Enam Jenis Kemerdekaan Sebagai Manusia
Curhat | 2023-08-09 13:52:54ENAM JENIS KEMERDEKAAN SEBAGAI MANUSIA
Sudah 78 tahun lamanya kita merdeka. Merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, yang sebelumnya sempat dijajah pula oleh Portugis dan Inggris. Setiap tahun kita memperingati sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan itu. Dengan acara tasyakuran, renungan, lomba-lomba, karnaval, pentas seni, dan masih banyak lagi.
Itu baru merdeka secara fisik. Memang, para kolonialis tak lagi bercokol di negeri ini. Namun, faktanya penjajahan masih berlangsung hingga kini. Imperialisme saat ini bersifat lebih halus. Para penjajah tak perlu datang dan, menetap di negeri jajahan. Mereka tetap berada di negaranya masing-masing.
Ya, imperialisme model baru. Ada penjajahan dalam bidang ekonomi, budaya, sosial, politik, pendidikan, ideologi, dan lain-lain. Bagaimana suatu negara dibuat tidak independen lagi, ia senantiasa bergantung kepada negara lain. Parahnya lagi, ada negara yang dikendalikan oleh negara lain.
Di sisi lain, secara individu, kita pun belum benar-benar merdeka. kita belum berdaulat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. hak-hak dasar sebagai sebagai warga negara terkadang belum tertunaikan sebagaimana mestinya.
Setidaknya, seorang manusia memiliki enam jenis kemerdekaan berikut ini:
1. Kemerdekaan berdemokrasi
Ini saya tempatkan di urutan pertama, karena sebentar lagi bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta besar nasional yaitu Pilpres dan Pileg secara serentak. Meskipun secara undang-undang, kita diberi kebebasan penuh untuk memilih presiden maupun anggota legislatif sesuai hati nurani kita, pada praktiknya tidaklah demikian.
Tidak sedikit yang memilih atas dasar tekanan, intimidasi, atau bahkan paksaan. Mereka tak berdaya karena takut akan ancaman mutasi, tidak naik jabatan, atau bahkan kehilangan pekerjaan (kedudukan).
Selain itu, ada pula yang memilih karena faktor ekonomi. Terpaksa memilih partai atau caleg tertentu karena sedang butuh uang. Atau memang karena kita serakah sehingga bersedia mengorbankan ideologi. Siapa yang berani memberinya uang lebih besar daripada yang lain, ia akan terima begitu saja, tak peduli dari caleg atau partai apa.
2. Kemerdekaan berbicara dan berpendapat
Walaupun hal ini sudah dijamin dalam UUD 1945, masih sering kita temui pembungkaman secara sengaja baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lembaga, karena dianggap omongan maupun pendapat orang tersebut dapat merugikan kepentingan mereka.
Tak jarang seseorang mudah sekali dilaporkan ke pihak Kepolisian karena pernyataan maupun statusnya di media sosial dengan tuduhan pencemaran nama baik, pelanggaran UU ITE, ujaran kebencian, fitnah, dan semacamnya.
Atau dalam lingkup yang lebih kecil, seperti di dalam keluarga atau di lingkup RT, masih ada orang yang takut untuk berbicara maupun mengeluarkan pendapat. Takut di sini, bisa jadi ia benar-benar takut untuk bicara, ada tekanan dari pihak lain, atau memang tidak pernah diberi kesempatan untuk berbicara dan berpendapat.
Atau ketika ia berbicara atau mengungkapkan pendapatnya, pihak lain selalu tidak menghargainya, tidak mendengarkannya, meremehkannya, menyalahkannya, atau bahkan mengolok-oloknya. Sehingga ia memutuskan untuk memilih diam.
3. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul
Sama halnya dengan kemerdekaan berbicara dan berpendapat, kemerdekaan berserikat dan berkumpul juga dijamin oleh UUD 1945. Namun kemerdekaan jenis ini pun masih mengalami banyak kendala.
Masih sering kita temui sebuah komunitas yang ingin berkumpul dan mengadakan suatu acara, namun mendapatkan pelarangan dengan beberapa alasan tertentu. Ada pula seseorang yang ingin bergabung dalam sebuah organisasi, tapi dilarang oleh orang tua mereka atau pihak lain dengan berbagai alasan.
Bahkan, ada suatu komunitas atau organisasi yang dilarang beroperasi dengan berbagai tuduhan yang belum jelas kebenaranya, seperti berbau politis, sesat, unsur terorisme, keamanan dan ketertiban, dll.
4. Kemerdekaan spiritual
Memang benar setiap warga negara bebas memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Namun, yang belum bebas adalah memilih aliran agama dan kepercayaan yang sesuai dengan dirinya.
Kita masih sering mendapati klaim bahwa aliran agamanyalah yang paling benar, sedangkan yang lain salah. Atau menuduh aliran agama tertentu sebagai sesat. Atau melarang orang lain memilih aliran tertentu karena tidak sesuai dengan aliran yang diikutinya.
5. Kemerdekaan finansial
Ada orang yang masih menggantungkan hidupnya dari pemberian atau belas kasihan orang lain. Ada pula yang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cara berhutang. Bahkan, untuk menutup hutangnya itu, ia mesti berhutang lagi kepada orang atau pihak lain.
Ia belum bebas secara finansial, sekalipun sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok.
6. Kemerdekaan dari hawa nafsu
Masih banyak orang yang diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri. Bukan dia yang mengendalikan hawa nafsu, justeru hawa nafsulah yang mengendalikan dirinya. Makanya, ada orang yang diperbudak oleh uang dikarenakan nafsu serakah. Ada orang yang diperbudak oleh pangkat atau jabatan disebabkan nafsu kekuasaan. Ada pula seorang lelaki yang diperbudak oleh perempuan karena tak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Dan masih banyak lagi.
Itulah lima kemerdekaan yang sebaiknya ada pada setiap manusia. Namun, terkait kemerdekaan individu, setiap negara memiliki aturan masing-masing. Ada sebagian negara (terutama di Barat) yang memberikan kepada warga negaranya kemerdekaan dalam hal orientasi seksual.
Kalau normalnya orientasi seksual manusia adalah heteroseks, mereka membolehkan adanya homoseks. Bahkan, ada beberapa negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Untuk konteks Indonesia yang merupakan negara religius dan berasaskan Pancasila, kita tidak membolehkan adanya kemerdekaan dalam memilih orientasi seksual seperti itu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.