Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karunia Kalifah Wijaya

Dibanjiri Bacaan, Mandek di Tulisan

Sekapur Sirih | 2025-03-15 10:07:52

"Membaca adalah jendela dunia, sementara menulis adalah cara kita berbicara kepada dunia." Pernyataan ini sering kali dikutip dalam berbagai diskusi tentang literasi, seolah-olah membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang berjalan beriringan dan saling melengkapi secara otomatis. Anggapan ini cukup umum, bahkan sudah tertanam dalam sistem pendidikan kita. Kita sering kali berasumsi bahwa seseorang yang rajin membaca akan otomatis memiliki keterampilan menulis yang baik, dan mereka yang mahir menulis tentu saja memiliki pemahaman membaca yang mendalam. Namun, apakah benar sesederhana itu?

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hubungan antara membaca dan menulis tidaklah linear. Ada banyak individu yang mampu memahami teks secara kritis, tetapi kesulitan dalam mengartikulasikan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Sebaliknya, ada pula mereka yang mampu menulis dengan struktur yang baik, tetapi memiliki pemahaman yang dangkal terhadap teks yang mereka baca. Hal ini menandakan bahwa membaca dan menulis bukan sekadar dua keterampilan yang berkembang secara paralel, melainkan dua proses kognitif yang kompleks dengan dinamika dan tantangan tersendiri.

Pemahaman yang keliru tentang hubungan membaca dan menulis ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Jika kita terus mengasumsikan bahwa peningkatan keterampilan membaca secara otomatis akan memperbaiki keterampilan menulis, maka kita sedang membangun kurikulum yang tidak seimbang dan cenderung mengabaikan aspek-aspek penting dalam pengajaran literasi.

Membaca dan Menulis, Dua Sisi Mata Uang atau Dua Jalur Berbeda?

Dalam teori pendidikan literasi, membaca dan menulis memang sering disebut sebagai keterampilan yang saling berkaitan. Keduanya sama-sama bergantung pada pemahaman bahasa, perbendaharaan kata, serta kemampuan memahami dan membangun struktur sintaksis. Namun, dalam praktiknya, membaca dan menulis bukanlah dua keterampilan yang berkembang dalam laju yang sama atau menggunakan mekanisme kognitif yang identik.

Membaca adalah proses reseptif, seseorang menerima dan memahami informasi dari teks yang disajikan. Proses ini melibatkan kemampuan dekoding simbol-simbol bahasa, menghubungkannya dengan makna, serta menginterpretasikan pesan yang tersirat di dalamnya. Sebaliknya, menulis adalah proses produktif yang menuntut individu untuk menghasilkan teks dengan struktur yang koheren, memilih kata-kata yang tepat, serta menyusun argumen yang jelas agar pesannya dapat diterima dengan baik oleh pembaca.

Ketimpangan dalam perkembangan keterampilan membaca dan menulis ini bukanlah hal yang langka. Kita sering menemukan siswa yang mampu membaca dan memahami bacaan dengan baik tetapi mengalami kesulitan ketika harus menuliskan kembali gagasan mereka. Hal ini terjadi karena membaca dan menulis memanfaatkan kapasitas kognitif yang berbeda, membaca lebih menekankan pada pemahaman dan interpretasi, sementara menulis memerlukan konstruksi ide yang lebih aktif dan strategis.

Peran Tahap Perkembangan dan Sistem Bahasa

Tidak hanya perbedaan dalam mekanisme kognitif, hubungan antara membaca dan menulis juga dipengaruhi oleh tahap perkembangan individu. Pada anak-anak usia dini, hubungan antara membaca dan mengeja sangat kuat. Mereka yang belajar membaca dengan baik cenderung lebih mudah menguasai keterampilan mengeja karena kedua proses ini masih sangat bergantung pada kesadaran fonologis dan ortografi dasar. Namun, seiring bertambahnya usia, hubungan ini bisa melemah karena keterampilan membaca mulai beralih ke tingkat yang lebih tinggi seperti pemahaman teks yang kompleks, sementara keterampilan menulis menuntut kemampuan berpikir kritis dan ekspresi gagasan yang lebih matang.

