Kapitalisme Neoliberal Biang Bencana Kekeringan dan Krisis
Agama | 2023-08-15 00:18:42By: Sarie Rahman
Sulitnya mendapatkan air bersih dan aman adalah masalah kronis, tidak hanya masalah bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan atau 3T namun juga masalah bagi masyarakat kota. Dan saat ini perkiraan ketersediaan air di bumi ini kian menipis. Dilansir Radar Jember (Jum’at, 21/07/2023) bahwa terdapat 10 kecamatan di Bondowoso masuk daftar siaga bencana kekeringan, bahkan satu diantaranya sudah intens meminta bantuan kiriman air bersih. Warga Bondowoso dianjurkan untk mengantisipasi kebutuhan air bersih sejak dini. Adapun 10 kecamatan siaga bencana adalah Pakem, Pujer, Tlogosari, Tegalampel, Prajekan, Klabang, Maesan, Botolinggo, Grujugan, Wringin. Disampaikan pula oleh Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Andri Setiawan adanya keputusan Bupati melalui ketetapan Pemkab Bondowoso perihal siaga darurat bencana kekeringan yang diberlakukan hingga Oktober 2023. Dalam penjelasannya disebutkan pula bahwa pihak BPBD telah melakukan bermacam upaya mulai dari pembuatan sumur resapan, sumur bor bahkan pendistribusian air bersih ke daerah terdampak untuk kebutuhan mendesak, seperti memasak, minum hingga MCK, namun upaya tersebut belum bisa direalisasikan seluruhnya.
Senada dengan pernyataan Andri, kepala BMKG menyebutkan bahwa wilayah Bali, NTT, NTB serta Jawa Timur sebagian besar akan hadapi kemarau lebih awal di bulan April menyusul bagian-bagian daerah di pulau Jawa lainnya serta sebagian pulau Sumatera Selatan dan Papua Selatan. Dalam prakiraan cuaca BMKG pada Maret 2023 lalu disebutkan bahwa awal musim kemarau 2023 ini akan terjadi di bulan April hingga Juni, sedangkan puncaknya terjadi di bulan Juli- Agustus. Bersamaan masuknya musim kemarau, Indonesia juga di perkirakan akan mengalami fenomena El Nino akibat dari pemanasan suhu muka laut (SML) di kawasan Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur, menyebabkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, alhasil curah hujan di wilayah sekitarnya berkurang termasuk Indonesia. Menurut kepala BMKG fenomena El Nino diperkuat dengan adanya perbedaan suhu permukaan laut antar wilayah timur dan barat Samudra Hindia yang dikenal dengan istilah Indian Ocean Dipole (IOD) menuju posistif. Karenanya wilayah Indonesia berpotensi lebih kering, sudah semestinya pemerintah mulai mengantisipasi segala kondisi dampak kemungkinan yang bakal terjadi.
Diantara dampak yang terjadi adalah kekeringan mulai dirasakan di beberapa daerah, mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berdasarkan penjelasan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB disebutkan sebanyak 131 kali karhutla terjadi selama 2-3 bulan terakhir. Bahkan di Kalimantan Selatan terdapat 2.521 titik api tersebar di 205,5 hektarare hingga Rabu ( 30/06/2023). Jawa Timur termasuk salah satu daerah yang terdampak besar setiap musim kemarau, sebagaimana pernyataan Gubernur Jatim perkiraan tahun ini kekeringan berpotensi akan menerpa 27 kabupaten/kota, 500 diantaranya desa kering kritis, 253 kering langka dan 91 desa kering langka terbatas. Diperkirakan pula sebanyak 1.664.433 jiwa atau 655.277 keluarga jumlah penduduk terdampak bencana ini. Sampai saat ini sejumlah daerah di Banyuwangi, Madura, Probolinggo Malang, Gresik, Mojokerto, Lumajang, Jember dan sekitarnya mengalami kesulitan air bersih kendati belum memasuki puncak musim kemarau.
