Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Politik Pencitraan, Politik Tanpa Isi (Politik Persemuan)

Politik | Tuesday, 25 Jul 2023, 01:19 WIB

Ada candaan anak muda yang mengatakan, “jangan hanya melihat casing luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam isinya.” candaan ini sangat tepat untuk menyindir gaya berpolitik presiden dan elit elit politik lainnya kita sekarang ini, yang notabene adalah seorang sipil. Di kalangan anak muda yang gaul, ada segudang istilah untuk menyebut gaya politik “tampilan luar” semacam ini, diantaranya, alay atau “lebay”, “narsis”, dan lain sebagainya.

Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, pandai juga menyanggah bahkan menantang mereka yang mengkritik sedikit saja dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun “tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli.

Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan Perdana Menteri yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Sebelum memasuki pertarungan pemilu parlemen, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.

Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979.

Demikian pula dengan Jokowi, yang sejak mengawali periode pertama kekuasannya di tahun 2014, dia sudah mengandalkan politik pencitraan sebagai strategi politik utama dalam memelihara kekuasaannya. Pada masa awal pemerintahaannya, dia berusaha membangun dan menemukan pola komunikasi politik diluar keumuman, terutama dengan menggunaka media (cetak, elektronik, dan online. Sering menggunakan Pakaian Adat tapi malah menggusur tanah adat. Blusukan hanya sekedar blusukan.

Dia seolah-olah membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakannya diserang oposisi (bukan 212), dia segera menggunakan alat alat disekitarnya untuk mematahkan argumen orang orang yang mengkritiknya, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi (bukan 212) akan “maksud baik” kebijakannya.

Ada beberapa konsekuensi dari penerapan politik pencitraan ini: pertama, kita selalu menemukan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, dan ketimpangan antara janji-janji dan pelaksanaannya. Kedua, ada proses manipulasi data, khususnya statistik, yang sangat menonjol dan sistematis, seperti data soal angka kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Ketiga, presiden seringkali terlihat lambat dalam merespon “situasi genting”, begitu banyak pertimbangan (soal image), dan tidak pemberani dalam mengambil-alih persoalan berat. Keempat, suka menyuap “mulut kaum yang lapar” dengan program belas kasihan yang sangat terbatas, tentative, dan tidak kontinyu, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), BPJS, Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS), Pembagian Sertifikat Tanah Gratis.

Pada kenyataan, apa yang disampaikan oleh presiden terkadang bertentangan dengan kenyataan. Sebagai misal, dia menjanjikan pemberantasan korupsi tanpa memberi ampun, tetapi pemberian remisi terhadap koruptor berjalan terus (sama seperti rezim sebelumnya; dia menjanjikan kebijakan yang pro-poor, pro-job, dan pro-growth, tetapi kenyataannya dia menjalankan kebijakan neoliberal yang menyebabkan kemiskinan, pengangguran bertambah, kesenjangan ekonomi melebar, dan sebagainya.

Bukan berarti bahwa politik pencitraan tidak punya keterbatasan. Ibarat gelembung sabun yang mudah pecah, politik pencitraan juga sangat mudah untuk hancur. Di samping itu, rakyat marhaen juga agak kecewa dengan sejumlah sikap Jokowi dalam merespon beberapa isu, seperti Revisi UU KPK, Pemberlakuan Omnibus Law, dan Kenaikan Harga BBM tahun lalu.

Pendek kata, karena politik pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka dengan mudah pun ia akan tersingkap. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari rakyat pun bisa menyingkapnya.

Akan pada saatnya Politik Pencitraan akan rontok sebelum Pemilu 2024 terselenggara atau setidaknya sebelum Pilkada 2024 dilaksanakan tahun depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image