Memahami Eksistensi Artificial Intelligence di Dunia Kerja
Teknologi | 2023-08-20 22:33:43Kehadiran sebuah film/sinema dalam membentuk kultur dan pola pikir masyarakat adalah suatu hal yang umum terjadi. Sebagaimana film Jaws membentuk persepsi menyeramkan tentang hiu, beberapa film fiksi futuristik tentang robot dan Artificial Intelligence (AI) turut dipengaruhi oleh oleh tayangan layar lebar. Persepsi AI dan robot sebagai pemberontak mungkin tergambar jelas dalam serial film Terminator, tetapi film Big Hero 6 menggambarkan adanya hubungan emosional mendalam antara manusia dan robot dengan kecerdasan buatan. Setidaknya, penelitian Daniel dan Elyse (2021) menunjukkan frekuensi persepsi bersahabat dan ramah yang lebih sering dibandingkan persepsi berbahaya terhadap AI.
Namun, realita berbeda justru hadir pada persoalan ketenagakerjaan. Beberapa kejadian pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi karena digantikan AI. Beberapa waktu terakhir, AI telah mengancam ranah perfilman Hollywood. Alhasil, Screen Actors Guild–American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA), gabungan serikat pekerja kreatif Amerika, melakukan unjuk rasa dan mogok terhadap para produser film karena AI (salah satu penyebabnya) telah mengambil alih pekerjaan dari tingkat penulis skrip hingga editor video. Salah satu pengambilalihan pekerjaan itu terjadi pada pembuatan opening scene serial Secret Invasion, di mana pengerjaannya sepenuhnya dilakukan oleh AI. Penelitian lain memang menunjukkan adanya jenis pekerjaan baru yang akan tercipta oleh AI. Hal ini sesuai dengan laporan The Future of Jobs Report 2020 oleh World Economic Forum yang memprediksi adanya 97 juta lapangan pekerjaan tercipta pada tahun 2025 seiring kehadiran AI. Namun, seperti pernyataan banyak pakar psikolog dari Roy Baumeister hingga Paul Rozin “hal negatif memberikan dampak lebih kuat pada manusia dibandingkan hal positif”. Terlebih, gambaran ciptaan manusia yang merugikan “tuannya” telah lestari sejak Mary Shelley menulis kisah Frankenstein.
Dengan adanya dua narasi yang bertentangan, setidaknya kita butuh narasi penengah untuk menjelaskan kehadiran AI di dunia kerja. Terlebih, sebagai fenomena baru, AI masih minim berpartisipasi secara langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengalaman empirisnya masih belum banyak dirasakan masyarakat. Setidaknya, ada 3 kelebihan AI yang menjadi sumber kecemasan dalam ranah ketenagakerjaan yang dijelaskan sebagai berikut.
- AI lebih pintar daripada manusia
"Saya pikir mereka sangat dekat dengan itu sekarang dan mereka akan jauh lebih pintar daripada kita di masa depan. Bagaimana kita bertahan dari hal tersebut?"
Geoffrey Hinton, Godfather of AI
Itu adalah sedikit kutipan pendapat Geoffrey Hinton, pria yang dijuluki Godfather of AI, dalam sebuah wawancara bersama MIT Technology Review. Pria yang telah banyak berkontribusi dalam dunia AI ini, terutama bagi Google, telah mewanti-wanti bahayanya AI semenjak pengunduran dirinya dari Google beberapa waktu lalu. Baginya, kehadiran AI akan mengancam keberlangsungan manusia karena pengembangan AI sudah/akan melampaui kecerdasan manusia karena kemampuannya dalam belajar cepat dan juga mengkopi pengetahuan secara instan. “Ini adalah bentuk kecerdasan yang benar-benar berbeda, sebuah bentuk baru kecerdasan yang lebih baik”, lanjutnya dalam wawancara tersebut.