Tak berbeda dengan daerah-daerah lain seperti di sebagian besar daerah Jawa Tengah, Pemda setempat telah menetapkan status siaga kekeringan. Tak ketinggalan pula di Jawa Barat, beberapa kabupaten/kotanya mulai dari kabupaten Bogor, Bandung, Purwakarta dan beberapa kabupaten di wilayah Pantura hingga Garut juga mengalami krisis air bersih. Adapun di wilayah Nusa Tenggara sedari lama sudah ada peringatan dini kekeringan meteorologis, bahkan pernyataan yang di sampaikan BMKG Stasiun NTB ada enam kecamatan di NTB meliputi kabupaten Lombok Timur, Bima, Lombok Utara, dan kabupaten Sumbawa masuk level awas. Sementara 15 kecamatan berada pada status siaga dan tiga kecamatan di level waspada. Sedangkan di sebagian wilayah NTT akan alami hari tanpa hujan (HTH) panjang dikarenakan selama lebih dari 60 hari tidak diguyur hujan.
Kondisi kekeringan panjang ini tentunya akan berimbas pada ketahanan pangan, sulitnya mendapatkan air untuk bertani mengakibatkan sebagian daerah menunda masa tanam hingga masuk musim hujan. Dari peta yang dikeluarkan Kementerian Pertanian mencapai 410.675 hektare resiko kekeringan yang mungkin terjadi selama musim kemarau kali ini, meski masih kategori sedang. Sebenarnya krisis air bersih bukan hanya terjadi kali ini pun bukan hanya karena musim kemarau saja, bisa di bilang merupakan problem tahunan yang tejadi berulang. Hanya saja bencana kekeringan makin memperparah kondisi ini. Dari data BPS tahun 2021 disebutkan sebanyak 83.843 desa belum mendapatkan layanan air bersih dan sebanyak 47.915 diantaranya bahkan belum memiliki akses air minum bersih. Diperkirakan pada tahun 2035 nanti jumlah penduduk yang kesulitan mendapatkan air bersih makin besar, mengingat penurunan ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia diperkirakan hanya akan tersisa 181.498 meter kubik menyusut jauh dibanding tahun 2010 sebesar 265.420 meter kubik. Sedangkan pemenuhan akses air bersih melalui perpipaan saat ini baru terpenuhi 22%, hal ini akan berdampak terciptanya disparitas mendapatkan air bersih di masyarakat perkotaan.
Bencana hidrometeorogi yang mengakibatkan kekeringan memang bagian dari fenomena alam, akan tetapi dampak yang dirasakan masyarakat khususnya krisis air bersih kian parah karena minimnya langkah antisipasi dan mitigasi bencana. Sampai saat ini belum tampak keseriusan dari pemerintah mengambil langkah yang signifikan untuk mengatasi krisis air bersih ini. Terbukti krisis selalu saja terjadi berulang bahkan dengan intensitas yang lebih luas dan kian parah. Hingga saat ini pemerintah hanya mengambil langkah sebatas mendistribusikan dan dropping air bersih pada daerah yang terdampak kekeringan sebagai langkah kuratif, itupun sangat minim karena keterbatasan anggaran dan fasilitas. Seperti juga pembangunan waduk, bendungan dan semacamnya yang bertujuan mampu menampung air di musim hujan, padahal langkah ini tidak terbukti mampu menyelesaikan masalah.
Saat ini prinsip sekuler kapitalisme di jadikan konsep pengelolaan sumber daya air, darinya lahirlah kebijakan politik demokrasi neoliberal dan politik ekonomi kapitalistik. Dalam teori kapitalisme neoliberal menempatkan air sebagai komoditas ekonomi yang bisa dikelola siapa saja, akibatnya air menjadi objek bisnis untuk mencari keuntungan. Sebagai negara terkaya ke-5 dalam ketersediaan air tawar, yaitu mencapai 2,83 triliun meter kubik per tahun, sangat di sayangkan jika sumber yang melimpah ini tidak mampu memberikan kemaslahatan bagi rakyat dikarenakan konsep tata kelola sumber daya air yang buruk, hingga krisis air bersih harus dirasakan rakyat setiap tahunnya. Dari jumlah besar ini, kuantitas air yang dimanfaatkan baru sekitar satu per tiganya, yaitu 222,6 miliar meter kubik dari 691 miliar meter kubik per tahun.
