Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jihan Fadhilah

Bukan Sekedar Selebrasi, Jaminan Sistem Islam Kepada Anak

Parenting | 2023-08-16 08:44:46
Hari Anak Nasional 2023 (Foto: Situs KemenPPPA RI)

Oleh : Jihan Fadhilah S.T.

(Pemerhati Kebijakan Publik)

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di Tanah Air diselenggarakan setiap tanggal 23 Juli. Pada tahun ini, Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

Peringatan HAN tersebut mengingatkan semua orang agar hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Sejak dalam kandungan, anak sebenarnya sudah menghadapi berbagai ancaman yakni stunting. Juga ancaman lainnya saat lahir seperti kekerasan, perkawinan anak, anak berhadapan dengan hukum, dan lainnya. (m.antaranews.com , 23/7/2023)

Di tengah euforia berbagai penghargaan tersebut, akankah berbagai persoalan anak dapat tuntas terselesaikan? Ada stunting yang terus membayangi, kekerasan seksual yang terus mengintai generasi, hak pendidikan yang belum terpenuhi secara merata, layanan kesehatan yang belum menjangkau seluruh wilayah, dan masih banyak lainnya yang menyisakan PR besar meski HAN digelar setiap tahunnya. Lalu, bagaimana agar anak terlindungi secara hakiki?

Anak adalah permata keluarga. Keberadaan seorang anak di tengah keluarga mampu menghadirkan kehangatan dan keceriaan. Dalam ruang yang lebih luas, anak adalah generasi harapan bangsa. Di tangan merekalah terletak estafet keberlangsungan satu peradaban. Atas dasar ini, negara berperan menjamin seluruh hak-hak anak. Akan tetapi, apa jadinya jika negara gagal menjamin itu?

Di antara PR besar yang harus dituntaskan terkait hak anak adalah pertama, anak seharusnya mendapatkan gizi dan nutrisi yang cukup sejak sebelum mereka dilahirkan. Pada banyak kasus, stunting kerap dialami pada ibu hamil yang kurang mendapat asupan gizi dan nutrisi yang cukup.

Menkes Budi Gunadi Sadikin memang mengatakan angka stunting mengalami penurunan hingga 21,6% dibandingkan pada 2021 yang mencapai 24,4%. Meski demikian, sudah selayaknya hak anak mendapat gizi baik tidak terhalang faktor yang lebih sistemis, yakni kemiskinan. Jangan sampai kondisi ini membuat para ibu kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak sejak dini.

Kedua, kasus kekerasan yang terus mengintai, seperti bullying dan kekerasan seksual yang masih menjadi ancaman bagi hak anak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang dua bulan pertama 2023, terungkap enam kasus bullying atau kekerasan fisik, dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Berdasarkan catatan Kemen PPPA, sepanjang Januari hingga 28 Mei 2023, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus.

Tidak sedikit yang melakukan perundungan verbal melalui ejekan maupun kata-kata kasar. Karakter anak yang cenderung emosional, sulit mengendalikan diri, dan pemarah, tentu tidak lepas dari pengaruh media dan game daring.

Ketiga, hak anak untuk belajar hingga perguruan tinggi tampaknya belum mampu terpenuhi dengan baik. Sepanjang tahun ajaran 2022/2023, tercatat angka putus sekolah di Indonesia dari semua jenjang mencapai 76.834 orang. Perinciannya, siswa putus sekolah tingkat SD 40.623 orang, SMP (13.716), SMA (10.091), dan SMK (12.404). (gorontalo.viva.co.id , 27/6/2023).

Lagi-lagi, fenomena putus sekolah paling banyak dipicu faktor ekonomi, yakni keterbatasan sumber daya dan kesempatan. Banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan—ataupun di atas garis kemiskinan, tetapi berpenghasilan minim—yang tidak cukup memenuhi kebutuhan asasi mereka, termasuk pendidikan.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menilai bahwa faktor ekonomi merupakan pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang makin meningkat, kemarahan terhadap pasangan, dan ketakberdayaan mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.

Mari merenung sejenak. Sejak banyaknya penghargaan KLA, sudah sebesar apa angka kekerasan terhadap anak mengalami penurunan? Diakui atau tidak, lingkungan menjadi tidak ramah anak karena banyaknya kejahatan yang menghantui. Bagaimana anak-anak bisa bersukacita jika berbagai kekerasan, baik verbal, fisik, maupun psikis masih mengancam kehidupan mereka? Bagaimana anak-anak bisa bergembira, sedangkan hak pendidikan mereka terabaikan hanya karena miskin? Bagaimana anak-anak bisa terus ceria, sedangkan hak mendapatkan penghidupan yang layak tidak diurus negara dengan baik?

Sungguh, penerapan kapitalisme telah membuat angka stunting menganga, angka putus sekolah meningkat, dan kekerasan mengintai setiap saat. Kemiskinan membuat rakyat sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk kebutuhan asupan nutrisi dan gizi. Kemiskinan pula yang membuat pendidikan layaknya barang mahal, sama mahalnya ketika ingin mendapatkan layanan kesehatan secara murah, bahkan gratis.

Peran negara dalam menjaga generasi seakan mandul. Akibat kebijakan serba kapitalistik, keberpihakan negara kepada rakyat sangat minim. UU Perlindungan Anak tidak cukup mampu mencegah kriminalitas dan kejahatan terhadap anak. Buktinya, makin banyak ragam kejahatan terhadap anak lantaran hukum buatan manusia yang tidak berefek jera bagi pelaku.

Atas dasar ini, kita layak bertanya, apakah tema peringatan HAN tahun ini sekadar slogan tanpa langkah strategis untuk melindungi anak? Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, selayaknya negara menempuh langkah strategis dan sistemis untuk melindung anak.

Anak bukan sekadar aset negara. Merekalah sesungguhnya pemilik masa depan bagi generasi abad ini. Jika hak-hak anak tidak terpenuhi, masa depan generasi bisa di ambang kehancuran. Ibarat investasi masa depan, negara harus memastikan kehidupan generasi bisa berjalan dengan pemenuhan dan jaminan segala kebutuhan. Menyiapkan generasi hari ini berarti kita sedang menyiapkan masa depan cemerlang bagi peradaban gemilang.

Islam telah memberikan perhatian besar terhadap perlindungan anak-anak yang meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.

Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.

Kedua, lingkungan. Dalam hal ini, masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun.

Ketiga, negara sebagai pengurus utama. Negara wajib memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap anak. Penerapan sistem pendidikan Islam berkualitas dan bebas biaya akan mengakomodasi setiap anak dapat bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Sistem pendidikan Islam mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia.

Pada intinya, anak dapat terlindungi dan terjaga hanya dalam asuhan sistem Islam kafah. Hak mereka terpenuhi, kewajiban negara sebagai pengurus terlaksana, dan syariat Allah Swt. akan membawa berkah bagi kita semua. Wallahu a'lam bishawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image