Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miftah Rinaldi Harahap

Pondasi Republik: Perbedaan Hukum dan Peraturan

Politik | Wednesday, 30 Aug 2023, 17:56 WIB

Silahkan sebut di dalam hati para pembaca sekalian, berapa banyak undang–undang yang dihasilkan oleh para stake holder mendapat protes dari rakyat karena dianggap tidak akan mampu untuk menghasilkan keadilan. Dalam tulisan ini saya sebut dua peristiwa yang paling mutakhir sebagai contoh; gelombang protes rakyat untuk membatalkan omnibus law dan revisi undang–undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Melalui dua peristiwa ini saja kita tidak perlu heran, mengapa akronim “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,”UUD (ujung- ujungnya duit),”atau “hukum bisa dibeli” tetap hidup di nadir setiap rakyat Indonesia. Hukum selalu mendapat preseden yang buruk di mata rakyat akibat paraturan perundang–undangan yang jauh dari hakikat hukum itu sendiri.

Padahal hukum merupakan pondasi penting dalam sebuah negara republik. Dalam sebuah negara republik ada beberapa pondasi penting yang mendasarinya diantaranya adalah politik dan hukum. Pemikir awal republik seperti Cicero mengatakan bahwa republik harus dimengerti sebagai sebuah bentuk kerangka kemitraan dari warga yang bersatu dalam sebuah bentuk kehidupan bersama yang diikat oleh hukum.

Pemikir republik lainnya seperti Aristoteles juga bertutur bahwa hidup yang berharga hanya diperoleh apabila dijalani dalam sebuah polis yang ditata berdasarkan hukum. Ia juga menambahkan hukum itu seperti kebijaksanaan tanpa nafsu.

Oleh karena itu manusia akan lebih baik apabila diatur dan dikuasai oleh hukum dibandingkan oleh manusia yang lain ( Robet,2021). Kemudian, dari uraian tersebut kita pun bertanya; apakah sebagai rakyat yang hidup dalam sebuah negara republik kita telah memahami secara paripurna hukum, peraturan, dan politik?

Tulisan ini saya akan menguraikan; apakah yang dimaksud dengan hukum, peraturan,dan bagaimana pertalian keduanya dengan politik? Dan,apakah perbedaan diantara keduanya.

Hukum

Ketika mendengar kata hukum,hal apakah yang terbersit dikepala anda? Apakah setumpuk peraturan membosankan yang diterbitkan oleh lembaga–lembaga pemerintahan?

Jika hal itu yang ada dipikiran anda maka itu tidak salah karena memang sejauh ini hukum selalu dimaknai sama dengan peraturan. Tetapi apakah benar demikian?

Jika ingin menelisik hakikat hukum maka kita harus merujuk kepada filsafat hukum.Baiklah, sebelum kita masuk ke dalam topik utama tersebut. Biarlah saya menjelaskan secara sepintas kepada para pembaca sekalian tentang apa yang dimaksud dengan filsafat hukum?

Agar kita mempunyai pijakan yang jelas untuk masuk ke topik utama. Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat tingkah laku yang mencoba untuk membahas mengenai epistemologi hukum,aksiologi hukum, ontologi hukum,dan teleologi hukum. Keempat hal yang ada didalam filsafat hukum ini selalu berkaitan dengan moral dan etika (Erwin,2016).

Hakikat hukum hanya bisa ditilik melalui ontologi hukum. I Dewa Gede Atmaja (dalam Erwin,2016) menyebutkan ontologi hukum merupakan penelitian tentang hakikat dari hukum. Untuk memahami hakikat hukum perlu mengetahui:apa yang dimaksud dengan hakikat?

Menurut Erwin(2016), hakikat adalah sebab terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga berarti eksistensi (keberadaan) dari segala sesuatu yang didalamnya terdapat substansi dan aksidensi didalamnya.Filsuf Aristoteles mengatakan hakikat mengajarkan kita untuk memisahkan antara substansi (yang hakikat itu) dengan aksidensi (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat, situasi, aktivitas, dan positivitas).

Lantas, ketika ditanya; apa hakikat hukum? Maka jawabannya adalah substansi hukum itu sendiri-dan substansi hukum itu adalah ajaran moral. Sampai pada penjelasan ini, mungkin anda (para pembaca) belum bisa menangkap maksud dari penejelasan saya.

Oleh sebab itu, biarkanlah saya menjelaskan secara lebih terperinci tentang substansi hukum tersebut. Nilai, etika, moral, dan hukum adalah empat hal yang mempengaruhi kehidupan manusia di dalam realitas. Realitas yang terdiri dari kebaikan dan keburukan membutuhkan alat sensor yang bernama nilai.

Nilai adalah hal yang berada di dalam diri manusia yang berfungsi untuk mencari sesuatu hal yang berguna demi kebaikan hidup. Kemudian, untuk menelusuri hal yang berguna tersebut, manusia memerlukan etika. Etika adalah cara untuk mencari tahu mengapa hal itu disebut baik/buruk atau juga bisa disebut sebagai pemikiran yang ada dibalik baik/buruk.

Lalu, etika diterjemahkan menjadi ajaran moral. Ajaran moral adalah ajaran yang menetapkan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan guna menuntun manusia hidup dan bertindak menjadi manusia baik. Dan kemudian ajaran moral inilah yang dibakukan menjadi hukum.

