Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fikrul Hanif Sufyan

Saudagar Minang dalam Kancah Revolusi Kemerdekaan

Sejarah | Monday, 11 Sep 2023, 13:19 WIB

SAUDAGAR MINANG DALAM KANCAH REVOLUSI KEMERDEKAAN

Saudagar Minang dari kiri ke kanan, Samik Ibrahim (pemilik N.V Kopan dan PERBAS), dan Anwar Sutan Saidi (pimpinan Bank Nasional dan N.V Inkorba). Sumber: dokumentasi Siti Hajir Samik Ibrahim dan Museum Gedung Joang 45 Sumatra Barat)

Fikrul Hanif Sufyan periset, pengajar, dan penulis buku sejarah

Pasca Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, segera berita itu menyebar ke penjuru Nusantara. Satu dari sekian daerah yang relatif cepat menerima dan menyebarkan berita pembebasan itu adalah Sumatra Barat.

Audrey Kahin (1980: 86) dalam narasinya tidak bisa menyembunyikan keherannya, bahwa berita ini tiba dengan cepat di Sumatra Barat. Mengingat bahwa komunikasi antara Jawa dan Sumatra masih terbatas.

Orang Minang – terutama dari kalangan menengah ke atas, di antaranya saudagar-saudagar besar yang bermukim di Padang dan Darek, telah menyimak siaran radio Domei. Mereka mendengar, bahwa telah diumumkan kemerdekaan Indonesia, meskipun ada sedikit ketidakpastian.

Narasi-narasi yang terbentuk selanjutnya, didominasi peran tokoh-tokoh pergerakan, eks Giyugun – Heiho, maupun pemuda-pemuda revolusioner. Namun, jarang sekali diungkap seberapa besar peran saudagar Minang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan!

Menyerahkan Gedungnya Untuk BPPI

Pasca diterimanya berita proklamasi kemerdekaan, aktivitas dari tokoh pergerakan, pemuda revolusioner, dan eks Giyugun di Kota Padang di pusatkan di kantor Saudagar Vereeniging. Organisasi itu, setelah Jepang takluk berubah nama menjadi Persatuan Saudagar Indonesia (PERSDI).

Di kantor yang berada di kawasan bisnis Pasar Mudik itu, menjadi saksi dari gelora untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buktinya, setelah Engku Moh. Sjafei membacakan teks Proklamasi dan dukungan dari Sumatra Barat, untuk kemerdekaan Indonesia, ada pergerakan penting yang melibatkan saudagar dan kantor miliknya.

Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Barat mengadakan pertemuan pertamanya di Padang tanggal 1 September 1945. Mereka memutuskan Moh. Syafei diangkat sebagai Residen Sumatra Barat, tetapi dua bulan kemudian dia lepas. Dan, aktivitas ini berada di kantornya PERSDI.

Pada hari yang sama, Chatib Sulaiman Abdullah, Ismail Lengah, berkumpul di Padang. Rapat itu menyarankan agar Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) segera dibentuk. Pasca diresmikan, mewakili PERSDI Marzoeki Jatim menyerahkan kantor mereka, untuk aktivitas mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Jatim, 1949: 12).

Pasca penyerahan, gedung itu menjadi saksi bisu dari aktivitas eks Giyugun dan para pemuda revolusioner di Kota Padang, satu di antaranya pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bahkan, ketika terjadi pertemuan antara engku Sjafei dengan KNID Sumatra Barat – yang turut dihadiri perwakilan PERSDI pada awal September 1945, untuk segera menyebarkan berita pembebasan dari belenggu penjajahan di daerahnya masing-masing, turut dilakukan oleh saudagar besar yang berasal dari Solok, Agam, Tanah Datar, Pariaman, dan Pesisir Selatan (Sufyan, 2021).

Dari ROEPELIN ke ALRI di Padang

Pada awal kemerdekaan, saudagar Minang telah memainkan peran yang signifikan. Tidak hanya menyebarkan berita proklamasi, menyetujui penggunaan kantor PERSADI sebagai markas BPPI, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan struktur utama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Proses berdirinya menarik, untuk disimak.

Narasi ini dimulai dari pertemuan Kepala Kantor Djawatan Pelabuhan Sjamsuddin, dengan komandan kantor Padang Kaiun Kumiai (1943-1945). Pertemuan ini adalah awal dari konsolidasi kekuatan massa maritim. Namanya diubah menjadi Kantor Rukun Pelayaran Indonesia (ROEPELIN) pada awal kemerdekaan.

Samik Ibrahim. Siapa Samik Ibrahim? Ia adalah eksportir rempah-rempah, pemilik N.V KOPAN Pasar Batipuh, dan PERBAS. Sebelum berkelindan di dunia bisnis, ia sudah dikenal luas sebagai perintis Islam Berkemajuan di Bandar X, Kerinci, sekaligus pimpinan Majelis Ekonomi di Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat.

