Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Minhajuddin

Menakar Posisi ChatGPT Dalam Dunia Akademisi

Teknologi | Sunday, 06 Aug 2023, 10:37 WIB
Halaman depan ChatGPT. sumber: chatgptfree.pro

Suatu sore menjelang pulang, salah seorang mahasiswa yang lulus program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM), berkonsultasi dengan saya terkait program kampus mengajar yang akan dia ikuti. Setelah membahas teknis dan apa saja yang harus dipersiapkan, kami kemudian diskusi lepas mengenai artificial intelligence (AI).

Saya iseng bertanya kepadanya bahwa apakah dia sudah mengetahui ada teknologi AI bernama chatGPT. Dengan mimik muka yang agak ragu, dia bercerita bahwa sudah menggunakan chatGPT sejak awal tahun 2023 dalam mengerjakan tugas kuliah, informasinya diperoleh dari salah seorang temannya yang kuliah di jurusan teknologi.

Dia menampakkan muka agak ragu menjawab pertanyaan saya karena kemungkinan dia khawatir respon saya berlebihan ketika mengetahui bahwa dia menggunakan chatGPT sebagai salah satu sumber untuk mengerjakan tugas, sementara beberapa tugas yang saya berikan kepada mereka adalah tugas untuk membuat esai terkait topik tertentu. Tugas-tugas tersebut akan sangat mudah dikerjakan dengan menggunakan chatGPT, hanya dengan menginput beberapa kata kunci yang relevan.

Saya menanggapi dengan santai dan memberikan sekilas pandangan bahwa perkembangan teknologi termasuk AI merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari namun juga kita seharusnya punya standar tersendiri, sejauh mana kita menggunakan AI dalam kehidupan kita khususnya chatGPT dalam dunia akademik. Standar ini ditetapkan untuk menghindari pelanggaran dan bidang pendidikan khususnya karya ilmiah. Plagiasi merupakan salah satu dosa besar dalam membuat karya ilmiah dan menyalin karya chatGPT yang diklaim sebagai karya pribadi termasuk dalam plagiasi.

Selanjutnya, saya menegaskan kepadanya bahwa fenomena populernya chatGPT merupakan hal yang lumrah karena manusia selalu berusaha mengembangkan inovasi khususnya di bidang teknologi. Namun dalam hal mengerjakan riset atau tugas kuliah, chatGPT seharusnya hanya diposisikan sebagai sekadar alat untuk mencari referensi, bukan sumber utama di mana semua yang dihasilkan dari chatGPT disalin dan dijadikan tugas.

ChatGPT menjadi instrumen yang diminati dalam dunia akademisi karena menawarkan hasil yang instan serta praktis dalam hal menjawab apa saja yang akan kita tanyakan, bahkan dengan narasi dan struktur kalimat yang baku. Hal inilah yang kemudian menjadi diskusi panjang di dunia akademisi terkait kekhawatiran chatGPT yang akan menghilangkan orisinalitas insan akademisi dalam melakukan riset termasuk tugas yang diberikan oleh dosen.

Batasannya bahwa AI hanya merupakan instrumen untuk mempermudah dalam mengerjakan riset termasuk derivasinya tetapi bukan alat yang kemudian menjadi dominan karena insan akademisi punya value tersendiri yang tidak bisa digantikan oleh perkembangan teknologi termasuk AI.

Semua produk hasil karya manusia termasuk AI, pasti akan memiliki dua sisi yang berlawanan. Untuk menyikapi hal ini, maka manusia yang berperan penting untuk menentukan sisi mana yang akan mempengaruhi hidup mereka.

AI pun mempunyai dua sisi mata uang. Jika pengguna tidak mampu melakukan kontrol terhadap apa yang disajikan oleh AI maka manusia menjadi objek dari perkembangan AI tersebut, tetapi jika mereka mampu menggunakan sesuai dengan porsinya maka AI menjadi instrumen yang akan mempermudah dan mendukung pekerjaan para akademisi.

Hakikat chatGPT

Chat Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT) itu sendiri adalah salah satu varian dari teknologi AI dalam hal Natural Language Processing (NLP). ChatGPT dikembangkan oleh OpenAI yang mampu merespon setiap pertanyaan dalam bentuk teks sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.

Beberapa tahun silam, kita antusias menunggu inovasi dari AI dalam bidang teknologi seperti mobil tanpa sopir. Sebelumnya kita belum pernah membayangkan bahwa AI dalam bidang ilmu pengetahuan akan berkembang seperti sekarang. Namun kenyataannya, ketika mobil tanpa sopir belum berkembang karena masih banyak celah yang belum tertangani, chatGPT muncul menggemparkan dunia akademisi karena mampu menghasilkan karya ilmiah yang sistematis dengan struktur kalimat yang tertata.

Tidak hanya itu, AI juga mampu menghasilkan karya seni yang jika dikerjakan oleh manusia, membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi AI bisa memproduksi dalam waktu yang sangat singkat. Kita hanya butuh memasukkan kata kunci yang diinginkan dan AI akan memberikan berbagai alternatif hasil yang memuaskan.

Perkembangan yang kita saksikan sekarang menjadi kekhawatiran banyak pihak terkait kemungkinan AI akan menghilangkan peran manusia dalam menghasilkan karya dalam bidang apapun. Dengan demikian, butuh diskusi panjang untuk memposisikan AI sesuai porsinya tanpa mengurangi peran manusia.

