AI Hanya Punya Data, Pustakawan Punya Rasa: Menolak Mitos Punahnya Peran Pustakawan
Iptek | 2025-12-16 15:08:11
Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan kemunikasi membawa perubahan yang signifikan di berbagai bidang. Salah satunya pada institusi perpustakaan yang kini merasakan berbagai manfaat dari kemajuan pesat otomatisasi dan Kecerdasan Buatan (AI). Konsekuansinya, peran dari para pustakawan bertransformasi secara mendalam.
Transformasi tersebut memunculkan keraguan oleh para pustakawan karena anggapan akan punahnya peran dari pustakawan itu sendiri pada bidangnya. Padahal, anggapan ini keliru. AI hadir bukan sebagai pengganti peran pustakawan, melainkan sebagai mitra dalam meningkatkan kualitas peran pustakawan pada setiap layanan perpustakaan.
Memang patut diakui, keunggulan AI akan sangat mengoptimalkan proses layanan dan pengelolaan perpustakaan tersebut. Sebagai contoh, AI dapat digunakan sebagai alat yang membantu proses analisis data besar milik pemustaka guna menyesuaikan pola kepentingan atau minat pemustaka terhadap koleksi digital. Secara keseluruhan, hal ini membantu pustakawan memperoleh efisiensi yang tinggi dalam meningkatkan layanan perpustakaan.
Oleh karena itu, semakin banyak orang mengira bahwa pustakawan tidak lagi memiliki peran strategis dalam hal pelayanan perpustakaan karena dianggap hanya sebagai wujud manual yang kurang efisien dibanding mesin.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat oleh rri.co.id, Adita Rizki Santosa, mahasiswa sekaligus Manager Operasional PT KIB, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa profesi yang berpotensi tergeser perannya oleh AI. Terutama pekerjaan repetitif yang tugasnya sederhana, memakan waktu, dan detail sangat rentan digantikan.
“AI bisa kerja 24 jam tanpa capek. Jadi kalau pekerjaannya hanya copy-paste data atau jawab pertanyaan standar, itu gampang banget diambil alih mesin,” ungkap Adita.
Meskipun demikian, efisiensi tinggi yang AI tawarkan tidak serta merta menghilangkan peran strategis pustakawan. Ada kesenjangan mendasar yang tidak mampu dijangkau oleh algoritma. Prinsip etika dalam pemanfaatan AI, khususnya dalam pelayanan perpustakaan, menjadi salah satu hal yang perlu menjadi perhatian.
Di dalam pengambilan keputusan yang berbasis data, perpustakaan wajib memastikan bahwa pemanfaatan AI bersifat adil dan menghargai hak-hak pemustaka. Pihak perpustakaan perlu melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap sistem AI untuk mendeteksi tidak adanya bias dalam pengelolaan data dan rekomendasi yang diberikan oleh AI. Dalam hal inilah peran pustakawan tidak tergantikan.
Dalam wawancara yang dimuat rri.co.i, Adita Rizki Santosa, mahasiswa sekaligus Manager Operasional PT KIB, juga menekankan bahwa AI hanya mesin yang tidak memiliki emosi dan perasaan sehingga manusia masih unggul dalam hal pemikiran kritis dan skill kreatif. Oleh karena itu, hal ini masih membuka celah peluang kepada para pustakawan yang bisa beradaptasi dengan teknologi sehingga perpustakaan akan tetap memiliki sisi humanis tanpa mengabaikan nilai nilai kemanusiaan.
“AI pintar, tapi nggak punya rasa. Nah, di situlah manusia unggul. Kalau kita bisa gabungin teknologi dengan skill kritis dan kreatif, peluangnya malah makin besar,” ungkap Adita.
Maka dari itu, model perpustakaan di masa depan bukanlah tentang menghapus peran pustakawan, melainkan adanya kolaborasi yang strategis antara manusia dengan mesin. Anggapan bahwa AI sebagai pesaing atau kecerdasan yang dapat sepenuhnya menggantikan peran merupakan pandangan yang tidak tepat, karena AI seharusnya dianggap sebagai asisten yang dapat membantu pengerjaan tugas yang monoton.
Misalnya, biarkan AI mengurus kurasi metadata, mengidentifikasi tren, atau mengelola sirkulasi 24 jam dan keamanan. Dengan kapasitas waktu yang lebih bebas, pustakawan seharusnya dapat memfokuskan energinya pada aktivitas atau peran yang lebih transformatif dan berpeluang. Mereka dapat berperan sebagai konsultan informasi yang kritis dengan pengajaran literasi digital tingkat lanjut. Peran pustakawan dalam pelayanan perpustakaan berganti dari penyedia akses informasi menjadi kurator yang berkualitas, yang menjadi sumber filter agar para pemustaka yang menggunakan layanan menghasilkan data yang etis dan valid.
Menurut Bundy (2003) yang dikutip oleh Rameshwari (2025), “Perpustakaan dan pustakawan telah mengalami transformasi signifikan di abad ke-21, beradaptasi dengan kemajuan teknologi, perubahan kebutuhan informasi, dan peran sosial yang terus berkembang. Di India, di mana digitalisasi dan penyebaran pengetahuan berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, perpustakaan tidak lagi sekadar tempat penyimpanan buku, melainkan pusat pembelajaran, inovasi, dan akses digital yang dinamis. Perubahan ini mengubah peran pustakawan, yang kini bertindak sebagai kurator informasi, pendidik literasi digital, dan fasilitator komunitas.”
Melalui kutipan tersebut dapat dilihat jelas bahwa perubahan pada peran pustakawan tidak dapat dihindari, tetapi juga tidak dapat diartikan sebagai hambatan bagi para pustakawan.
Pada akhirnya, perdebatan antara AI yang menjadi lawan pustakawan dalam proses pelayanan adalah keliru. Berbagai kekhawatiran tersebut muncul karena manusia hanya fokus pada tugas rutin yang dapat di otomatisasi. Padahal, ada nilai- nilai kebijaksanaan, empati, dan nilai yang menyatu dengan konteks kebudayaan yang harus tetap dipegang.
Masa depan perpustakaan terletak pada kemampuan pustakawan yang ingin berkembang dan beradaptasi pada teknologi dengan menjadikan AI sebagai asisten di tengah kemudahan akses informasi dan memposisikan diri sebagai navigator dengan nilai humanis yang terus terealisasi. Dengan demikian, profesi pustakawan tidak akan punah, tetapi berevolusi menjadi tidak tergantikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