Sebenarnya ancaman kecerdasan AI dalam melampaui kecerdasan manusia secara logis dapat terjadi. Setidaknya pembalikan teori Flynn dapat menjelaskan tentang bagaimana tingkat kecerdasan manusia telah mengalami penurunan. Pada dasarnya teori Flynn mengilustrasikan adanya pertumbuhan skor IQ di seluruh dunia di abad ke 20. Hingga pada dekade 90-an terjadilah pembalikan teori Flynn dengan adanya indikasi berhentinya pertumbuhan atau bahkan penurunan skor IQ di seluruh dunia. Sebuah penelitian oleh Bratsber & Rogeberg (2018) menjelaskan bahwa baik teori Flynn maupun pembalikan teori Flynn sama-sama disebabkan oleh lingkungan. Di masa pembalikan teori Flynn, buruknya sistem pendidikan dan buruknya edukasi di tingkat keluarga menjadi beberapa faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi.
Namun, apakah dengan semakin pintarnya AI dan semakin turunnya skor kepintaran manusia maka ini menjadi akhir bagi manusia itu sendiri? Junaid Mubeen, matematikawan asal Oxford, dalam bukunya Kecerdasan Matematis memberikan pandangan berbeda bagaimana seharusnya kita memandang kepintaran. Baginya, penyamaan kecerdasan komputer dan semacamnya terhadap kecerdasan manusia adalah hal yang keliru. Sebagai contoh, ketika komputer DeepBlue bisa mengalahkan Garry Kasparov, juara dunia catur pada tahun 1997 seharusnya kita tidak berpikir bahwa kecerdasan manusia telah dilampaui oleh komputer. Namun, kita seharusnya mendefinisikan ulang arti dari kecerdasan itu sendiri karena ternyata pintar bermain catur tidak sepenuhnya dapat mewakili kecerdasan manusia yang identik.
Masih menurut Junaid Mubeen, rasa takjub dari keakuratan AI dalam mengolah informasi telah membuat kita mengabaikan cara pikir manusia yang lebih orisinil, yaitu estimasi. Jika beberapa waktu kemarin anda menonton film Oppenheimer seharusnya anda melihat sosok Enrico Fermi yang diperankan oleh Danny Deferrari. Enrico Fermi adalah seorang jenius di samping seorang Oppenheimer yang telah memperkenalkan Estimasi Fermi, sebuah pendekatan kasar untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih formal. Estimasi Fermi sendiri telah banyak digunakan dalam berbagai bidang karena secara realitas tidak seluruh informasi tidak bisa didapatkan secara akurat sehingga diperlukan perkiraan untuk mencapai nilai paling dekat dari nilai yang benar. Pada dasarnya keakuratan yang ditawarkan AI adalah sebuah bagian yang diperlukan oleh manusia, tetapi estimasi adalah bagian lain dari kemampuan manusia untuk menjawab ketidakpastian. Kekeliruan kita dalam menilai AI tidak terlepas dari pandangan kita secara sebelah mata yang hanya mementingkan keakuratan dan kepastian dan mengabaikan bahwa dunia diisi oleh banyak hal yang tidak sempurna dan tidak pasti. Dengan demikian, seharusnya kita tidak berkecil hati hanya karena tingkat keakuratan jawaban manusia yang lebih rendah daripada AI.