Tidak ada perbedaan antara AI dengan teknologi yang sudah berkembang sebelumnya. Meskipun mampu menghasilkan karya dalam bidang ilmu pengetahuan yang persis sama dengan karya manusia, tetapi AI tetap hanya sebagai produk teknologi dan memiliki bias yang tidak bisa dimitigasi sendiri oleh dirinya termasuk beberapa hal-hal subjektif dalam penelitian sosial. Pada bias inilah, peran manusia berfungsi untuk memberikan nilai tambah.

Selain ini, chatGPT juga belum konsisten memberikan jawaban atas apa yang diinginkan. Ketika menanyakan pertanyaan yang sama di waktu yang berbeda, maka seringkali jawaban dari chatGPT berbeda bukan hanya persoalan struktur kalimat tetapi juga berbeda dalam hal ide dasar yang ditawarkan. Bias seperti ini yang harus diverifikasi lebih lanjut oleh manusia jika menggunakan chatGPT dalam melakukan penelitian.

Manusia sampai kapan pun tidak bisa digantikan oleh teknologi termasuk AI dalam hal rasa. Ada nuansa yang kontekstual setiap kali manusia menghasilkan karya termasuk dalam ilmu pengetahuan. Contoh konkritnya ketika melakukan penelitian sosial, bisa saja hasil karya yang dihasilkan oleh chatGPT persis sama dengan hasil yang ditulis oleh peneliti, tetapi ada nuansa yang akan membedakannya karena ketika menulis, peneliti menyertakan beberapa hal yang dialami ketika melakukan penelitian langsung.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, sebelum menggunakan AI lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari, manusia harus mengetahui batasan-batasan AI itu sendiri dan menarik garis terhadap terhadap batasan yang sudah ditetapkan.

Terlepas dari bias yang dihasilkan, akademisi harus mengikuti perkembangan Mengikuti AI karena semakin denial terhadap lahirnya sebuah teknologi bernama AI maka para akademisi tidak akan mampu memposisikan AI sebagai bagian dari instrumen dalam dunia pendidikan.

Mengikuti perkembangan AI bukan berarti merasa FOMO tetapi sebuah usaha maksimal untuk mengembangkan hasil riset yang lebih ideal dan memiliki kebaruan yang bermanfaat terhadap masyarakat. Namun sekali lagi, harus juga dipahami bahwa AI punya batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilewati oleh peneliti.

Kuasa Akademisi

Suatu waktu, saya mengikuti salah satu kegiatan seminar tentang pelatihan jurnal melalui media zoom. Pada saat sesi tanya jawab, saya menanyakan kepada narasumber tentang fenomena chatGPT dalam dunia akademisi bahwa apakah benar chatGPT akan menjadi tantangan terberat bagi para peneliti untuk memaksimalkan kemampuan olah pikirnya karena tidak perlu untuk berpikir kritis, tinggal ketika di chatGPT maka semua jawaban akan keluar.

Narasumber tersebut memberikan gambaran yang sangat rasional dengan perbandingan empiris. Dia bercerita secara detail bahwa pada saat munculnya kalkulator, banyak pihak yang kemudian mengkhawatirkan tentang eksistensi akademisi di bidang matematika khususnya para guru dan dosen matematika.

Pada perkembangan selanjutnya seperti yang kita saksikan sekarang, kalkulator tidak lebih hanya sekadar alat untuk memudahkan manusia dalam bidang matematika tetapi tidak benar-benar mengeliminasi keberadaan para akademisi di bidang tersebut. Pada konteks ini, kita bisa memproyeksikan bahwa kehadiran chatGPT hanya sebagai alat yang memudahkan peneliti. Jika ada kekhawatiran yang dirasakan sebagian pihak, maka hal tersebut lumrah dalam proses transformasi hal-hal yang baru.

ChatGPT memberikan kemudahan informasi seperti media lain di era digital. Di zaman sekarang ketika luapan informasi sulit dibendung, memiliki begitu banyak informasi bukan lagi sebuah kemewahan yang menaikkan status sosial seseorang karena semua orang bisa mengakses informasi yang sama.

Saat ini, untuk menjadi insan akademisi yang mempunyai kompetensi yang tinggi, tidak lagi dengan memiliki banyak informasi pengetahuan. Menjadi akademisi yang kompeten harus mampu mengolah begitu banyak informasi yang ada untuk menghasilkan sebuah kesimpulan yang tidak bias. Kemampuan analisis ini yang menjadi sangat langka saat ini ketika semua orang kebingungan memetakan informasi yang diterima.

Beberapa informasi yang saya tulis di sini pun berasal dari chatGPT tetapi mekanismenya tidak dengan copy paste tetapi ada mekanisme yang lebih bijak dalam menggunakan chatGPT. Dalam hal ini, saya sendiri menjadikan chatGPT sebagai instrumen awal untuk mencari informasi, selanjutnya semua informasi yang berasal dari chatGPT akan saya validasi lagi melalui buku-buku atau pun jurnal ilmiah.

Pada akhirnya, semua hal akan berjalan ideal sesuai porsinya jika ada batasannya. Demikian pula perkembangan AI bahwa untuk membawa manusia ke peradaban yang lebih baik maka AI juga harus ada batasnya. AI tidak boleh melampaui beberapa batasan-batasan yang merupakan wilayah manusia.

Pada titik inilah yang saya maksud dengan kuasa akademisi. Mereka memiliki wilayah tersendiri yang tidak boleh dimasuki oleh AI karena jika itu terjadi, maka bias yang terjadi akan semakin lebar khususnya dalam ilmu pengetahuan.

Saya menyukai kutipan mas Sabrang tentang relasi antara manusia dan teknologi:

Teknologi seharusnya menghamba pada manusia, bukan manusia yang menghamba pada teknologi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image