Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Kembalilah pada Sosio-Demokrasi

Politik | 2023-07-26 03:39:44

Lagi-lagi kita dipertontonkan pada aksi represi yang dilakukan oleh Aparat Keamanan. Mereka membungkam suara perlawanan rakyat di Dusun Pematang Bedoro, Desa Teluk Raya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, karena rakyat Marhaen disana berusaha mempertahankan tanah mereka dari Perusahaan Sawit yang menyerobot lahan mereka sejak tahun 1998.

Bukan Demokrasi Yang Ada Malah Fasisme. Digaji Rakyat Tapi Jadi Budak Korporat!

Inikah yang dalam zaman sekarang disebut demokrasi? Sebuah demokrasi yang hanya diukur dari seberapa rutin pemilu atau Pilkada dilaksanakan 5 tahun sekali dan bagaimana prosedurnya dijalankan. Tetapi soal-soal yang lebih mendasar, seperti kesejahteraan rakyat banyak, hampir tidak terbahaskan dalam perdebatan demokrasi sekarang.

Demokrasi sekarang diwarnai perdebatan yang begitu riuh. Tetapi perdebatan-perdebatan itu sangat jauh dari kebutuhan rakyat. Apa yang terjadi di luar gedung parlemen dan istana, seperti rakyat yang kehilangan pekerjaan, menganggur, kesulitan mendapatkan pendidikan, dan lain-lain, tidak pernah masuk agenda perdebatan anggota parlemen atau kabinet yang terhormat. Mereka lebih sibuk dengan urusan infrastruktur dan investasi yang tidak perlu malah tidak urgent bagi Rakyat Banyak.

Demokrasi sekarang sangat unik: ketika mayoritas rakyat menginginkan A, maka mayoritas anggota parlemen justru memutuskan B. Ketika menjelang pemilu atau pilkada, para politisi itu berlomba-lomba merebut hati rakyat dengan berbagai cara: bagi-bagi sembako, perbaiki jalan, masuk ke kampung-kampung kumuh, dan lain-lain. Tapi, begitu mereka terpilih, mereka akan segera lupa dengan bau keringat rakyat.

Padahal, lebih dari 80 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita sudah menolak bentuk demokrasi yang macam begini. Demokrasi parlementer yang bercampur dengan Sistem Neoliberalisme ini, yang diimpor atau dipaksakan dari negeri barat sana, hanya menjamin kesetaraan rakyat di kotak suara saja, tetapi tidak demikian di lapangan kehidupan yang lebih luas: ekonomi, sosial, dan politik yang lebih luas.

Demokrasi semacam ini hanya menjadikan rakyat jelata—meminjam istilah Bung Karno—‘sebagai perkakasnya kelas berkuasa saja’: rakyat hanya diperlukan suaranya dalam pemilu, tetapi jeritannya—sekalipun disuarakan dengan keras—tidak akan didengar oleh para penguasa itu.

Bung Hatta dalam tulisan “Ke Arah Indonesia Merdeka” dengan tegas mengatakan, demokrasi barat yang dilahirkan oleh revolusi Perancis tidak membawa kemerdekaan bagi rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Jangan heran, di jaman demokrasi sekarang ini, anggota parlemen lebih tunduk kepada kekuasaan pemilik modal.

Karena itu, para pendiri bangsa kita mengajukan konsep demokrasi sendiri. Dalam pikiran Bung Karno, misalnya, demokrasi dianggap sebagai alat untuk mencapai cita-cita bersama. Dengan demikian, alat yang bernama demokrasi ini harus sanggup berdiri di tengah-tengah kepentingan rakyat banyak. Konsep tersebut, dengan digagas diatas jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, bertujuan untuk menciptakan kesetaraan bagi rakyat Marhaen di segala lapangan kehidupan: masyarakat sama rata, sama rasa atau sama ratap sama tangis.

Salah satunya adalah konsep Bung Karno tentang sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang memihak, yaitu pada massa rakyat. Sosio-demokrasi bercita-cita menghapuskan sistem yang menciptakan kepincangan dalam masyarakat: imperialisme dan kapitalisme. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat .. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi”. (Sukarno, 1932)

Sayang sekali, 78 tahun Indonesia Merdeka, konsep sosio-demokrasi itu masih belum bisa dijalankan. Pasalnya, sebagian besar elit politik yang memegang tampuk kekuasaan lebih tergiur dengan model demokrasi barat. Maklum, dengan konsep demokrasi barat itu, yang secara terang membuka jalan bagi berkuasanya kapitalisme, sangat sejalan dengan kepentingan klas mereka (kelas pemilik modal dan elit politik komprador).

Model demokrasi borjuis itu harus kita buang ke tong sampah. Selanjutnya, jika kita ingin berjuang untuk cita-cita nasional kita SOSIALISME INDONESIA-SOSIALISME PANCASILA, yakni masyarakat adil dan makmur, maka sudah saatnya kembali pada demokrasi temuan pendiri bangsa: Sosio-Demokrasi!

HIDUPLAH SOSIO-DEMOKRASI!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image