Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azwar

Semangat Hijrah, Semangat untuk Hidup Lebih Baik

Khazanah | Tuesday, 29 Aug 2023, 08:58 WIB
Semangat Hijrah

Tak terasa, Allah Sang Maha Kuasa, kembali akan mempertemukan kita dengan salah satu bulan-Nya yang mulia, Muharam. Selayaknya bagi kita untuk selalu bersyukur kerena masih dianugerahkan umur yang panjang hingga kembali menemui bulan mulia ini. Muhasabah dan istigfar hendaknya juga senantiasa dilazimi karena waktu yang telah berlalu, tidak mungkin akan kembali lagi, sementara kematian akan datang sewaktu-waktu tanpa permisi.

Detik menuju menit, jam, hari, bulan, hingga tahun, yang senantiasa bergerak maju, menunjukkan semakin bertambahnya bilangan usia kita. Yang menjadi catatan penting kemudian adalah sudahkah pertambahan waktu itu membawa keberkahan pada usia kita? Sudahkah tilawah Al-Qur’an, sedekah, zikir, dan amal-amal saleh kita lainnya, menghapuskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan? Sudahkah hari-hari dan malam-malam yang dilewati, digunakan untuk ibadah dan sujud kepada Allah, atau lebih banyak untuk hal yang sia-sia?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini hanya bisa dijawab dengan merefleksikan jejak-jejak perjalanan hidup yang telah berlalu secara seksama. Pada tahun baru hijriah yang disongsong setiap tahun, sesungguhnya terkandung sejarah dan nilai-nilai yang senantiasa relevan untuk dikaji dan direnungi. Nabi sendiri tidak pernah menetapkan kapan tahun baru Islam itu dimulai. Begitu pula, tidak dilakukan oleh khalifah pertama, Abū Bakar al-Ṣiddīq. Awal penanggalan tahun itu resmi diputuskan pada era khalifah kedua, ‘Umar bin Khaṭṭāb, sahabat Nabi yang terkenal membuat banyak gebrakan selama memimpin umat Islam. Keputusan itu diambil melalui jalan musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, muncul beberapa usulan. Di antaranya, usulan agar tahun baru Islam dihitung mulai dari masa kelahiran Nabi Muhammad. Usulan ini adalah usulan yang cukup rasional. Betapa tidak, Rasulullah adalah manusia luar biasa yang melakukan revolusi ke arah peradaban yang lebih baik pada masyarakat Arab waktu itu. Karenanya, kelahiran Nabi adalah monumen bagi kelahiran peradaban itu sendiri. Akan tetapi, usulan ini kemudian ditolak dikarenakan waktu kelahiran Nabi tidak terbebas dari perselisihan, khususnya di dalam penentuan tahunnya, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai standar. Singkat cerita, forum musyawarah menyepakati momen hijrah Nabi dari Makkah menuju Madinah sebagai awal penghitungan kalender Islam. Karenanya, kelak dikenal dengan tahun hijriah yang berasal dari kata hijrah.

Memilih momen hijrah (daripada momen kelahiran Nabi Muhammad) yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaṭṭāb dan para sahabat lainnya, sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam. Kelahiran yang dialami Nabi adalah peristiwa alamiah yang tidak bisa ditolaknya. Nabi Muhammad pun saat lahir, tidak serta merta diangkat menjadi Nabi, kecuali setelah berusia 40 tahun. Rasulullah kala itu hanyalah seorang bayi, putra dari ‘Abdullāh bin ‘Abdul Muṭṭalib. Hal ini berbeda dengan hijrah yang mengandung tekad, semangat perjuangan, perencanaan, dan kerja keras ke arah tujuan yang jelas, yaitu terealisasinya nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (raḥmatan lil ‘ālamīn), tidak sekadar fenomena alamiah semata.

Nabi memutuskan hijrah setelah melalui proses panjang selama 13 tahun di Makkah dengan berbagai tantangan dan jerih payahnya. Mula-mula berdakwah secara tersembunyi, dimulai dari keluarga, orang-orang terdekat, lalu pelan-pelan kepada masyarakat luas secara terbuka. Selama itu, Rasulullah mendapat banyak rintangan, mulai dari caci-maki, dilempar kotoran unta, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan. Semua dilalui dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan.

Rasulullah tampil sebagai agen perubahan di tengah masyarakat Arab yang begitu bejat kala itu. Asas tauhid telah melenceng jauh karena masyarakat Arab kala itu menganggap berhala sebagai Tuhan. Nilai-nilai kemanusiaan juga nyaris tidak ada, lantaran maraknya perbudakan, fanatisme suku, harta riba, penguburan hidup-hidup bayi perempuan, dan lain-lain. Rasulullah yang hendak mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat jahiliyah tersebut mesti berhadapan dengan para pembesar suku yang iri dan tamak terhadap kekuasaan, termasuk dari pamannya sendiri, Abū Jahal dan Abū Lahab.

