik terasa aneh.
Pemisahan ini sering kali dipengaruhi oleh prinsip-prinsip sistem sekuler. Dalam perspektif sekuler, agama dianggap tidak berperan dalam mengatur urusan manusia, terutama dalam politik. Dalam demokrasi, agama dipandang hanya sebagai ibadah ritual yang terpisah dari urusan politik yang dianggap kotor oleh beberapa pihak. Namun, pandangan ini tidak sesuai dengan pandangan Islam, di mana politik tidak dianggap seburuk itu.
Oleh karena itu, politik seharusnya menjadi aktivitas utama bagi umat Islam, termasuk dalam mengoreksi pemahaman mereka tentang politik, memberikan kesadaran politik yang benar, dan mengkritik kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kesadaran politik ini bisa menjadi tantangan bagi penguasa, karena mereka mungkin tidak menginginkan kritik terhadap kebijakan mereka. Namun, kritik ini bukan berarti melawan negara, melainkan upaya untuk mencapai perubahan yang lebih baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Rasulullah saw., Politisi Sejati
Rasulullah memulai pembangunan pemerintahan Islam di Madinah dengan menggunakan akidah dan syariat Islam sebagai pedoman bagi kehidupan sosial dan politik. Perbedaan pendekatan dakwah Rasulullah saat berada di Makkah dan kemudian di Madinah terlihat jelas. Ketika Rasulullah belum memiliki kekuasaan, dakwah tetap dilakukan tanpa melibatkan tindakan fisik yang bersifat konfrontatif.
Rasulullah dan para Sahabatnya mengalami penyiksaan fisik yang berat selama masa ini, namun mereka tetap melanjutkan dakwah mereka tanpa mengadopsi tindakan kekerasan. Dakwah mereka bertujuan untuk mendidik masyarakat dan mengubah tradisi serta sistem jahiliah yang berlaku pada saat itu.
Setelah peristiwa Baiat Aqabah dan hijrah ke Madinah, Rasulullah mulai melakukan perlawanan fisik dan penaklukan wilayah di seluruh Jazirah Arab dalam rangka misi dakwah dan jihad. Rasulullah juga menjalin kontak dengan penguasa-penguasa di berbagai wilayah Arab, mengirim utusan dan surat yang berisi seruan untuk menerima Islam sebagai jalan kebenaran, serta memberlakukan syariat Islam dalam menyelesaikan masalah umat.
Salah satu contoh aktivitas politik yang paling mencolok setelah masa Rasulullah adalah penunjukan seorang khalifah sebagai penggantinya dalam memimpin umat Islam. Dalam pengangkatan khalifah ini, Abu Bakar ra. ditunjuk sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam. Proses pemilihan khalifah ini dilakukan dengan merujuk pada prinsip-prinsip dan syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam. Para Sahabat sepakat bahwa khalifah yang terpilih harus taat pada ajaran Al-Qur'an dan Sunah Rasulullah sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan.
Dari ini jelas bahwa agama dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada ruang untuk memisahkan antara domain politik dan agama. Menjalankan agama seharusnya menjadi komitmen yang holistik, baik secara individu maupun sebagai komunitas. Seorang muslim harus mengikuti teladan yang diberikan Rasulullah dalam semua aspek kehidupan, termasuk ibadah ritual dan berbagai urusan seperti ekonomi, politik, dan sosial.
Karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk memiliki kesadaran politik, yang mencakup perhatian dan kritik terhadap setiap kebijakan penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Kesadaran ini akan memotivasi umat untuk bangkit dari masa-masa sulit. Semakin meluas kesadaran politik dalam umat, semakin besar pula peluang bagi kemajuan Islam. Ketika Islam bangkit, implementasi syariat Islam secara menyeluruh akan menjadi kenyataan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
