Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Solihin

Kekerasan Anak dan Wajah Pendidikan Kita

Eduaksi | Sunday, 03 Sep 2023, 22:41 WIB

Beberapa pekan lalu kita digegerkan oleh berita tentang seorang pelajar SMP di Cianjur yang tewas dikeroyok oleh sesama pelajar. Korban meninggal akibat luka tusuk di sekujur tubuhnya. Kejadian tersebut dipicu oleh aksi saling ejek antara dua geng beda sekolah di medsos. Saling ejek di medsos berlanjut dengan saling serang dengan sajam di lokasi kejadian. Peristiwa tragis ini tentu saja mencoreng wajah pendidikan kita.

Data Kekerasan Pelajar KPAI dan UNICEF

Sepanjang tahun 2016 sampai dengan 2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 3194 laporan tindak kekerasan di dunia pendidikan. Separuh kasus tersebut berupa tawuran antarpelajar dan perundungan. Sisanya adalah korban kebijakan sekolah, yayasan, atau pemda, seperti siswa dikeluarkan karena hamil, pungli di sekolah, penyegelan sekolah, siswa tidak boleh ujian, anak putus sekolah, dan drop out.

Menurut hasil Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 yang dirilis UNICEF, menyebutkan 2 dari 3 anak perempuan dan laki-laki berusia 13 – 17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan sepanjang hidupnya. Hasil survey UNICEF diperkuat dengan Studi PISA pada tahun yang sama, yang menyimpulkan bahwa 41 % murid berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan beberapa kali dalam sebulan terakhir.

Kekerasan pelajar tidak hanya terjadi secara luring. Perundungan daring pun masif terjadi. Menurut data U-Report besutan UNICEF (tahun 2018), 45 % dari 2.777 anak muda berusia 14 – 24 tahun yang mengisi U-Report melaporkan bahwa mereka pernah mengalami perundungan daring.

Perundungan dalam Lintasan Sejarah Pendidikan di Indonesia

Di Pesantren Tradisional

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia memperkenalkan istilah gojlokan. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan perundungan, gojlokan yang kerap dilakukan secara verbal dengan cara menyindir, meledek, dan mencemooh korban dapat menimbulkan trauma. Terlebih, bila gojlokan itu keterlaluan dan menyasar santri junior yang belum tahan mental. Itu di satu sisi. Di sisi lain, hasil penelitian mengungkap bahwa gogjolkan dalam tradisi pesantren biasa digunakan untuk mengasah mental, mempererat hubungan, dan bahkan sebagai hiburan di kala penat.

Peran kepemimpinan kyai, terutama di pesantren tradisional, sangatlah kuat. Kontrol terhadap proses pembelajaran, pengembangan keterampilan hidup santri, dan administrasi pesantren semua ada di tangan sang kyai. Ditambah lagi keberadaan kyai sebagai role model kebajikan stand by 24 jam di pesantren. Faktor kyai yang begitu dominan di lembaga pesantren ini dapat meminimalisir efek negatif perundungan ala santri. Karena itu, selama ini jarang sekali kita mendengar tawuran antarsantri.

Era Kolonial

Tradisi perundungan zaman kolonialisme ditemukan di Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera). Mohammad Roem mengisahkan pengalamannya ketika masuk Stovia pada 1924. Saat itu penataran siswa baru dikenal dengan istilah ontgroening. Kata groen artinya hijau, melambangkan murid baru yang masih hijau. Ontgroening bertujuan untuk menggembleng murid baru secara keras agar dalam waktu singkat menjadi dewasa dan dapat beradaptasi dengan lingkungan Stovia.

Ontgroening di Stovia berlangsung selama tiga bulan, di luar jam belajar dan waktu istirahat. Kegiatan ini diawasi secara ketat sehingga tak ada kejadian yang melampaui batas. Materi ontgroening saat itu hanya seputar perkenalan latar belakang siswa. Roem menceritakan bahwa dia yang bersuku Jawa diminta untuk menghafal aksara jawa secara urut dari belakang.

Zaman Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang perundungan secara fisik dilakukan secara teroganisir di sekolah kedokteran (Ika Daigaku). Ika Daigaku saat itu mengenalkan perpeloncoan yang berasal dari kata “pelonco”, artinya kepala gundul.

R. Darmanto Djojodibroto dalam buku “Tradisi Kehidupan Akademik” mengutip pernyataan salah seorang mahasiswa Ika Daigaku bahwa saat itu hanya anak kecil yang berkepala gundul. Anak kecil perlu diberi pengetahuan dan petunjuk untuk bekal masa depannya. Mahasiswa yang baru masuk Ika Daigaku ibarat anak kecil yang perlu digembleng oleh para seniornya dengan sistem perpeloncoaan.

Praktik perundungan senior-junior terus berlanjut hingga masa revolusi kemerdekaan, contohnya di Universitas Indonesia pada April 1949, Klaten, Solo, dan Malang. Pada dekade 1950-an banyak sekolah tinggi dibuka, praktik pelonco berkembang lebih buruk, tak lagi mengacu pada penggundulan mahasiswa baru, melainkan dibentak dan diperintah senior.

Penyebab Perundungan dan Kekerasan Anak

Menurut Coloroso (2007), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan antara lain:

1. Keluarga

Pelaku perundungan sering kali berasal dari keluarga yang bermasalah, orang tuanya sering menghukum dirinya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh dengan stres dan permusuhan. Seorang anak akan mempelajari perilaku perundungan ketika melihat berbagai konflik yang terjadi di dalam keluarganya. Mereka lantas menirukannya dan dilakukan kepada teman-temannya.

Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-coba itu, dirinya akan mempelajari jika “mereka mempunyai kekuatan dan diperbolehkan untuk berperilaku agresif”. Perilaku tersebut dianggap itu dapat meningkatkan status dan kekuasaannya di lingkungan sosialnya, misalnya sekolah. Mereka dari sinilah lantas mengembangkan perilaku perundungan.

2. Sekolah

Pihak sekolah sering kali mengabaikan keberadaan perundungan ini. Akibatnya, anak-anak sebagai pelaku perundungan akan memperoleh penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak yang lain. Perundungan berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan negatif kepada para siswanya, misalnya hukuman yang tidak membangun, sehingga tidak meningkatkan rasa menghargai dan menghormati antarsesama anggota sekolah.

3. Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi di lingkungan sekolah dan teman-temannya di sekitar rumah terkadang terdorong untuk melakukan perundungan. Beberapa anak melakukan perundungan sebagai upaya untuk menunjukkan jika mereka dapat masuk dalam kelompok tertentu, walaupun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan tindakan tersebut.

4. Keadaan Lingkungan Sosial

Keadaan lingkungan sosial juga dapat menjadi penyebab munculnya perilaku perundungan. Salah satu faktor lingkungan sosial yang mengakibatkan tindakan perundungan adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan akan berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi pemalakan di antara siswa.

5. Tayangan Televisi dan Media Cetak

Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku perundungan dari segi tayangan yang mereka tampilkan. Survei yang dilakukan oleh Lee (2010) menunjukkan jika 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya. Umumnya, mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

Menakar Fungsi Pendidikan

No 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyebutkan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ilmu pendidikan yang sering juga disebut yang sering juga disebut sebagai pedogik merupakan suatu disiplin ilmu yang terkit dengan proses peradaban, pemberbudayaan, dan pendewasaan manusia.

Dalam konteks ini pendidikan mempunyai tiga fungsi utama yaitu fungsi integratif, fungsi egalitarian, dan pengembangan. Ketiga fungsi pendidikan ini harus menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan secara nasional.

Menguatkan Pilar Learning to Live Together

Learning to live together menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya.

Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to life together). Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan terjadinya “learning to live together”.

Belajar hidup bersama, mengembangkan pengertian atas diri orang lain dengan cara mengenali diri sendiri serta menghargai kesalingtergantungan, melaksanakan proyek bersama dan belajar mengatasi konflik dalam semangat menghargai nilai-nilai kejamakan (pluralitas), saling mengerti dan perdamaian.Kesempatan untuk menjalin hubungan antara pendidik dan peserta didik, dorongan dan penyediaan waktu yang cukup untuk memberi kesempatan bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya, olahraga, serta keterlibatan dalam organisasi sosial maupun profesi diluar sekolah.

To live together yakni pendidikan mesti merangsang soft skill peserta didik sehingga kelak mereka mampu hidup bersama dengan orang lain, mampu bekerja sama dengan orang lain. Bahkan mereka terlatih untuk peka akan suka-duka orang lain. Kemampuan dan perbuatan akan berarti jika dapat dirasakan semua orang, sehingga apa yang kita miliki, ketahui dan pelajari bukan untuk kita saja tetapi selayaknya berguna bagi manusia lainnya.

Learning to live together yaitu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.

Pendekatan pembelajaran tidak semata-mata bersifat hafalan melainkan dengan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan pendekatan kooperatif-integrated.

Pembelajaran mempunyai jangkauan tidak hanya membantu peserta didik belajar isi akademik dan ketrampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan kemanusiaan. Model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas yang bersifat kontekstual, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (reward).

Sosok Manusia yang Diharapkan

Arti dari sosok manusia Indonesia seutuhnya ialah terpadunya ketiga ranah yakni jiwa dan raga, serta ditinjau dari dimensi perseorangan, sosial, kesusilaan, keagamaan dari ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik (Tilaar, 2016).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia seutuhnya ialah manusia Indonesia dengan keadaan yang sempurna memiliki akal dan kecerdasan untuk berfikir; dapat diartikan keterpaduan ditinjau dari fisik dan psikis. Setiap individu mempunyai kepercayaan akan adanya sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi setiap larangan-Nya.

Peran Pemerintah dalam Mengatasi Kekerasan Anak

Kemendikbudristek memiliki peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dan perguruan tinggi. Yaitu, 1. Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) dan 2. Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi (PPKS).

Menurut Permendikbudristek Nom 46 Tahun 20223, Pasal 1, kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.

Kekerasan menurut pasal ini mencakup segala bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan sekskual, diskriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, atau melalui media teknologi dan informasi (termasuk daring/online).

Permendikbudristek PPKSP menghilangkan area “abu-abu” dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, dan perundungan. Tiga bentuk kekerasan ini biasa dikenal dengan 3 dosa besar pendidikan. Kekerasan fisik dilakukan dengan kontak fisik baik menggunakan alat bantu ataupun tanpa alat bantu. Kekerasan psikis dilakukan tanpa kontak fisik untuk merendahakn, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Sedangkan perundungan adalah kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan berulang dan ada relasai kuasa.

Sasaran pencegahan dan penanganan kekerasan, menurut PPKSP, ditujukan kepada seluruh peserta didik, pendidik, dan tenga kependidikan. Tugas pencegahan dan penanganan kekerasan ini dibebankan kepada Satgas Khusus yang dibentuk pada setiap satuan pendidikan, dari mulai PAUD sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Mekanisme pencegahan dilakukan secara terstruktur dan peran masing-masing aktor terdefinisikan dengan jelas. Selanjutnya, pembagian wewenangn dan alur koordinasi dalam menangani kasus-kasus kekeradan lebih jelas antara satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image