Dari penjabaran sebelumnya bisa dilihat bahwa hukum mempunyai sifat tidak terbatas karena bersumber dari ajaran moral. Ajaran moral selalu merujuk kepada akal dan hati yang mengarahkan manusia untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat.

Peraturan

Menurut Erwin (2016), secara ontologis peraturan berasal dari kesepakatan yang merujuk pada dominasi penguasa. Oleh sebab itu persoalan akal dan hati sifatnya terbatas.

Kemudian, dengan mengatasnamakan kajian moral dibuat menjadi pedoman demi sebuah kepentingan. Dan,pada akhirnya diharapkan hasilnya adalah rekayasa sosial.Peraturan juga bisa disebut sebagai generalisasi yang dipatutkan untuk menjadi standar mengawali adanya istilah “harus.”

Oleh sebab itu, peraturan selalu mengelaborasi pelbagai macam simbol-simbol hukum untuk menghasilkan sebuah sistem tertentu. Setiap peraturan selalu bersifat relatif, inilah yang menyebabkan sistem yang dihasilkan dari peraturan selalu rentan mengalami cacat hukum apabila sistem tersebut dijalankan atau diubah dengan tidak memperhatikan hukum itu sendiri.

Dari sanalah muncul apa yang kita kenal dengan istilah “celah hukum” yang dianggap sebagai tanda kelemahan dari sebuah peraturan yang kemudian sering dimanfaatkan oleh seseorang untuk kepentingannya. Untuk menjelaskan soal “celah hukum” ini, Erwin (2016) memberikan penjelasan bahwa peraturan hanya pemersatu keparsialisan dari kepluralisan hukum.

Ia juga menambahkan bahwa karena hal itulah sistem peraturan harus terus berjuang untuk melengkapi dirinya dengan perkembangan dan beragam pengetahuan universal yang semuanya tercakup dalam dunia hukum.

Melalui penjelasan sebelumnya jelas terlihat bahwa peraturan selalu terbatas karena dibuat hanya untuk mencapai suatu tujuan yang hendak dituju pada suatu waktu tertentu.

Jadi,peraturan dibuat dengan mengesampingkan pelbagai macam perkembangan hal–hal baru yang mungkin akan diatur pada masa mendatang. Keterbatasan ini yang kemudian akan menimbulkan masalah di hari depan karena yang para berwenang di masa mendatang belum tentu bisa memahami genealogi dari sebuah peraturan.

Ketidakpahaman tentang genealogi tersebut akan mengakibatkan sebuah peraturan akan mengalami kematian. Kematian sebuah peraturan itu juga berarti kematian fungsi,sedangkan fungsi yang mati akan mengakibatkan isi dari peraturan yang disusun akan bias atau tidak terfokus bahkan menyimpang dari pokok dan cita yang hendak dicapai.

Pada penjelasan sebelumnya kita bisa melihat bahwa hukum merupakan konsepsi moral ideal-dinamis yang dihasilkan oleh manusia dengan maksud untuk mengantarkan mereka mencapai kebaikan di dunia maupun akhirat. Sedangkan, peraturan merupakan msnifestasi kesepakatan manusia atas pelbagai macam simbol–simbol hukum yang telah melalui mekanisme politik.

Oleh sebab itu peraturan selalu bersifat terbatas dan tidak bisa dilepaskan dari dominasi penguasa yang menggunakannya untuk mengubah realitas sosial. Sedangkan,hukum akan selalu berpihak kepada kebenaran bukan kekuasaan.

Selain itu peraturan akan selalu bersifat relatif karena harus terus- menerus memperbarui diri mengikuti perkembangan dari hukum itu sendiri.Sebut tiga dari sekian banyak yang ada seperti legal theory Feminist,environmental law, dan animal rights. Bukankah ini adalah perkembangan hukum yang terus selaras dengan pertumbuhan kesosialan manusia?

Maka, mau tidak mau setiap stake holder yang hendak ingin membuat sebuah peraturan harus mengikuti dan mempelajari dengan saksama pelbagai perkembangan hukum tersebut, karena jika tidak maka bisa dipastikan peraturan tersebut akan mengalami kecacatan.

Selain itu uraian sebelumnya juga menunjukkan kepada kita bahwa medium dari hukum dan peraturan adalah politik. Politik sangat menentukan apakah sebuah peraturan dibuat dengan memperhatikan perkembangan hukum atau malah sebaliknya mengacuhkan perkembangan hukum tersebut.

Tentu, politik yang hanya dipahami sebagai cara untuk merebut kekuasaan dan bukan sebagai wahana untuk merawat keutamaan–keutamaan manusia seperti integritas,keberanian,keadilan, kebahagian,kebebasan, dan lain sebagainya akan menghasilkan peraturan–peraturan yang mengacuhkan perkembangan hukum itu sendiri.

Dan, tentu inilah yang menjadi sebab utama dari buruknya hukum di mata rakyat. Preseden–preseden buruk seperti; ”hukum bisa dibeli,” dan “ujung-ujungnya duit (UUD)” akan terus terawat di alam bawah sadar rakyat.

Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada sikap acuh tak acuh rakyat kepada stake holder yang membuat pelbagai macam peraturan.

Terakhir, izinkan saya menyampaikan bahwa peraturan yang memperhatikan perkembangan hukum hanya bisa dihasilkan dari ke-ideal-an politik. Ke-ideal-an politik yang dimungkinkan jika kita kembali mengaktifkan republik.

Tulisan ini telah rilis dikanal Barisan.co pada 4 Juli 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image