Selain faktor perkembangan, sistem bahasa yang digunakan juga memengaruhi seberapa erat hubungan membaca dan menulis. Dalam bahasa yang menggunakan sistem alfabetis seperti bahasa Indonesia dan Inggris, hubungan antara membaca dan menulis cenderung lebih kuat karena adanya keterkaitan yang jelas antara bunyi dan simbol huruf. Namun, dalam bahasa seperti Mandarin yang berbasis karakter, hubungan ini lebih kompleks karena mengenali karakter tidak selalu berarti seseorang dapat dengan mudah menuliskannya kembali. Ini menunjukkan bahwa pendekatan pengajaran literasi tidak bisa diterapkan secara seragam, tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik bahasa yang digunakan.

Mitos dalam Sistem Pendidikan, Membaca sebagai Solusi Segala Hal?

Salah satu kesalahan mendasar dalam sistem pendidikan kita adalah asumsi bahwa dengan meningkatkan keterampilan membaca, maka keterampilan menulis akan ikut meningkat secara otomatis. Akibatnya, banyak kurikulum yang lebih menekankan pada pemahaman bacaan, tetapi kurang memberikan perhatian pada latihan menulis yang terstruktur dan sistematis.

Sebagai contoh, dalam banyak sistem pendidikan, siswa sering diberikan tugas membaca berbagai jenis teks dan diminta menjawab pertanyaan berdasarkan isi bacaan tersebut. Namun, jarang sekali mereka diberikan kesempatan untuk benar-benar menulis teks yang kompleks secara rutin. Akibatnya, mereka mungkin memiliki pemahaman yang baik terhadap bacaan, tetapi ketika harus menuangkan gagasan mereka dalam bentuk tulisan, mereka mengalami kebuntuan.

Hal ini diperparah dengan kebiasaan menilai keterampilan menulis hanya dari aspek tata bahasa dan ejaan, sementara aspek berpikir kritis, pengorganisasian ide, dan penyampaian gagasan yang sistematis sering kali diabaikan. Jika sistem pendidikan kita tidak segera memperbaiki pendekatan ini, maka kita akan terus menghasilkan generasi yang pandai membaca, tetapi tidak mampu menulis secara efektif.

Ketimpangan Literasi dan Tantangan di Era Digital

Salah satu kesalahan terbesar dalam pendekatan literasi saat ini adalah kurangnya keseimbangan dalam pengajaran membaca dan menulis. Banyak sekolah lebih fokus pada meningkatkan kemampuan membaca, tetapi kurang memberikan perhatian pada pelatihan menulis yang berkualitas. Padahal, dalam dunia akademik dan profesional, kemampuan menulis yang baik sering kali menjadi indikator utama dalam menilai kualitas berpikir seseorang.

Implikasi lebih luas dari masalah ini tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan. Dalam era digital saat ini, di mana informasi membanjiri setiap aspek kehidupan, keterampilan membaca kritis dan menulis argumentatif menjadi semakin penting. Tanpa kemampuan membaca yang mendalam dan menulis yang persuasif, seseorang bisa menjadi korban hoaks atau tidak mampu mengartikulasikan pemikirannya secara efektif dalam berbagai diskusi publik.

Merekonstruksi Paradigma Literasi

Membaca dan menulis bukanlah dua keterampilan yang berkembang secara otomatis bersamaan, tetapi dua proses yang saling mempengaruhi dengan cara yang kompleks. Mengasumsikan bahwa seseorang yang mahir membaca pasti bisa menulis dengan baik adalah kesalahan besar yang masih banyak terjadi dalam dunia pendidikan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengadopsi pendekatan yang lebih seimbang dalam pembelajaran literasi. Pendidikan harus memberikan ruang yang lebih besar bagi pengembangan keterampilan menulis, tidak hanya sebatas memperbaiki tata bahasa, tetapi juga dalam hal membangun argumen yang kuat dan berpikir kritis.

Jika kita ingin menciptakan generasi yang tidak hanya mampu memahami dunia melalui membaca tetapi juga mampu mengubah dunia melalui tulisan, maka kita harus berhenti melihat membaca dan menulis sebagai keterampilan yang tumbuh secara otomatis. Sebaliknya, kita harus mulai memperlakukan keduanya sebagai dua proses yang saling melengkapi tetapi membutuhkan strategi pembelajaran yang berbeda dan lebih mendalam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image