Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Dakwah dan Kekuasaan, Inilah 3 Sikap Netralitas Aktif ala Muhammadiyah di Tahun Politik

Politik | Monday, 24 Jul 2023, 11:19 WIB
Ketua PWM Jateng Dr. Tafsir (tengah) bersama Ketua dan anggota Pleno PDM Kota Pekalongan, DR. Hasan Bisyri (kanan) dan Dr. Ibnu Soleh (kiri) saat pengukuhan PDM dan PDA Kota Pekalongan, 16 Juli 2023.

Sebagai gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, Muhammadiyah memandang kekuasaan sebagai penopang dakwah yang penting. Sebab tanpa kekuasaan, perjuangan dakwah akan menjadi berat dan sulit. Karena itulah, Muhammadiyah selalu mengajak warganya untuk tidak apatis dengan politik. Salah satu perwujudannya, terutama menghadapi tahun politik seperti saat ini, adalah melalui sikap netralitas aktif ala Muhammadiyah.

Sikap netralitas aktif ala Muhammadiyah ini juga bukan tanpa landasan. Seperti disinggungb di muka, Muhammadiyah bahkan memandang nyaris mustahil menjalankan aktivitas dakwah tanpa ditopang kekuasaan. Pesan ini juga sempat disinggung Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Dr. H. Tafsir, M.Ag., saat kesempatan mengukuhkan kepengurusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Pekalongan periode Muktamar 48 atau masa bakti 2022-2027 di SMP Muhammadiyah Kota Pekalongan, Minggu (16/7/2023) lalu.

"Doa Nabi Saw sebelum memutuskan hijrah ke Yatsrib itu menunjukkan bagaimana dakwah tanpa sulthon itu tidak mungkin. Dakwah tetap butuh kekuasaan," kata Tafsir.

Namun tentu saja bukan asal kekuasaan. Karena sesuai kaidah Islam dan kepentingan dakwah dimaksud, yang dibutuhkan adalah kekuasaan yang menolong. "Maka yang mau dan mampu nyaleg, jadilah caleg yang menolong, silahkan jadilah bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden, tetapi jadikan kekuasaannya untuk menolong. Menolong dakwah, menolong kemanusiaan," pesan Tafsir untuk warga Muhammadiyah.

Karena bagaimanapun, politik dan kekuasaan sulitlah dilepaskan dari semua aspek kehidupan, termasuk dakwah. Bahkan misi kenabian sendiri semuanya tidak bisa mengelak dari aspek kekuasaan ini.

"Kepemimpinan itu bagian dari penggantian tugas kenabian. Tugas nabi/rasul itu yang wajib cuma satu, yakni tablighul risalah, menyampaikan risalah Islam. Tetapi ada tugas yang tak disengaja, yakni tugas sebagai pemimpin negara. Ini tidak wajib tapi automaticallu," terang Tafsir yang juga akademisi UIN Walisongo Semarang.

Salah satu contoh paling monumental dari pentingnya kekuasaan dalam dakwah adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw beserta sahabat dari Mekah ke Yatsrib. Karena sebagai sebuah keputusan dakwah, hijrah sendiri adalah sebuah peristiwa politik. Ia tidak serta merta muncul, ada proses politik yang mendahului.

Pun bukan hanya karena dakwah Islam ditolak oleh tatanan di Mekah saja, melainkan juga ada proses politik yang dilakukan para kabilah Yatsrib saat itu.

"Sebagai sebuah peradaban, Yatsrib saat itu lebih maju dari Mekah, tapi mereka kosong kepemimpinan. Karena dua suku utamanya, yakni Aus dan Khazraj terus terlibat dalam konflik berkepanjangan. Karena itu yang mereka butuhkan adalah pemimpin yang punya integritas, al-amin, dan itu mereka temuakan ada pada sosok Rasulullah," jelas Tafsir.

Maka dua suku ini pun sepakat membentuk tim lobi untuk membujuk Nabi Saw agar berpindah saja ke Yatsrib. "Dan bukti lain bahwa hijrah ini peristiwa politik, karena proses hijrah ini sekali lagi tidak ujug-ujug. Butuh proses dua tahun sebelum Nabi memutuskan hijrah ke Yatsrib," sambungnya.

Bahkan, dari proses dua tahun itu, ada dua perjanjian politik pra hijrah yang ditandatangani Nabi dengan delegasi Yatsrib tersebut, yakni perjanjian Aqabah 1 dan Aqabah 2. Perjanjian politik ini pada intinya sebagai pernyataan baiat Nabi Saw untuk menjadi pemimpin Yatsrib dengan konsekuensi mereka mau masuk Islam dan loyak mendukung perjuangan dakwah Nabi. Dan peristiwa hijrah inilah yang menjadi tonggak dari perkembangan risalah dakwah Islam hingga Islam sempat mewarnai peradaban dua pertiga belahan bumi. Tak heran, para sahabat memutuskan peristiwa hijrah sebagai pangkal dimulainya sistem tahun hijriah yang masih berlakun sampai saat ini.