Seiring berjalannya waktu, pengikut Islam pun bertambah, dan secara bersamaan bertambah pula tekanan dari musyrikin Quraisy. Hingga akhirnya, atas perintah Allah, Nabi Muhammad bersama para sahabatnya berhijrah dari Makkah ke kota Yaṡrib. Saat tiba di kota Yaṡrib, Rasulullah bersama sahabatnya disambut positif oleh penduduk setempat. Di sinilah, Nabi mulai membangun peradaban Islam yang kokoh. Jumlah penganut semakin banyak, semangat persaudaraan antara Muhajirin dan Anṣār dipupuk, dan kesepakatan-kesepakatan dengan kelompok di luar Islam diciptakan, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang damai.

Dalam masa itu, Nabi juga mengubah nama dari Yaṡrib menjadi Madinah. Mengapa Madinah? Secara bahasa, madīnah berarti tempat peradaban. Perubahan nama ini memberi pesan tentang pergeseran pola perjuangan Nabi yang semula di Makkah, yang banyak dipusatkan pada penyadaran pribadi-pribadi, menuju dakwah dalam konteks sosial yang terorganisisasi dalam negara Madinah. Di sinilah konstitusi (Piagam Madinah) dibangun, struktur pemerintahan disusun, dan aturan-aturan Islam seputar muamalah (hubungan antarsesama) banyak dikeluarkan. Nabi menjadikan Piagam Madinah sebagai titik temu dari masyarakat Madinah yang plural saat itu, yang meliputi orang muslim, orang Yahudi, suku-suku di Madinah, dan lainnya. Hijrah Nabi yang monumental itu, seperti mendapatkan momentum puncaknya, yakni terwujudnya masyarakat yang beradab.

Setidaknya, ada dua poin yang perlu digarisbawahi dari ulasan sejarah hijrah di atas. Pertama, tahun baru hijriah harus dimaknai dalam kerangka perjuangan Nabi dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (raḥmatan lil ‘ālamīn). Sebagai sosok panutan, perjuangan, spirit, dan prestasi Nabi sepanjang periode risalah layak diteladani. Dalam perjuangan Nabi tersebut, ada ikhtiar, pengorbanan, keteguhan prinsip, keseriusan, kesabaran, dan keikhlasan. Nabi dan para sahabatnya menunjukkan ketulusan yang luar biasa, semata hanya untuk jalan Allah. Dengan niat seperti inilah mereka mendapatkan banyak hal, termasuk persaudaraan, kekeluargaan, hingga kekayaan dan kesejahteraan selama di Madinah. Keikhlasan dan kerja keras dalam membangun masyarakat berketuhanan sekaligus berkeadaban berbuah manis meskipun tantangan akan selalu ada. Inilah teladan yang diberikan oleh Nabi dari hasil berhijrah.

Poin kedua adalah kenyataan bahwa Nabi tidak membangun negara berdasarkan fanatisme kelompok atau suku. Rasulullah menginisiasi terciptanya kesepakatan bersama dengan seluruh penduduk Yaṡrib untuk kepentingan jaminan kebebasan beragama, keamanan, penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antaranggota masyarakat.

Inilah hijrah yang tak hanya bermakna secara harfiah “pindah tempat”, melainkan juga pindah orientasi: dari yang buruk menjadi yang baik, dari yang baik menjadi lebih baik. Rasulullah meneladankan, perubahan tersebut tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat secara kolektif.

Momentum tahun baru hijriah yang jatuh setiap awal Muharam, hendaknya menjadi pertanda untuk mewujudkan harapan baru dalam tiap diri manusia beriman. Hijrah yang ditandai dengan berpindah dari satu titik menuju titik yang lain adalah perwujudan manifestasi diri. Dinamis, itulah pesan tersirat yang digambarkan dari sejarah hijrah Nabi, senantiasa menemukan titik loncat untuk perubahan, tidak terjebak dalam sikap stagnasi semu, atau dalam kejumudan keadaan, yakni meninggalkan segala hal yang buruk, negatif, kondisi yang tidak kondusif, menuju keadaan yang lebih yang lebih baik, positif dan kondusif untuk menegakkan ajaran Islam. Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah:218)

Lebih jauh, kepekaan sosial, sikap empati pada sesama, diharapkan juga turut tumbuh dalam setiap diri manusia. Momen hijrah, seharusnya diwarnai dengan introspeksi diri, apakah kepedulian pada sesama sudah menjadi warna dalam aktivitas kita? atau kita masih sering terjebak dalam sikap individualisme yang mematikan empati? Semua berpulang pada diri kita masing-masing. Jika masih ada kekurangan, maka saat ini adalah saat untuk berbenah, saat untuk berhijrah, berubah ke arah lebih baik. Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. al-Anfāl: 74)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image