Makin Lama Makin Biasa
Agama | 2023-08-12 22:45:31LGBT. Rasanya topik ini tiada habisnya dibahas dari masa Nabi Luth hingga kini. Peringatan tentang kisah di masa lalu yang termaktub dalam Al-Qur’an pun hanya dianggap sebagai dongeng semata, namun disadari atau tidak sejarah memang benar-benar kembali terulang. Beberapa pekan lalu Aktivis LGBT membatalkan agenda pertemuan besar se-asean melalui agenda ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) di Jakarta dengan alasan keselamatan serta berpindah tempat yang belum diketahui tujuannya. Tak hanya itu, baru di pekan ini, Vokalis The 1975 membuat geger lantaran mencium rekan band nya sesama pria dalam sebuah konser di Kuala Lumpur malaysia. Belum lagi perayaan dan festival LGBT dalam setengah tahun ini yang meraup hampir 4 juta peserta yang tersebar di bebagai wilayah dunia menjadi saksi bahwa mereka benar adanya dengan jumlah yang besar dan sepertinya akan berusaha menjadi lebih besar.
Di kalangan masyarakat sendiri pun banyak terjadi beda pendapat tentang mereka. Ada yang ya wes lah, itu urusan mereka,ada yang yang penting aku nggak ikutan, ada pula yang membela dan memperjuangkan hak kebebasanmereka, tapi tak sedikit pula yang menentang. Tapi yang jelas, akhirnya membuat masyarakat biasa dan tak asing dengan hal berbau LGBT ini.
Masifnya berita, tontonan, dan hiburan yang menyerang membuat masyarakat akhirnya ‘terbiasa’. Di awal kejadian mungkin orang-orang akan merasa jijik, anti, bahkan menegaskan untuk menolak, namun karena seringnya serangan itu terjadi akhirnya membuat masyarakat menjadi membbiasakan dan bahkan membenarkan hal yang salah. Dengan dalih tontonan tadi membawa pesan yang bermanfaat, pemeran dan pelaku komunitas LGBT berperilaku baik, bahkan lebih peduli dengan sesama, juga mereka membutuhkan perlindungan atas hak dan pilihan mereka, akhirnya masyarakat sedikit demi sedikit mengalihkan standar mereka. Maka tak heran, di luar negeri, kurikulum mereka juga di sisipi dengan pengetahuan tentang banyak jenis kelamin dan bagaimana kita mau untuk bertoleransi dengan pelakunya.
Jika kita mengaku sebagai seorang muslim, standar yang kita pakai bukanlah hal itu ‘baik’ atau ‘tidak’ menurut kita, bukan pula ‘bermanfaat’ atau ‘tidak bermanfaat’ bagi kita, tetapi sepatutnya standar yang kita pakai adalah ‘halal’ dan ‘haram’ menurut Sang Pemilik Alam. Di dalam Islam, jelas hukumnya bahwa LGBT adalah haram. Lantas bagaimana dengan pelakunya? Mari kita tilik sejenak di masa Ketika standar seorang muslim adalah Islam, yakni di masa kekhilafahan.
Di dalam negara Islam, jelas tidak menayangkan dan membiarkan tontonan-tontonan yang tidak bermanfaat menurut syara’ apalagi yang diharamkan masuk ke negerinya. Negara juga akan menolak budaya-budaya barat yang berusaha masuk ke dalam daulah. Syariat pun mengatur tidak hanya pergaulan dan pakaian laki-laki dengan perempuan, namun juga dengan sesamanya. Lagi pula masyarakatnya juga dididik dengan kurikulum Al-Qur’an dimana aqidah sebagai pelajaran pertamanya akan ditancapkan kuat.
Muslim akan tau pasti tujuannya sebagai manusia dan hanya mengharap pada ridho Allah, ia tidak akan mau melakukan sesuatu yang mendatangkan murkaNya Lantas jika masih ada yang menyimpang bagaimana? Jika seluruh usaha pencegahan telah dilakukan maka pelakunya akan dikenai sanksi mati dengan cara tertentu. Lantas apakah hal ini akan mencederai haknya?
Jawabannya adalah tidak. Mengapa demikian? Karena di dalam islam, hukuman semasa di dunia mampu mengurangi siksa yang pedih di akhirat kelak. Logikanya, mengapa orang berzina juga dihukum dengan hukuman cambuk atau rajam? Karena sejatinya itu untuk melindungi pelaku dan masyarakat yang lain dari tragedi kehinaan dan mengurangi siksa.
Sama dengan kasus LGBT ini. Dan lagi-lagi jika kita berpedoman pada ‘standar manusia’ hak tersebut akan tanpa batas dan manusia akan menuju pada kehancurannya. Bayangkan saja jika LGBT dihalalkan, bukankah manusia akan mengalami kepunahannya? Dan tidak heran pula jika Allaah memperingati kita, jika kita menuruti hawa nafsu kita, sungguh kita lebih hina dari hewan ternak.
Dan mari kita Kembali ke masa kini, dimana khilafah belum bangkit kembali dan kita masih terkukung dalam sekulerisme. Sekulerisme dan cekokan budaya dari barat membuat standar kita yang seharusnya adalah merujuk pada Islam, menjadi standar ‘nyaman’ semata. Asalkan manusia suka dan nyaman, just go ahead. Akhirnya kita memilih hukum islam sesuka kita. Kita ambil yang nyaman, yang tidak kita buang dan hanya dijadikan literatur semata. Ia lupa bahkan tidak tau tujuannya hidup di dunia. Jangankan ingin ridhoNya, rasanya AlQur’an seperti buku-buku membosankan lainnya. Sama seperti saat ini bukan? Disadari atau tidak, berapa banyak drama Thailand yang ditonton umat islam? Berapa banyak pendukung kaum Pelangi hingga kini? Berapa banyak yang dulu menentang keras dan kini berubah Haluan menjadi pelaku?
Ya, begitulah kita tanpa khilafah di dunia fana ini. Kita kesulitan untuk menjaga diri, dengan mudahnya kita goyang dengan standar yang harusnya kita tancapkan dalam hati. Lantas bagaimana setelah ini? Mari kita mulai dari hal kecil namun sangat berarti, berfikir apa alasan Allah menciptakan kita di dunia ini, membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa seperti yang kita lakukan setiap hari. Tentunya sesuai standar Sang Ilahi. Merujuk Kembali apa yang diperbolehkan atau tidak oleh hukum syar’i. Karena baik atau buruk perilaku seorang bisa dilatih, yakni dengan membiasakan diri. Pelan-pelan tapi pasti, makin lama makin biasa akan hadir dalam diri
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.