- AI lebih kreatif daripada manusia
“Jika kuda bisa menggambar maka dia akan menggambarkan tuhannya mirip kuda juga”
Xenophanes, Filsuf Yunani
“Orang tidak akan pernah tahu sesuatu ‘yang bukan’ -sesuatu yang tidak mungkin”
Parmenides, murid dari Xenophanes
Mario Klingemann, seniman asal Jerman, pernah mengatakan bahwa kreativitas manusia itu tidaklah orisinal karena manusia hanya mengkombinasi hal-hal yang pernah dilihatnya. Baginya, AI dapat menciptakan sesuatu yang lebih baru dan orisinil, “mesin bisa menciptakan sesuatu dari awal”, begitu ujarnya. Walaupun sinis, pernyataan Mario ini sesuai dengan pemikiran seorang filsuf Yunani terdahulu, Xenophanes, yang berpendapat bahwa manusia atau makhluk lain yang dapat berpikir akan memikirkan sesuatu yang familiar dengan pengalamannya dan dapat dipahami secara indrawi. Namun, menciptakan sesuatu dari awal tanpa inspirasi, rangsangan, atau pemicu adalah suatu yang mustahil, seperti yang dijelaskan oleh Parmenides. Bagi Parmenides, tidak ada sesuatu yang benar-benar original tanpa adanya pemicu dan jika pemicunya tidak ada maka hal tersebut tidak dapat diungkapkan. Mungkin agak susah memahami secara langsung perkataan Parmenides. Contoh mudahnya adalah bilangan basis 10 yang diperkirakan diciptakan oleh orang Mesir kuno yang kita gunakan di era modern ini. Alasan masyarakat Mesir kuno bisa mengenali bilangan basis 10 karena manusia memiliki 10 jari tangan sehingga menjadikannya pilihan paling portabel. Seiring perjalanan waktu, basis 10 menjadi basis bilangan utama yang digunakan karena memiliki kaitan biologis dengan organ tubuh manusia. Jika seandainya manusia tidak memiliki jari tangan atau mungkin jari tangan manusia lebih dari 10 mungkin basis bilangan yang kita gunakan hari ini akan berbeda.
Gagasan Parmenides bisa dikatakan sebagai turunan dari pemikiran Xenophanes sehingga gagasan keduanya mengedepankan familiaritas dari pengalaman. Namun, Mario yang seorang seniman mungkin kurang paham bahwa AI juga perlu belajar dari sesuatu untuk menciptakan karya orisinil. Mesin, atau dalam hal ini AI, setidaknya butuh ratusan hingga ribuan kali percobaan untuk mengenali suatu benda. Sedangkan anda, mungkin hanya perlu bertemu 1 atau 2 kali dengan seseorang yang baru anda kenal untuk menghafal mukanya. Keterbatasan AI dalam mengenali benda baru terjadi karena AI mengenali sesuatu secara mendetail (atau secara akurat seperti yang kita bahas sebelumnya). Sedangkan manusia, lebih sering menilai sesuatu secara garis besar atau perkiraan (kita sudah membahasnya pada bagian estimasi). Kembali kita kutip satu pernyataan dari Junaid Mubeen, “ketika berusaha memahami sebuah gagasan atau objek, petunjuk kontekstual mengalahkan detail”, dan manusia lebih unggul dalam memahami konteks/makna dari suatu kejadian dibandingkan AI. Hal ini membuat manusia lebih cepat dalam memahami lebih cepat membedakan sesuatu yang baru. Reseptor manusia terdiri dari 5 indra yang dapat menangkap berbagai informasi, tetapi “reseptornya” AI membuat data yang didapatkan dari gambar, suara, atau lainnya perlu diubah menjadi angka yang dapat dipahami oleh komputer menjadikannya lebih kaku dalam memahami jenis informasi. Manusia mengetahui bagaimana bentuk, suara, rasa, tekstur, dan bau, tetapi mesin mengenal segala sesuatu sebagai vektor.
Orisinalitas karya memang dipengaruhi oleh kreativitas penciptanya. Segala ide dan gagasan baru, entah kecil ataupun besar memiliki pemicu yang berasal dari informasi yang terus-terusan dikumpulkan. Sebagaimana pernyataan Stanislas Dehaene, neurosains asal Prancis, otak manusia adalah hasil kompromi dari sejarah evolusi yang panjang. Bagaimana kita bertindak hari ini tidak terlepas dari bagaimana nenek moyang kita bertindak dalam beradaptasi melawan tantangan alam yang banyak dari adaptasi itu diwariskan secara genetis ke generasi berikutnya. Alhasil, kreativitas tidak bisa dipahami sebagai suatu kemampuan tanpa adanya pemicu dan proses. Sebagaimana dalam film Theory of Everything, pada saat adegan Stephen Hawking menggembagkan teori lubang hitam karena melihat api perapian dari celah bajunya.
