Work From Home: Kemudahan yang Menyulitkan
Gaya Hidup | 2021-12-28 18:20:04Minggu sore. Akhir pekan seharusnya jadi kasur empuk setelah melalui hal-hal yang melelahkan di tempat kerja. Ayah terlepas dari beban habis dimarahi bos, ibu yang juga bekerja tak usah pusing memutar otak bagaimana proyek ini berjalan, sedangkan anak-anaknya berhenti sejenak dari urusan organisasi work from home yang mengikat. Bukankah itu guna dari akhir pekan? Dua hari yang wajib diberikan pada semua orang agar tak hilang kewarasannya?
Namun, justru yang didapatkan keluarga kecil ini tak ada bedanya dengan hari biasa. Anak-anak mereka duduk berpaku ke layar, menunggu apa lagi yang ketua organisasinya mau. Ayah dan ibu juga begitu. Setelah ditelaah, alasannya ternyata tak ada waktu. Organisasi si anak tentu tidak ingin menganggu kuliah mahasiswa dan rapat si ayah ibu tak bisa dilakukan di hari lain karna tertabrak tenggat waktu. Apalagi kini jaman sudah canggih hingga manusia tidak harus pakai baju lengkap dan naik kendaraan demi pergi ke tempat rapat. Hanya buka laptop, duduk manis mendengarkan, selesai.
Tapi apa kemudahan-kemudahan ini yang justru menyulitkan kita? Keluarga jadi tak punya waktu untuk menjadi keluarga pada umumnya. Sore-sore mereka di akhir pekan dipakai untuk mengejar pekerjaan agar tak dipecat. Petinggi mereka menggeser jadwal-jadwalnya serampangan tanpa berpikir ada banyak hal lain yang harus dicapai di luar urusan duniawi. Menatap layar dari pagi sampai sore di hari Minggu, bagaimana dengan mereka yang harus beribadah? Entahlah, mungkin bagi mereka urusan dokumen ke dokumen yang lebih penting.
Work boundaries memang penting bagi kesehatan fisik maupun mental. Membuat batasan-batasan tentang pekerjaan, misalnya tidak bekerja di akhir pekan, berkomitmen untuk tidak membuka email saat ada waktu bersama keluarga memang menyenangkan. Akan tetapi, bahkan sebelum pandemi Covid-19 pun garis batas antara bekerja dengan kehidupan pribadi masih samar-samar. Menurut studi global, rata-rata waktu bekerja seseorang juga meningkat 30 menit setiap harinya di tahun 2020. Melansir dari BBC.com, survey yang diberikan kepada masyarakat Britania Inggris juga menunjukkan 30% pekerja sulit keluar dari pekerjaan mereka di masa pandemi.
Berkaca dari data-data tersebut, memang benar adanya. Semenjak pandemi, jadwal meeting virtual dibuat serampangan dengan alasan ‘bisa dilakukan di mana saja’. Padahal menurut Pasal 79 UU 13/2003, masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari satu hari setelah enam hari kerja atau tidak boleh kurang dari dua hari setelah lima hari kerja dalam satu minggu. Jadi walau disebut ‘rapat virtual’ sekalipun, tetap saja tidak boleh menganggu waktu hak-hak pekerja yang sudah ada sebelumnya.
Naasnya, hustle-culture seperti ini sudah terlanjur dinormalisasikan, terlebih di masa pandemi. Bekerja melebihi waktu yang ditentukan kerap ditemukan, salah satunya double meeting (pertemuan ganda) dengan dua perangkat elektronik. Menurut saya sama sekali tidak masuk akal meski hanya berbasis virtual sekalipun. Saya tidak akan pernah bisa membayangkan diri saya pergi ke dua rapat dalam waktu bersamaan, terlebih di hari minggu. Tetapi hal ini nyaris tak bisa dihindari, banyak pekerja yang ketakutan kehilangan pekerjaan. Seperti yang sudah diketahui, pandemi membuat PHK beredar di mana-mana, insecurity dengan kinerja mereka saat ini memaksa menelan mentah-mentah apa yang diberikan oleh atasan.
Hustle-culture sendiri membawa dampak buruk untuk para pekerja. Hal ini mungkin terkesan sepele, hanya menggeser satu atau dua rapat ke akhir pekan. Akan tetapi, dampak yang berkepanjanganan seperti kecemasan, burn out, hingga stres berat. Tidak hanya dari psikis, tetapi juga di ranah keluarga. Pekerja yang tidak punya waktu untuk keluarga berkemungkinan merenggangkan hubungan yang mulanya harmonis.
Ketika para pekerja tidak bisa melakukan apa-apa, berarti kini saatnya atasan-atasan di perusahaan maupun instansi yang mulai menyadari fenomena ini. Beberapa pekerjaan memang butuh waktu lebih, tetapi jika memiliki time management yang baik, maka seharusnya pekerjaan itu bisa dipadatkan semua di hari kerja. Pemerintah juga semestinya memperbarui aturan-aturan kerja yang sebelumnya belum terpikirkan, misalnya seperti rapat di hari libur walau berbasis virtual. Meskipun tidak perlu ke kantor, tapi isi pikiran dan semangat pekerja tetap harus tertuang seperti berada di sana. Alangkah baiknya pemerintah memiliki kebijakan yang mengatur hal tersebut.
Jangan sampai alih-alih pekerja Indonesia yang seharusnya menyokong pertumbuhan ekonomi bangsa jadi tak punya tenaga lagi karna jadwal kerja serampangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.