Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Perubahan dalam Pemilu 2024. Seberapa Besar Pengaruhnya?

Politik | Friday, 15 Sep 2023, 10:49 WIB
Apakah jargon perubahan yang diusung salah satu kandidat capres saat ini akan sama dengan semangat perubahan di era Reformasi 1998?

Perubahan menjadi diksi populer belakangan ini karena menjadi jargon bagi kelompok politik tertentu menjelang Pemilu 2024. Sejarah membuktikan perjalanan politik Indonesia senantiasa diwarnai dengan perubahan, baik radikal atau nonradikal. Dan, varian perubahan itu tidak melulu politik melainkan juga dipengaruhi banyak hal, baik sosial atau sentimen ekonomi. Perubahan sosial merupakan sebuah isu yang tidak pernah selesai diperdebatkan, bahkan ketika perubahan itu benar-benar terjadi, maka hakikatnya akan muncul gerakan perubahan atas perubahan di masa yang akan datang.

Jauh sebelum term perubahan populer saat ini, Indonesia sudah terbiasa dengan jatuh bangunnya sebuah rezim. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru adalah babak baru Indonesia yang paling fundamental, khususnya setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Bapak Proklamator Indonesia Soekarno Hatta kehilangan pamor akibat pemberontakan G30S PKI pada 1965.

Secara perlahan, perubahan rezim pun berganti dengan munculnya Soeharto sebagai pemimpin kuat Indonesia. Orde Baru pun menggeser para pemain lama yang berseberangan. Kelompok-kelompok besar dalam masyarakat dikesampingkan dari domain politik, untuk kemudian direduksi menjadi kelompok kecil yang tak berarti.

Orde Baru dipandang sebagai rezim militer patrimonial yang menjunjung tinggi stabilitas nasional dan keutuhan negara. Akibatnya, perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru mengubah wajah rezim menjadi otoriter birokratis yang menggandeng sejumlah koorporatisme tingkat tinggi. Berbagai akademisi Barat menilai penyelenggaraan rezim Orde Baru didasarkan pada kekuatan negara, demobilisasi politik dan pendekatan teknokratis menuju modernisasi masyarakat.

Namun, apa yang terjadi padda 1998 menghenyakkan semua kalangan ketika Soeharto berhasil dilengserkan. Orde Reformasi sejatinya membawa perubahan-perubahan fundamental, khususnya dalam perekonomian Indonesia. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah contoh bagaimana perubahan memang benar-benar terjadi di Indonesia. Jika KPK lahir untuk mengawasi penyelenggaraan tata birokrasi penyelenggara negara yang bersih dari praktik korupsi, maka OJK lahir sebagai reformasi pengawasan sektor jasa keuangan.

Dalam konteks saat ini, apakah term perubahan masih akan berdampak besar seperti pada 1998? Penulis melihat momentum perubahan yang diusung salah satu kelompok politik tidak sebesar saat itu. Setidaknya ada empat alasan yang bisa digunakan untuk memperkuat argumentasi.

Pertama, tidak ada peristiwa besar yang bisa membuktikan pada saat ini rakyat Indonesia memang betul-betul membutuhkan perubahan. Kekuatan kelompok pro dan kontra terhadap rezim saat ini adalah imbang dan masing-masing saling serang atau membela untuk membenarkan atau menyalahkan atas kebijakan yang telah diambil. Bahan bakar untuk memperkuat sentimen perubahan itu sendiri kian redup karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perubahan itu sendiri tidak besar. Istilahnya, masyarakat tidak begitu antusias dengan isu perubahan pada saat ini.

Kedua, fundamental ekonomi yang stabil bahkan mengalami pertumbuhan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01% (yoy). Ke depan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap kuat pada batas atas kisaran 4,5-5,3%, didorong oleh perbaikan permintaan domestik dan tetap positifnya kinerja ekspor.

Pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat didukung oleh seluruh komponen PDB. Ekspor tetap tumbuh tinggi sebesar 11,68% (yoy), ditopang oleh permintaan mitra dagang utama yang masih kuat. Konsumsi rumah tangga membaik dengan tumbuh sebesar 4,54% (yoy), seiring dengan naiknya mobilitas dan peningkatan daya beli serta penurunan inflasi. Konsumsi Pemerintah tumbuh positif sebesar 3,99% (yoy) terutama didorong oleh belanja barang dan belanja pegawai.

Ketiga, mayoritas fraksi di DPR adalah pendukung rezim. Dua partai politik yang menahbiskan diri sebagai oposisi pun saat ini terpecah. Term perubahan menjadi sesuatu yang utopis jika mengandalkan dia lahir dari partai-partai politik. Dari sini kita bisa melihat kecil kemungkinan terjadinya konflik Presiden-Parlemen. Bahkan, dalam beberapa isu besar seperti kenaikan harga BBM, pengesahan UU Omnibus Law dan lainnya tidak terlalu berpengaruh signifikan dalam jalannya roda pemerintahan.

Keempat, komitmen TNI/Polri yang telah sepakat untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Meski begitu, beberapa kalangan menilai aparat hukum menggunakan kekuatan untuk membungkam suara-suara oposisi.

Berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya, saat ini Pemerintah diuntungkan dengan pesatnya teknologi informasi. Perubahan sosial apapun, termasuk di dalamnya isu, akan sangat cepat dan mudah ditanggulangi dengan kehadiran media sosial. Bisa dibilang, teknologi saat ini menjadi aktor yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Pada hakikatnya perubahan adalah keniscayaan, namun seberapa besar pengaruh sosial politik dan ekonomi dalam sebuah negara, tentu hal itu sangat tergantung seberapa piawai aktor-aktor dalam menjalankan perubahan itu sendiri. Kita akan melihatnya nanti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image