Pembentukan awal Angkatan Laut dimulai di dua lokasi: Kantor Doane dan di kediaman Samik Ibrahim, Jalan Palingam 11 A. Pada 2 September 1945, rapat kilat di Jalan Palingam 14 memutuskan untuk mengambil alih kantor dan gudang senjata Jepang dengan mengibarkan bendera Merah Putih. Kantor-kantor ini termasuk Kantor Maritim (Nippon Unko Kaisha) dan Gudang Senjata di Teluk Bayur, Padang Selatan.

Keesokan harinya, semua orang yang menghadiri pertemuan di rumah Samik segera mengambil kantor pelayaran, yang juga dikenal sebagai Nympho Kyasa Kaigun. Untuk mengukuhkan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, seluruh peserta rapat yang terdiri dari militer, unsur-unsur maritim, dan pegawai pelayaran kembali berkumpul di kediaman Samik pada tanggal 29 September 1945.

Tidak sekadar merintis, Samik pun menyediakan satu bangunannya untuk asrama, dan menyediakan ransum makanan untuk asrama calon-calon dari tentara – yang umumnya berasal dari para pemuda nelayan di Padang, dan Pesisir Selatan. Padahal, dalam situasi awal kemerdekaan, N.V KOPAN – tidak sedang baik-baik saja, namun ia gelontorkan dana besar itu untuk TKR.

Samik dan Anwar Sutan Saidi: Suplai Dana Besar untuk Divisi IX Banteng

Samik Ibrahim sejak awal 1947 telah meminjamkan dana yang sangat besar, untuk kebutuhan logistik Divisi IX Banteng. Padahal, dalam kondisi keuangan N.V KOPAN yang belum sepenuhnya pulih, Samik sangat berani dan mau menanggung resiko meminjamkan uang pada pihak militer AD.

Pinjaman yang diberikan oleh Samik Ibrahim dimulai sejak 2 Februari 1946 dan terakhir pada tanggal 22 Oktober 1947. Adapun bentuk utang yang diberikan Samik pada Divisi IX Banteng, berupa motor, natura, upah, dan uang kontan.

Pada Desember 1948, Samik datang ke Bukittinggi untuk menagih pinjaman kebutuhan logistik dan persenjataan, kepada Komandan Divisi IX Banteng, Kol. Dahlan Djambek. Mengapa ditagih Samik Ibrahim? Sebab, hampir satu tahun ia menyerahkan bantuanya, namun belum ada realisasi janji dari militer.

Nilainya pun bila dikonversi senilai Rp 4.075.080,50 (Daftar barang yang dipinjam oleh tentara Divisi IX Banteng, 1947). Sebuah nilai nominal yang prestisius, saat kondisi ekonomi masih memburuk. Namun, dari total pinjaman itu, hanya dikembalikan pihak militer sebesar Rp 5 ribu saja. Dan, sisanya? Samik tetap mengikhlaskannya (Sufyan, 2021).

Samik,tidak hanya seorang diri. Anwar Sutan Saidi – big boss Bank Nasional dan NV. Inkorba juga mempunyai peran penting di kancah revolusi fisik di Sumatra Barat. Tertanggal 4 April 1946, Letkol Dahlan Djambek, Komandan Divisi IX Banteng, mengirimkan surat yang meminta direksi Bank Nasional untuk menyediakan makanan untuk tentaranya.

“Untuk kepentingan negara, kami Tentara Republik Indonesia, meminta agar Bank Nasional menyerahkan semua uang2 yang terdiri dari pokoknya sendiri dan uang simpanan yang dibawah kekuasaannya dan penjagaannya.” – demikian petikan surat Dahlan Djambek kepada direksi Bank Nasional.

Selanjutnya, Dahlan Djambek menegaskan, bahwa ia akan menyertakan kuitansi yang langsung ditandatangani sebagai bukti menerima dana tersebut. Permintaan Dahlan Djambek pun dikabulkan oleh Anwar. Namun, jumlah bantuan yang diberikan Bank Nasional pada tahun itu tidak pernah diumumkan, tetap dirahasiakan!

Fakta sejarah itu, kemudian dibuka Dahlan Djambek dalam Surat No.262/ST/KTR/50. “...N.V Bank Nasional dan N.V Inkorba yang berpusat di Bukittinggi dan dipimpin oleh: Tuan Anwar Sutan Saidi, adalah satu perusahaan yang kami ketahui telah memberikan bantuan kepada perjuangan kemerdekaan semenjak tahun 1945, terutama untuk Badan Perjuangan dan Ketentaran, di antaranya uang yang terpakai Rp 3 juta.”

Dan, sekali lagi, dana ini tergolong fantastis di masa perekonomian di Sumatra Barat masih dilanda krisis di awal kemerdekaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image