Memahami Fikih Muamalah: Pentingkah?
Ekonomi Syariah | 2023-08-31 06:16:58“Cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal!” Begitulah ungkapan sebagian masyarakat modern hari ini. Seolah-olah, ungkapan ini menjadi legalitas bagi sebagian orang mencari dan mengais harta yang mungkin tak seberapa dengan cara-cara tidak halal. Manusia-manusia modern seolah dituntut untuk mengumpulkan dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya agar bisa hidup layak dan tenang menghadapi masa depannya, baik untuk dirinya, keluarganya maupun orang-orang yang ada di bawah tanggungannya. Inilah fakta. Sungguh ironis memang.
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah meramalkan bahwa kondisi ini memang akan terjadi. Beliau bersabda (artinya), “Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari) Masa itu sungguh adalah hari-hari yang kita lalui saat ini. Wallāhu al-musta’ān.
Sebagian manusia tidak pernah peduli kaedah rabbānī dalam mencari harta, sebagaimana yang dijelaskan Syariat Islam khususnya dalam kajian fikih muamalah. Sebagian acuh mempelajarinya, tidak pula bertanya kepada para ulama tentang hukum-hukum Allah mengenai transaksi yang akan dilakukan. Kekhawatiran pun timbul, jangan sampai manusia-manusia seperti inilah yang disinyalir oleh Nabi sebagai manusia penyembah harta. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka (artinya), “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian.” (H.R. Bukhari)
Ketidak-tahuan seseorang akan fikih muamalah, mau tidak mau, sadar atau tidak, akan menggelincirkannya ke dalam lembah harta haram, petaka besar abad modern ini. Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah: 168)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ālā memerintahkan seluruh manusia agar memakan harta yang didapatkan secara halal. Karena makan, mencari dan mendapatkan harta dengan jalan yang haram adalah jalan yang dirintis oleh setan. Orang yang tidak mengerti fikih muamalah, lambat laun akan melanggar perintah ini dan akan bergabung dalam kelompok pengikut setan tanpa sadar.
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mu’minūn: 51) Dalam ayat ini, Allah Ta’ālā secara khusus memerintahkan para Rasul-Nya untuk hanya memakan makanan halal dan didapatkan secara halal, lalu Allah memerintahkan mereka beramal saleh. Perintah ini tentu saja akan sangat sulit terealisasi bagi mereka yang tidak mengerti fikih muamalah. Mengapa? Karena ketidaktahuan terhadap fikih muamalah, akan mengakibatkan mereka tidak dapat memastikan apakah harta yang dia dapatkan dan dia makan itu halal ataukah tidak halal.
Ayat di atas juga mengisyaratkan adanya hubungan yang sangat erat antara mengonsumsi makanan halal dan amal saleh. Jangan banyak berharap, jasad kita bergairah melakukan amal-amal saleh, bila jasad tersebut tumbuh dari makanan haram. Jasad yang malas beramal saleh tidak akan merasakan kenikmatan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Hingga pada gilirannya, keadaan ini mengantarkan jiwa dan rohaninya kepada gundah-gulana hingga sampai pada titik hampa dan nestapa.
Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” (Q.S. al-Mā’idah: 62)
Orang yang tidak memahami fikih muamalah tanpa sadar bisa terjerumus dalam kebiasaan orang-orang Yahudi, memakan harta haram. Ini diakibatkan ketidak-tahuannnya akan syariat Allah mencari harta. Orang yang tidak mengerti fikih muamalah bisa jadi akan memasukkan api neraka ke dalam perutnya. Padahal Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram maka nerakalah yang berhak melumatkannya” (H.R. Aḥmad; hadis ini dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albānī).
Orang yang tidak mengerti fikih muamalah akan terperangkap dalam jerat riba. Padahal riba adalah sebab utama kehinaan dan kebinasaan umat. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Bila kalian melakukan transaksi riba, tunduk dengan harta kekayaan (hewan ternak), mengagungkan tanaman dan meninggalkan jihad niscaya Allah timpakan kepada kalian kehinaan, keadaan ini tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada syariat Allah (dalam seluruh aspek kehidupan kalian)” (H.R. Abū Dāud; hadis ini dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albānī).
Saking pentingnya masalah ini, ‘Umar bin Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu mengambil kebijakan preventif saat menjabat sebagai amirulmukminin. Beliau mengutus para petugas ke pasar-pasar untuk melakukan inspeksi, lalu mengusir pedagang yang tidak mengerti hukum jual-beli (fikih muamalah). Demikian juga diriwayatkan oleh Imam Mālik, bahwa beliau raḍiyallāhu ‘anhu memerintahkan para penguasa untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan pelaku pasar. Kemudian beliau menguji mereka satu-per satu.
Saat beliau menemukan di antara mereka ada orang yang tidak mengerti hukum jual-beli, beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fikih muamalah. Bila telah paham, orang tersebut dibolehkan masuk ke pasar. Sejarah telah mencatat kalimat mulia dari lisan beliau ketika berkata, “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fikih (muamalah) dalam agama Islam” (H.R. Tirmiżī).
Kewajiban Mempelajari Fikih Muamalah
Realitas sebagian masyarakat hari ini, menuntut bahwa mempelajari fikih muamalah merupakan farḍu a’in, dalam rangka menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam mengais harta atau rezeki. Hanya saja, fikih muamalah cakupannya amat luas, bagai lautan tak bertepi, terutama dalam perkara atau praktek-praktek muamalah kontemporer. Kenyataan ini kemudian mengundang tanya, mungkinkah kita mampu mempelajarinya dengan kesibukan keseharian yang begitu padat? Jawabannya adalah bisa. Ya, bisa jika kita mau berusaha.
Al-Qarafī raḥimahullāh dalam karyanya yang monumental, kitab al-Furūq, memberikan jalan keluar. Beliau berkata, “Seorang mukallaf tidak boleh melakukan sesuatu sebelum ia mengetahui hukum Allah tentang hal tersebut. Orang yang hendak berjual-beli, wajib mempelajari syariat Allah tentang jual-beli yang akan dilakukannya. Orang yang akan melakukan transaksi ijārah (upah, sewa menyewa dan kontrak kerja), ia wajib mempelajari hukum Allah tentang ijārah. Orang yang ingin melakukan transaksi muḍārabah (bagi hasil), wajib mempelajari syariat Allah tentang muḍārabah.”
Pernyataan al-Qarafī raḥimahullāh di atas membuat kita bisa sedikit bernafas lega. Andaikan semua pembahasan fikih muamalah wajib kita pelajari, tentu kita tidak akan mampu memikul kewajiban tersebut. Allah Ta’ālā telah memberikan kemudahan bagi kita. Kita hanya dituntut untuk mempelajari hukum Allah tentang muamalah yang sedang atau akan kita geluti, sehingga memungkinkan untuk kita lakukan sesuai syariat Allah.
Oleh karena itu, sungguh tidak ada celah bagi kita untuk mengelak. Urgensi akan hal ini tak terbantahkan lagi. Apa pun keadaannya, kita harus menyisihkan waktu untuk mempelajari kasus transaksi yang akan kita hadapi. Jika tidak, kemungkinan besar kita akan terjerumus ke dalam maksiat. Semoga Allah menuntun kita menjadi orang-orang yang faqih tentang dīn-Nya. Wallāhu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.