Fatwa MUI yang Dirindukan Umat
Agama | 2023-07-20 22:40:52Oleh: Madnur, S.Pd.I, M.H. (Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Kader Ulama-Kaderisasi Seribu Ulama (MUI-BAZNAS RI)
Sejak berdirinya dari tahun 1975 hingga saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan banyak gagasan dan ide untuk mencari solusi dalam menjawab permasalahan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang menyangkut tentang panduan keagamaan di Indonesia.
MUI yang di dalamnya merupakan kumpulan dari para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai organinsasi masyarakat (ormas) Islam resmi di Indonesia, merupakan lembaga yang memberikan panduan ataupun fatwa kepada masyarakat, khususnya bagi masyarakat muslim di Indonesia. Fatwa-fatwanya selalu menjadi perhatian dan respon dari berbagai elemen masyarakat, baik yang berasal dari masyarakat secara perseorangan, kelompok ataupun lembaga masyarakat yang lainnya.
Tidak sedikit fatwa-fatwa MUI menjadi bahan minat kajian yang dijadikan berbagai macam penelitian berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, buku ataupun artikel ilmiah lainnya, baik dari peneliti (akademisi) asal Indonesia sendiri ataupun mancanegara. Salah satu contoh karya fenomenal yang meninliti fatwa-fatwa MUI adalah disertasi yang berjudul “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama': A study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988” yang ditulis oleh Prof Atho Mudzhar, MSPD. Hal ini menunjukkan fatwa-fatwa MUI selalu ditunggu-tunggu keberadaannya oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu sasaran objek kajian penelitian dari para akademisi dan praktisi yang ada di Indonesia ataupun negara yang lainya.
Walaupun sebuah fatwa, ketika belum menjadi peraturan perundang-undangan masih belum mengikat, tetapi fatwa-fatwa dari lembaga yang dianggap selalu menjadi patner pemerintah ini kerap dijadikan sebagai pedoman masyarakat dalam menjalankan aktivitas keagamaannya. Contoh fatwa yang yang banyak dijadikan pedoman bagi masyarakat muslim Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini adalah fatwa-fatwa tentang Covid-19, di mana MUI menetapkan beberapa fatwa tentang tata cara pelaksanaan kegiatan ibadah pada masa wabah (pandemi) Covid-19, di antaranya fatwa tentang tata cara pelaksanaan shalat berjama’ah, shalat jum’at, shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Sebenarnya bukan hanya fatwa yang berkiatan dengan peribadahan yang banyak dijadikan sebagai pedoman masyarakat, tetapi juga fatwa-fatwa yang berkaitan dengan hal lainnya, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, media sosial dan permasalahan sosial lainnya. Bahkan ada beberapa fatwa MUI yang sudah diadopsi menjadi aturan yang mengikat, seperti fatwa-fatwa yang menyangkut dengan ekonomi syiariah.
Walaupun demikian, tidak semua fatwa-fatwa yang telah ditetapkan oleh MUI dapat disambut dan diterima dengan baik begitu saja oleh masyarakat Indonesia. Seperti dalam sebuah tulisan Nurshril Saat yang berjudul “Theologians "Moralising" Indonesia? The Case of the Post-New Order Ulama Council of Indonesia” menyebutkan bahwa fatwa-fatwa MUI di masa reformasi (setelah orde baru) telah banyak mengalami perubahan dan dianggapnya mengandung kontroversial, terutama terkait dengan isu-isu minoritas. Tetapi terlepas dari itu semua, keberadaan MUI tetaplah menjadi bagian penting untuk memberikan masukan dan kontribusi terhadap kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Pada akhirnya, semoga diusianya yang sudah hampir setengah abad ini, MUI kedepannya bisa terus memberikan pencerahan dan kesejukan bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya, sehingga fatwa-fatwanya selalu dirindukan, diperhatikan dan direspon oleh berbagai kalangan masyarakat belahan dunia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.