Keterwakilan Rakyat (di DPR)
Politik | 2023-09-10 04:16:31Kemarin, Jum'at (29/8/2023), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginjak usia 78 tahun. Dengan rentang waktu sepanjang itu, banyak yang berharap agar DPR benar-benar “mewakili rakyat”. Sayangnya, bila melihat kenyataan saat ini, banyak yang menganggap harapan itu sudah buyar.
Bagi sebagian orang, DPR gagal menjadi perwakilan rakyat. Tidak sedikit produk politik DPR yang justru bertolak-belakang dengan kepentingan rakyat marhaen. Lihat saja keberadaan puluhan Undang-Undang (UU) yang dianggap merugikan rakyat marhaen. Bahkan, tak sedikit diantara UU itu yang telah melapangkan jalan bagi praktek neoliberalisme.
Lebih ironis lagi, banyak diantara UU itu ditengarai sudah ‘dipesan’ oleh pihak asing. Pada prakteknya, keberadaan UU itu mempercepat proses re-kolonialisme di Indonesia.
DPR tak pernah menggubris ‘suara rakyat’. Tidak sekalipun DPR berupaya menarik partisipasi rakyat marhaen dalam proses penyusunan UU. DPR juga kurang responsif terhadap berbagai persoalan rakyat marhaen. Bahkan, aksi massa rakyat marhaen untuk menyampaikan aspirasi pun sangat jarang direspon oleh DPR. Sebaliknya, yang terjadi, aksi massa rakyat marhaen itu dibubarkan secara paksa.
Akibatnya, DPR makin berjarak dari rakyat marhaen. Bahkan seakan-akan berdiri sebuah tembok tebal antara DPR dan rakyat marhaen. Apa yang diperdebatkan oleh anggota DPR di gedung parlemen terkadang tak ada hubungannya dengan persoalan rakyat. Sementara DPR sibuk berdebat mengenai kepentingan masing-masing, di luar gedung parlemen, rakyat marhaen berdesak-desakan untuk sesuap nasi.
Ini makin diperparah oleh gaya hidup anggota DPR yang sangat mewah. Sementara anggota DPR berlomba-lomba memiliki mobil mewah, rumah mewah, aksesoris mewah, dan berbagai gaya hidup mewah lainnya, puluhan juta rakyat marhaen harus hidup dengan pendapatan kurang lebih 2 dollar AS perhari. Belum lagi dengan berbagai persoalan lainnya: ketiadaan lapangan pekerjaan, pendidikan mahal, kesehatan sulit diakses, layanan publik sangat buruk, harga sembako terus meroket, dan lain-lain.
Selain itu, DPR terus-menerus mendapat predikat buruk. Salah satu dintaranya: dianggap lembaga terkorup di Indonesia. Banyak anggota DPR/DPRD tersangkut kasus korupsi. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2023 menyebutkan, tingkat koruptif anggota DPR/DPRD menempati urutan ketiga setelah PNS dan pejabat pelaksana eselon. Dan sejak KPK berdiri 2003 lalu, ada 319 anggota DPR/DPRD yang tersangkut kasus korupsi.
DPR juga berulang-kali dikecam karena kebiasaannya menghambur-hamburkan uang rakyat marhaen. Salah satunya, Acara “plesiran” ke luar negeri tiap tahunnya selalu menghambur-hamburkan puluhan milyar anggaran negara. Belum lagi agenda-agenda rutin DPR yang juga menelan tak sedikit uang rakyat marhaen.
Semua hal di atas tak lepas dari konsep demokrasi yang saat ini kita anut: demokrasi liberal. Demokrasi liberal berhasil menciptakan sebuah bentuk keterwakilan yang hanya mewakili kepentingan segelintir elit: penguasa politik dan pemilik modal. Demokrasi liberal menjauhkan massa-rakyat dari partisipasi langsung dalam kekuasaan.
DPR, yang kelahirannya tak bisa dilepaskan dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, makin menyimpang dari khittahnya. Dan penyimpangan ini makin nyata dengan kuatnya andil DPR dalam proses amandemen UUD 1945. Kita tahu, proses amandemen UUD 1945 itu telah membuat penyelenggaraan negara makin menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945 : masyarakat adil dan makmur.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.