- AI lebih murah daripada manusia
“Mereka memberi tahu semua aktor, penulis, dan pekerja kreatif bahwa mereka tidak memiliki uang. Sementara itu, mereka memberitahu semua pemegang saham mereka menghasilkan lebih banyak uang daripada sebelumnya”
Emma Myles, aktris Hollywood
Ungkapan di atas diucapkan oleh Emma Myles pada wawancara di salah satu stasiun televisi Amerika bersamaan dengan mogok kerja dan unjuk rasa SAG-AFTRA. Alasan biaya bukanlah hal internal yang dapat dilatih dan diusahakan secara perseorangan. Jika ingin menjadi lebih pintar dan kreatif anda bisa lebih banyak berlatih dan berusaha seperti pembahasan sebelumnya maka faktor besaran biaya berkaitan erat dengan kepentingan banyak pihak. Selain biaya murah, pengoperasian AI setidaknya mengurangi ketidak konsistenan yang mungkin saja dilakukan oleh pekerja manusia.
Namun, apakah gelombang pergantian karyawan ke AI akan terjadi secara mutlak di segala sektor? Disrupsi AI sebenarnya tidak akan optimal jika dihadapkan dengan upah buruh yang lebih mudah. Toh, biaya pengembangan AI di awal itu cukup mahal dan untungnya juga tidak langsung bersifat jangka pendek maka pertimbangan penggunaan AI sebagai pekerja jadi agak dilematis. Dalam perspektif transformasi struktural, negara yang masih mengandalkan buruh murah setidaknya masih berada pada pengembangan industri manufaktur dan masih banyaknya tenaga kerja yang bekerja di industri agraris sehingga tingkat adopsi dan disrupsi teknologinya lebih minim. Disrupsi AI akan benar-benar terasa secara makro ketika suatu negara memiliki industri jasa yang jumlah serapan tenaga kerjanya telah melampaui industri agraris dan industri manufaktur dan kesiapan teknologi yang tinggi.
Masuknya AI dalam ranah ketenagakerjaan seharusnya sudah bisa menjadi bahan diskusi para pemangku jabatan. Mogok kerja SAG-AFTRA adalah satu fenomena yang terjadi karena belum adanya payung hukum yang mengatur porsi karyawan dan AI. Terlebih, hadirnya AI lebih dari sekedar memurahkan biaya produksi, melainkan juga menyangkut kekayaan intelektual hingga persaingan kompetisi bisnis. Jika kita mengikuti pendapat Thales, filsuf Yunani Kuno, harta bersifat baik jika diperoleh dengan cara yang baik dan apa pun yang tidak ingin dilakukan pada diri sendiri maka jangan lakukan pada orang lain. Kehadiran para regulator setidaknya diperlukan agar adanya keadilan antara para pekerja dengan para pemilik modal.
Persepsi AI sebagai peluang atau ancaman adalah keputusan individu untuk kebutuhan masing-masing. Beberapa pihak mungkin akan merasa kehadiran AI akan sangat menguntungkan karena akan mengefisienkan pekerjaan. Begitupun pandangan bahwa AI akan menimbulkan pengangguran dan ketidakadilan kerja adalah pandangan yang perlu didiskusikan lebih lanjut, terutama oleh para regulator. Setiap teknologi memang mendatangkan ancaman dan mendapatkan penolakan layaknya dulu mesin cetak ditolak oleh Kesultanan Ottoman karena dianggap mengancam profesi penulis kitab. Namun, pada setiap kehadiran teknologi pula kita mendapatkan pengalaman yang belum didapatkan sebelumnya. Beberapa penjelasan tentang kelebihan cara berpikir manusia seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagaimana seharusnya kita sebagai manusia tetap memiliki kesempatan untuk berkompetisi melawan mesin dengan cara kita sendiri, tanpa perlu ikut-ikutan menjadi pintar dari versi mesin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.