Gaya Hidup Seolah-Olah Kaya
Gaya Hidup | 2023-07-21 11:20:57Gaya Hidup Seolah-Olah Kaya
Di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat di daerah saya, diikuti dengan munculnya Kelas Menengah baru. Dengan kata lain, bertambahnya Orang Kaya Baru (OKB). Hal ini tampak pada kegiatan membangun rumah yang sangat bagus (kalau tidak ingin dikatakan mewah), kepemilikan kendaraan roda empat, membangun usaha, sering bepergian untuk wisata, dan sebagainya.
Hal tersebut diikuti pula oleh menjamurnya lembaga keuangan bank maupun nonbank. Bank-bank pemerintah maupun swasta yang tadinya hanya bisa dijumpai di kota-kota atau ibukota kabupaten, kini mulai membuka cabang (unit) di wilayah kecamatan. Termasuk juga merebaknya koperasi maupun BMT. Peningkatan lembaga keuangan ini salah satunya dipicu oleh meningkatnya permintaan akan sumber permodalan oleh para pengusaha baru.
Dampak Negatif Kemudahan Kredit
Dengan menjamurnya lembaga keuangan, otomatis membuat persaingan di antara mereka amatlah ketat. Berbagai macam promosi dan penawaran menarik lainnya terus digencarkan oleh para marketing. Mulai dari kemudahan prosedur dan administrasi, kecepatan cairnya kredit, bunga ringan, undian berhadiah, dan promo-promo menggoda lainnya.
Tim marketing baik secara langsung maupun tidak langsung mendidik masyarakat untuk gemar berhutang. Seseorang yang awalnya tidak berniat untuk mengutang, akhirnya bersedia mengajukan kredit. Termasuk yang pernah berhutang dan cicilannya lancar, ia ditawari pinjaman dengan nominal yang lebih besar.
Ya, kalau tujuan berhutang adalah untuk kegiatan produktif sih tidak masalah. Seperti untuk pengembangan usaha, merintis usaha, atau untuk investasi. Lha kalau hanya sekedar untuk keperluan yang bersifat konsumtif, tentu akan sangat berisiko.
Di awal tulisan ini saya menyebut ada Kelas Menengah Baru atau Orang Kaya Baru (OKB), dengan adanya kemudahan dalam kredit, maka muncul pula golongan “Seolah-olah Kaya”. Mereka menampakkan diri seperti orang kaya, padahal tidak kaya. Semua properti yang dimilikinya adalah hasil dari berhutang.
Uniknya, mereka tak segan-segan memamerkannya kepada orang lain. Dilihat dari gayanya, seakan-akan ia orang paling kaya di sini. Gayanya terkesan narsis dan berlebihan, melebihi gaya orang kaya sungguhan. Tidak cukup bergaya di dunia nyata, ia tak henti-hentinya membuat status di media sosial, ingin sekali mendapat validasi dari orang lain bahwa ia orang kaya.
Di balik kemegahan dan kemewahan yang dia tampilkan, sebenarnya ia menanggung beban yang tidak ringan, membayar cicilan setiap bulannya. Sekiranya ia memang memiliki kemampuan untuk membayar cicilan, tidak menjadi masalah. Akan menjadi masalah apabila ia tak mampu melunasi cicilan. Akibatnya bisa ditebak, ibarat pepatah “gali lubang tutup lubang”.
Puncak penderitaan dari kemewahan yang dipaksakan ini adalah penyitaan aset oleh pihak bank. Di sekitar tempat tinggal saya, tidak sedikit tanah dan atau rumah yang disita. Masih beruntung kalau dia masih punya tanah atau rumah di tempat lain. Kalau rumah itu adalah satu-satunya aset yang dia miliki, maka kiamat sudah hidup ini.
Budaya Materialisme
Seseorang menjadi bergaya hidup mewah bukan hanya disebabkan oleh bujuk-rayu para marketing lembaga keuangan, melainkan juga akibat kecenderungan global yang berorientasi pada materi. Dunia kapitalisme mendorong setiap manusia untuk memiliki perilaku konsumtif, hedonis, dan materialis.
Para kapitalis senantiasa menyihir manusia agar mengutamakan kehidupan dunia lebih dari segalanya. Bahkan jika perlu, untuk mendapatkan kekayaan dan kemakmuran, tak peduli lagi apakah itu dilakukan secara halal atau haram. Hidup di dunia dimaknai secara sempit hanya sekedar mengumpulkan uang, menumpuk kekayaan, dan mengagungkan materi.
Virus materialisme memang telah menyerang urat nadi setiap manusia di belahan bumi manapun. Kepemilikan materi dijadikan ukuran kesuksesan seseorang. Hatta, materi menjadi tujuan hidup itu sendiri. Oleh karena itu, setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi kaya, termasuk hanya “seolah-olah kaya" tadi.
*****
Hanya orang-orang yang memiliki keimanan yang kuatlah yang mampu menghindari dari sihir materialisme. Mereka sadar betul bahwa tujuan hidup manusia bukan sekedar di dunia saja, melainkan juga hari kiamat. Menurut keyakinan mereka, materi hanya sebatas sarana saja, tidak lebih.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.