Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

Keren! Jadi Klimatarian demi Ikut Selamatkan Bumi

Gaya Hidup | Friday, 01 Sep 2023, 07:07 WIB
Foto: Elena Leva/Usplash.

APA yang kita suapkan ke mulut kita bukan saja ikut menentukan kesehatan diri kita, tetapi juga ikut menentukan kesehatan Bumi. Kita dapat turut menyelematakan Bumi dengan jalan menjaga pola makan kita.

Makanan dan minuman yang kita konsumsi ikut menentukan seberapa banyak jejak karbon yang kita hasilkan. Menurut World in Data, saat ini, kita secara kolektif menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 50 miliar ton CO2e setiap tahun. Jumlah ini 40 persen lebih tinggi dari emisi pada tahun 1990, yaitu sekitar 35 miliar ton CO2e. Laporan khusus Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim [IPCC], yang dirilis pada tahun 2019 lampau, menyebut sektor pangan ikut bertanggung jawab atas sekitar sepertiga dari emisi gas rumah kaca yang kita lepaskan ke atmosfer.

Mempertimbangkan hal tersebut, sejak beberapa tahun terakhir ini, muncul gerakan untuk mempraktikkan apa yang disebut sebagai pola makan klimatarian. Seperti apa persisnya?

Menurut The New York Times, kata ‘klimatarian’ [climatarian] masuk ke dalam kamus Cambridge pada tahun 2015. Secara harfiah, kata ini merujuk kepada bahan-bahan makanan atau menu makanan serta pola makan yang ramah iklim.

Fokus utama diet klimatarian adalah untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya temperatur Bumi. Tentu, ini berbeda dengan vegetarian yang fokus utamanya adalah semata-mata demi kepentingan kesehatan personal.

Prioritas makanan yang perlu dihindari

Ada beberapa jenis produk pangan yang sejauh ini menjadi prioritas untuk dihindari atau setidaknya dikurangi konsumsinya oleh para pelaku klimatarian. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, daging merah. Sejumlah sumber menyebut industri ternak bertanggung jawab terhadap setidaknya 14,5 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca. Peternakan sapi ditaksir berkontribusi bagi 41 persen emisi gas rumah kaca di sektor peternakan. Maka, jika kita menghindari mengkonsumsi daging merah, maka bakal ikut mengurangi emisi gas rumah kaca. Dari sisi kesehatan pribadi, mengurangi konsumsi daging merah kemungkinan pula mengurangi risiko terpapar kanker mengingat Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] mengklasifikasikannya sebagai memiliki kemungkinan karsinogen.

Kedua, produk susu. Produk-produk dari susu, seperti keju atau yoghurt, dihasilkan dari sektor peternakan. Semakin tinggi konsumsi produk susu, maka semakin tinggi pula emisi gas rumah kaca dari sektor ini.

Ketiga, minyak sawit. Industri sawit telah lama dikaitkan dengan penggundulan hutan dan perusakan habitat bagi banyak spesies. Hampir setiap produk yang kita gunakan sehari-hari mengandung unsur minyak sawit. Tak cuma produk pangan, tetapi juga produk nonpangan. Oleh sebab itu, klimatarian berupaya pula menghindari produk-produk yang mengandung minyak sawit.

Keempat, gula. Produksi tebu menurunkan keanekaragaman hayati. Selain itu, berkontribusi pula terhadap polusi udara, emisi gas rumah kaca, dan pengasaman tanah. Selain itu, tanaman tebu membutuhkan air dalam jumlah besar. Bagi tubuh, asupan gula berlebih meningkatkan risiko obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung.

Kelima, makanan olahan. Makanan olahan tidak hanya mengandung gula dan minyak sawit dalam jumlah besar, tetapi mereka juga cenderung menggunakan kemasan plastik, yang jelas-jelas sangat tidak ramah lingkungan. Merujuk pada data dari Center for International Environmental Law [CIEL], emisi karbon yang dihasilkan dari produksi plastik pada tahun 2019 yaitu sekitar 0,86 gigaton CO2e, setara dengan 189 pabrik batubara/PLTU batubara, dan pada tahun 2050 mendatang, emisi karbon dari produksi plastik ini diperkirakan sebanyak 2,80 gigaton C02e, setara dengan 615 pabrik batu bara/PLTU batubara.

Melindungi Bumi dan kesehatan masyarakat

Dalam karyanya bertajuk What Is the Climatarian Diet? This Eco-Friendly Way of Eating, Explained, Cynthia Sass, [2022] menulis bahwa diet klimatarian bukanlah diet dengan aturan ketat ihwal apa yang bisa kita konsumsi dan tidak bisa kita konsumsi. Menurutnya, para klimatarian lebih menekankan pada kesadaran tentang bagaimana makanan diproduksi, diproses, dan didistribusikan.

Sass menambahkan bahwa diet klimatarian tidak hanya melindungi planet Bumi tetapi juga melindungi kesehatan masyarakat. Pasalnya, degradasi lingkungan adalah salah satu kontributor utama bagi risiko kesehatan masyarakat. Misalnya, ia mengambil contoh, suhu ekstrem yang meningkatkan risiko serangan panas [heat stroke], sementara iklim yang menghangat mengancam kualitas dan produksi pangan, yang pada gilirannya berpengaruh pada aspek kesehatan.

Contoh lainnya, ia menyebutkan, perubahan iklim meningkatkan risiko bencana alam seperti kebakaran hutan yang dapat mengakibatkan kematian terkait penyakit paru-paru, dan banjir yang meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui air, kontaminasi jamur, dan kematian.

Sejumlah pakar mengatakan bahwa dengan mempraktikkan pola makan klimatarian, hampir dipastikan kita akan bisa ikut mengurangi emisi gas rumah kaca. Sekelompok peneliti pernah menyimpulkan bahwa jika setiap orang bersedia beralih ke pola makan yang lebih berkelanjutan, maka kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pangan hingga 70 persen pada tahun 2050 mendatang.

Para peneliti juga memperkirakan bahwa beralih ke sistem pangan yang lebih berkelanjutan akan mengurangi polusi nitrogen dan fosfor, mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati, serta meminimalisir penggunaan air dan lahan.

Pada akhirnya, memutuskan menjadi klimatarian atau tidak adalah hak masing-masing individu. Tapi, jika kita memang sayang Bumi, pola makan klimatarian adalah salah satu opsi terbaik yang perlu kita pilih sebagai individu.***

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image