Terus Berulang, Mengapa Kasus Karhutla Tak Kunjung Padam?
Kabar | 2023-07-21 21:07:30Indonesia, negara dengan kekayaan alam yang melimpah, sedang menghadapi tantangan besar yang mengamuk di alamnya sendiri. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali terjadi di berbagai wilayah telah menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan warga, dan keselamatan penerbangan.
Pada wilayah Kalimantan Selatan, karhutla telah menghantam dengan jumlah total 2.168 titik api. Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan melaporkan luas total sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektare hingga Sabtu (24/6) kemarin (Kumparan, 25/06/23). Sementara di Kalimantan Timur, juga terdeteksi 20 titik panas (Republika, 23/06/23)
Selain di Kalimantan, karhutla juga melanda wilayah Riau. Kebakaran lahan terjadi di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, yang berlokasi di Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Diperkirakan bahwa sejak pertengahan bulan Juni, sekitar 10 hektar habitat gajah Sumatra telah terbakar.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Genman Hasibuan, mengungkapkan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara membakar untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Tim penyidik dari BBKSDA Riau dan polisi setempat telah memeriksa sekelompok warga yang diduga terlibat dalam pembakaran habitat gajah Sumatra tersebut (Medcom, 25/06/23)
Bencana karhutla di Indonesia setiap tahun terus berulang. Luas karhutla di Indonesia terpantau fluktuatif. Secara kumulatif sejak 2016 hingga 2021, 3,43 juta ha hutan dan lahan telah terbakar di Indonesia. Karhutla tahunan terburuk terjadi pada tahun 2019 yang membakar 1,6 juta ha hutan dan lahan di Tanah Air (Katadata, 11/01/22)
Berulangnya kasus Karhutla yang terjadi menunjukkan adanya rendahnya kesadaran masyarakat dan kegagalan dalam edukasi mereka mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Namun, kita juga perlu melihat sisi lain dari permasalahan ini. Perilaku masyarakat yang terlibat dalam praktik pembukaan lahan ilegal dan kebakaran mungkin merupakan hasil dari dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang tidak dijamin oleh negara.
Dorongan ekonomi mendorong tindakan warga dalam membakar hutan dan lahan untuk dijadikan perkebunan. Dalam situasi saat ini di mana perekonomian sulit, kesulitan mencari pekerjaan, dan banyaknya pemutusan hubungan kerja, masyarakat terdorong untuk mengambil langkah apapun demi mendapatkan mata pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Dalam upaya mereka untuk bertahan, masyarakat cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan sebagai konsekuensi dari tindakan mereka.
Ironisnya, pemerintah justru memberikan konsesi hutan kepada pengusaha untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit dipacu untuk memenuhi permintaan ekspor dan sebagai bahan baku untuk produksi biofuel, terutama biodiesel. Dampaknya, terjadi alih fungsi hutan yang sangat luas dan masif untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
Padahal, sangat jelas bahwa pemilik korporasi cenderung menghindari kerugian. Banyak perusahaan industri yang terlibat dalam perusakan lingkungan demi mengurangi biaya produksi mereka. Akibatnya, terjadi lonjakan bencana alam seperti Karhutla, banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Dalam bencana ini, seluruh penduduk di wilayah tersebut menjadi korban.
Kebijakan kapitalistik negara ini tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang Indonesia terapkan. Sistem ini menghalalkan segala cara, meski mengakibatkan kerusakan bumi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Pandangan Islam
Islam memberikan tuntunan yang jelas mengenai kewajiban manusia untuk menjaga keselamatan manusia dan alam. Allah SWT berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-A’raf: 56)
Dalam islam, menjaga kelestarian lingkungan merupakan kewajiban bagi semua pihak, baik individu, perusahaan dan negara. Islam mendorong umatnya untuk menjadi pelindung dan pemelihara lingkungan alam. Allah SWT telah menciptakan alam semesta ini sebagai karunia-Nya dan umat manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memeliharanya.
Islam juga menekankan perlunya keterlibatan negara dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Negara sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan kekuasaan memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat, baik individu maupun perusahaan, agar mereka dapat menjaga alam dengan baik. Caranya dengan melakukan langkah antisipatif melalui pemberian edukasi dalam kurikulum pendidikan.
Langkah antisipatif lainnya adalah dengan memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) pada setiap individu rakyat, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan serta menjamin kesejahteraan bagi pekerja. Dengan demikian, rakyat di sekitar hutan tidak ada dorongan ekonomi untuk merusak hutan.
Demikianlah islam sebagai agama rahmatan lil alamin sangat memperhatikan keselamatan alam dan manusia. Islam dengan seperangkat aturannya yang komprehensif pun mengatur bagaimana pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat tanpa membahayakan lingkungan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.