Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Wibowo

Ketika Jawa Memilih Islam

Agama | Friday, 25 Aug 2023, 11:36 WIB

Menurut Buya Hamka, pertemuan Islam dengan Jawa telah berlangsung sejak kunjungan utusan Khalifah Mu’awiyah pada masa pemerintahan Ratu Sima di Kerajaan Kalingga. Cukup lama Islam hanya menjadi agama para pedagang yang singgah di pulau ini, sebelum akhirnya, ketika Pasai ditaklukkan Majapahit secara politik, para ulama Pasai justru diterima dakwah Islamnya dalam skala yang luas.

Bahwa sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu dan Budha berkembang di Indonesia, adalah fakta sejarah yang diamini oleh siapa saja. Namun yang sering tidak dijelaskan adalah, bahwa agama Hindu Budda pada masa itu bersifat elitis, hanya untuk kalangan brahmana dan ksatria. Agama para aristokrat istana. Mayoritas masyarakat masih hidup dalam sistem kepercayaan lama yang disebut kapitayan. Sebuah keyakinan sederhana akan Tuhan yang tidak bisa digambarkan atau dibayangkan, tan kinaya ngapa.

Oleh karena itu, menurut peneliti Perancis seperti Prof. Dannys Lombard keberadaan candi Borobudur dan Prambanan bukan sebagai simbol kekokonan Hindu Budda di masyarakat, tapi lebih pada kekuatan pengaruh kedua agama tersebut pada tataran elit kerajaan. Bagi masyarakat umum, dua bangunan besar itu justru menjadi kenangan pahit, di mana kaum Sudra dan Paria, para pekerja yang membangunnya harus mengabaikan keluarga, sawah, ternak dan ladang, dikarenakan harus bekerja membangun candi yang memenuhi selera spiritual penguasa, sebagaimana kata Prof. Lombard.

Keruntuhan Kerajaan Hindhu dan Budha di Jawa dan penghentian pembangunan gedung-gedung batu disebabkan kerajaan tersebut ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri yang lebih memilih tinggal di kota-kota pelabuhan atau wilayah sekitarnya.

Selain itu, Hindu dan Budda di Jawa sudah pernah mengalami fase kejatuhannya ketika aliran Tantra kiri berkembang di kalangan para bangsawan. Aliran ini menurut Pararaton berkembang sejak era Prabu Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singhasari yang bergelar ”Bathara Siwa-Budha”. Aliran Bhairawatantra ini dikenal luas melalui ritual Ma-lima. Sebuah ritual yang mengerikan karena memakai tumbal manusia.

Menurut Prof Rasyidi, upacara ma lima itu terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (memakan daging dan minum darah gadis yang dijadikan kurban), madya (upacara ritual dengan meminum minuman keras hingga mabuk), muthra (ritual tari sampai ekstase tak sadarkan diri), dan maithuna (persetubuhan secara masal). Upacar itu dilakukan di tanah lapang yang disebut setra).

Pendapat Prof. De la valle Poussin yang menyatakan bahwa praktik Maithuna tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dibantah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, sebab Maithuna ternyata banyak dipraktikkan secara konkret. Maithuna tidak dianggap berdosa sebab pelakunya dianggap telah menjadi dewa.

Jika upacara itu dilakukan untuk penasbihan seorang raja, tumbal yang dibutuhkan lebih banyak, mencapai ratusan orang.

Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.

Ada juga upacara Sati, dimana sebagai bentuk kesetiaan, seorang istri akan dibakar bersama jenazah suaminya yang meninggal. Upacara Sati terbesar tercatat saat meninggalnya raja Blambangan, Tawang Alun.

Tawang Alun II banyak ditulis dalam arsip Belanda, justeru pada masa akhirnya tahtanya. Yakni ketika upacara ngaben jenasahnya yang digelar secara spektakuler. Alkisah, dalam upacara sebanyak 271 isteri dari 400 isteri Tawang Alun ikut membakar diri (sati)[.

Trauma-trauma sejarah itulah yang menyebabkan ketika para ulama Pasai berdakwah di kawasan Majapahit, bisa menarik hati para penganut kapitayan dengan sukarela. Egalitarianisme, teologi yang simpel dan ritus yang lebih manusiawi menjadi daya tarik utama.

Oleh karena itu, apabila kita mendengar istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni aja nglakoni ma lima (jangan melakukan perbuatan ma lima), pada awalnya ini adalah seruan para ulama kepada masyarakat Jawa untuk tidak lagi melakukan ritual Bhairawa Tantra. Sebab ritual itu tidak hanya jahat kepada Tuhan tapi juga jahat pada manusia. Adapun istilah aja nglakoni ma lima, yang diartikan aja madat, aja madon, aja minum, aja main lan aja maling (jangan menghisap candu, jangan berzina, jangan mabuk, jangan berjudi dan jangan mencuri) yang menjadi standart dasar moralitas manusia Jawa adalah penerjemahan ma lima setelah masyarakat Jawa mengalami Islamisasi.

Pandangan Islam tentang kematian dirasa lebih masuk akal demikian juga ritus upacara penanganan jenazahnya. Bahwa manusia berasal dari tanah dan ketika mati dikembalikan lagi ke tanah. Sebelum dimasukkan tanah, ia disucikan dan didoakan terlebih dahulu. Itu sebabnya, ritus yasinan dan tahlilan sebagai bentuk pengorhmatan kepaad leluhur yang sudah meninggal dengan cara mendo'akannya menjadi ritus paling populer di tengah masyarakat. Menurut Nakamura dan CC Berg, adalah wujud dari keberhasilan proses Islamisasi di Jawa.

Justru pada jantung religius kaum abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual mereka, mereka betul-betul tergantung pada pertolongan kaum santri. Hanya santri lah yang dapat memimpin doa di dalam ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan. Juga santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami, apa yang disebut Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam kehidupan, yaitu : kematian.

Adalah sangat beralasan ketika Prof. Syed Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam ke kepulauan Melayu (termasuk Jawa di dalamnya) merupakan peristiwa yang paling penting dalam sejarah kepulauan ini. Hal ini diamini oleh Dr. H. Roeslan Abdulgani yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara membawa tamaddun (peradaban), kemajuan dan kecerdasan. Kesimpulan yang berhadapan secara diametral dengan segelintir orang Indonesia yang sering menarasikan bahwa Islam dan budaya Arab adalah perusak tatanan budaya asli orang Jawa. Siapakah mereka itu, Insya Allah akan dibahas pada tulisan yang akan datang.

Rujukan

Dr. Hamka, 2005 (cet. V), Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional, Singapura

Roeslan Abdulgani, Dr, 1993, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamaddun/Kemajuan/Kecerdasan, makalah pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Banda Aceh 10 – 16 Juli 1978.

Rasyidi, Prof. Dr, 1967, Islam dan Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang

Syed Naquib Al Attas, Prof. Dr, 1986 (terj.), Dilema Kaum Muslimin, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya

Dennys Lombard, 2008, Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia, Gramedia Jakarta, hal. 189

S. Wojowasito, 1952 (cet. II), Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, Penerbit Siliwangi Jakarta, hal. 148

Prof. Rasyidi, 1967, Islam dan Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang, hal. 94

Ekadarmaputera, PhD, 1991 (cet. 3), Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta,

Syed Naquib Al Attas, Prof. Dr, 1986 (terj.), Dilema Kaum Muslimin, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya,

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image