Karakter korporasi kapitalistik melekat dalam prinsip komersialisasi membuat rakyat selalu kesulitan untuk mengakses air bersih, sementara bagi yang minim sumber daya air karena lalainya pemerintah akan selalu dilanda krisis air bersih. Dengan kebijakan privatisasi , beragam sumber mata air dialihkan pengelolaannya kepada korporasi penyedia air bersih dan air minum. Tertutupnya akses sebagian besar rakyat terhadap mata air dikarenakan pengkooptasian sumber mata air oleh korporasi. Selanjutnya sumber daya air yang telah di wenangkan kepada korporasi harus dibeli dengan harga mahal oleh rakyat, baik itu air bersih maupun air minum. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengurusi pemenuhan air bersih untuk rakyat. Negara hanya sebagai regulator dan sekedar memfasilitasi tanpa bertanggung jawab langsung terhadap kebutuhan rakyat dengan menyerahkan pengadaan infrastruktur penyediaan air bersih kepada korporasi (swasta atau pelat merah), buntutnya dikelola untuk mendapatkan keuntungan. Disamping itu cara kapitalisme mengelola air bersih beresiko ketidakseimbangan akses mendapatkan air bersih, seperti krisis air bersih yang menimpa masyarakat Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, serta di DKI Jakarta, korporasi swasta pengelola perhotelan, gedung perkantoran dan tempat wisata mendapatkan akses air bersih lebih eksklusif dibanding masyarakat menengah kebawah, namun tidak lant membuat pemerintah tergerak untuk serius mengatasinya.
Prediksi krisis dan kesulitan air bersih yang kian buruk akan dialami dunia di masa mendatang dampak dari penerapan system kapitalisme neoliberal kini telah nampak, bahkan tidak ada indikasi krisis akan berakhir. Sudah saatnya negara mengganti konsep kapitalistik neoliberal dengan syariat Islam, solusi hakiki dari Allah SWT yang di bawa Rasulullah SAW. Islam sebagai agama dan ideologi mempunyai rancangan unggul dan paripurna di segenap aspek kehidupan. Tidak terkecuali dalam menuntaskan masalah krisis air bersih yang hanya dapat di atasi dengan kebijakan politik dan ekonomi Islam. Dari aspek politik Islam tegas menyatakan bahwa sebagai pengurus umat negara harus hadir bertanggung jawab dan melindungi umat. Sebagaimana sabda Rasulullah yang di riwayatkan oleh Buhari dan Muslim bahwa imam/khilafah laksana pengembala yang bertanggung jawab penuh terhadap gembalaannya. Tanggung jawab ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sekaligus memberikan solusi terhadap segala kesulitannya. Tanggung jawab ini tidak boleh di gantikan kepada pihak lain apalagi korporasi, dengan tanggung jawab inilah niscaya negara akan melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi serta menyelesaikan masalah kesulitan air mulai dari pembiayaan riset, pengembangan tekonologinya, hingga mengimplementasikannya.
Bahkan negara akan tegas mencegah dan menghentikan tindakan perusakan lingkungan sekalipun untuk pembangunan atau proyek strategis nasional. Karena dalam Islam landasan pembangunan tidak di perbolehkan menimbulkan kemudaratan pada diri sendiri maupun pada orang lain, seperti di sebutkan dalam HR. Ibnu Majah dan Daruquthni. Pembangunan dilakukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat serta kewajiban dakwah dan jihad, maka pemerintah harus memakai prinsip- prinsip shahih sesuai syariat Islam dengan tidak mengabaikan karakter alamiah alam agar keselamatannya tetap terjaga, dengan demikian pembangunan pasti akan membawa kemaslahatan.
Sejalan dengan itu, penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh termasuk dalam hal pengelolaan harta akan diberlakukan pemerintah. Islam telah menetapkan bahwa air, energi, laut, sungai, hutan dan lain sebagainya termasuk harta milik umum yaitu seluruh rakyat. Maka negara wajib berperan sebagai pengelola hingga seluruh rakyat bisa menikmati harta tersebut. Dan prinsip pengelolaannya bukanlah untuk berbisnis melainkan untuk pelayanan semata, alhasil negara dilarang melimpahkan pengelolaannya pada swasta lebih-lebih lagi kepemilikannya, yang ujungnya di manfaatkan untuk kepentingannya saja.
Maka tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kekeringan ini kecuali kembali pada Islam, dengan pola dan prinsip pengeloalaan sumber daya air dan lingkungan yang sesuai syariat Islam, peran politik negara yang shahih, sumber daya air berlimpah yang Allah anugrahkan dapat dirasakan kemaslahatannya secara optimal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.