Dari sejarah tersebut bisa dipahami bagaimana dakwah tidak bisa mengesampingkan aspek kepemimpinan dan kekuasaan. Karena itu, Tafsir pun meminta warga Muhammadiyah tidak apatis terhadap politik, justru didorong mengedepankan sikap netralitas aktif ala Muhammadiyah.

Aktualisasi Netralitas Aktif ala Muhammadiyah

Konsep netralitas aktif ala Muhammadiyah pada dasarnya sebagai perwujudan karakter Muhammadiyah dalam menyikapi politik, termasuk tahun politik menuju Pemilu Serentak 2024. Secara sederhana konsep tersebut bisa diaktualisasikan Pimpinan dan warga Muhammadiyah dalam tiga hal.

1. Netralitas Kelembagaan Muhammadiyah

Netralitas aktif ala Muhammadiyah yang pertama berkaitan dengan kelembagaan Muhammadiyah sebagai sebuah ormas Islam. Bahwa sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah secara kelembagaan haruslah netral dari politik praktis.

"Secara kelembagaan netral, tapi kita mendorong setiap warga Muhammadiyah untuk terlibat aktif, baik aktif memilih maupun dipilih. Tidak boleh apatis," tandasnya.

Inilah yang sering disebut sebagai high politic dalam Muhammadiyah. Bahwa sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah tidak terlibat dalam aksi dukung mendukung yang praktis dan partisan. Muhammadiyah akan menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik. Namun dalam praktik kenegaraan yang ada, Muhammadiyah juga akan tetap berkontribusi dalam mewarnai nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.

2. Partisipasi Aktif Warga Muhammadiyah

Dalam kaitan dengan pesta demokrasi politik lima tahunan, Muhammadiyah memandang Pemilu sebagai sebuah prosedur demokrasi yang telah disepakati bersama semua elemen bangsa. Karena itu, warga Muhammadiyah bukan hanya tidak boleh bersikap golput, tetapi juga tak boleh pasif dan apatis. Ini netralitas aktif ala Muhammadiyah bagi warga persyarikatan.

Bagi kader Muhammadiyah yang memiliki peluang dan kapasitas maju dalam pencalonan legislatif misalnya, Tafsir pun mempersilahkan untuk nyaleg. Sementara bagi warga Muhammadiyah yang sebatas memilih, maka ia berpesan untuk menggunakan hak pilihnya secara aktif dan bertanggung jawab.

"Ya karena kekuasaan itu memang penting, tentunya kekuasaan yang menolong. Maka jangan sampai suara yang ada tidak termanfaatkan. Maka inilah yang kita bangun, netralitas aktif ala Muhammadiyah, bukan netralitas pasif," tandas Tafsir.

3. Perbedaan Strategi Harus Saling Menghormati

Dalam kerangka netralitas aktif ala Muhammadiyah ini, penting juga bagi setiap warga Persyarikatan untuk terbiasa berlapang dada dengan potensi perbedaan pilihan politik. Bahwa meskipun niat dan tujuannya sama-sama baik, strategi mencapainya bisa saja tak sama.

Tafsir pun mencontohkan peristiwa hijrah yang amat menegangkan itu. Meski Nabi dan semua sahabat bersepakat soal soal tujuan, yakni berhijrah dari Mekah ke Yatsrib, namun masih dijumpai perbedaan dalam strategi berhijrah.

Nabi dan Abu Bakar serta banyak sahabat lain misalnya memilih menggunakan strategi sembunyi-sembunyi untuk bisa mencapai tujuan: Yatsrib. Tetapi salah satu sahabat utama Nabi lainnya, yakni Umar bin Khatab yang memang dikenal sebagai petarung yang disegani, memilih strategi hijrah terbuka. Sehingga masyhurlah kisah Umar yang malah menantang kaum Quraisy yang ingin menghalanginya hijrah untuk berduel sampai mati.

Satu tujuan tapi beda pendekatan. Dan Nabi Saw tetap menghormati pilihan strategi Umar. Begitu pula Umar yang menghormati strategi Nabi. Sikap inilah yang dibutuhkan warga Muhammadiyah dalam menghadapi tahun politik yang membuka kemungkinan adanya perbedaan strategi dari tokoh dan kader Muhammadiyah, sehingga prinsipnya harus saling menghormati.

Itulah gambaran sederhana dari perwujudan netralitas aktif ala Muhammadiyah, utamanya dalam menyikapi tahun politik saat ini sampai dengan Pileg, Pilpres dan disusul Pilkada Serentak serta pascanya. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image