Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Krisdianto

Sistem Kredit Menurut Zaid Bin Ali

Ekonomi Syariah | Monday, 17 Jul 2023, 19:46 WIB

Pembahasan tentang ekonomi islam selalu menjadi perbincangan hangat dalam berbagai diskusi. Maraknya perbincangan tentang ekonomi islam merupakan hal yang memang harus selalu terjadi terutama bagi negara yang memang mayoritas penduduk Muslimnya lebih banyak dibandingkan dari negara yang minoritas akan penduduk muslim. Akan tetapi, berbicara tentang ekonomi islam tidak terlepas dari sejarah dimana awal mula ekonomi islam tersebut dibangun. Dalam mengkaji ekonomi islam tidak terlepas dari sejarah pemikiran ekonomi islam terdahulu di mana para tokoh cendekiawan Muslim memberikan kontribusi dasar dalam peletakan ekonomi islam (Zikwan, 2019).

Pemikiran tentang ekonomi islam sudah dimulai ketika zaman rasulullah Saw kemudian dilanjut pada masa khulafaur Rasyidin. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan pemikiran ekonomi islam terus dikembangakan oleh tokoh-tokoh Muslim terdahulu sehingga memberikan sumbangsih yang signifikan untuk peradaban dunia modern. Salah satunya, Zaid bin Ali yang merupakan salah satu tokoh ilmu fiqih terkenal di madinah sekaligus putra dari Ali Zainal Abidin yang merupakan imam Syi’ah ke 4, dan cucu dari imam Husein yang juga merupakan seorang guru dari ulama terkemuka Abu hanfiah.

Dasar pemikiran ekonomi Zaid bin Ali ini menyatakan tentang bolehnya jual beli secara kredit atau penangguhan dengan harga yang lebih dari pada jual beli yang dilakukan secara tunai. Akan tetapi dewasa ini paradigma tentang jual beli secara kredit kerap disalahartikan. Banyak penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dalam transaksi jual beli secara kredit untuk meraup banyak keuntungan untuk dirinya sendiri sehingga terjerumus akan perbuatan tercela yaitu riba karena kurang memahami atau melupakan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Alquran maupun Hadist.

Pemikiran Ali bin Zaid Dalam Ekonomi Islam ( Penggagas Awal Sistem Kredit)

Zaid bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komiditi secara kredit denga harga yang lebih tinggi daripada harga jual secara tunai. Zaid bin Ali merupakan penggagas awal tentang penjualan komiditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga tunai.

Menurut Zaid bin Ali penjualan dengan harga lebih mahal menggunakan metode kredit dari pada harga tunai merupakan bentuk transaksi yang sah dan dibenarkan selama hal tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah Swt di dalam Surah An-Nisa’ ayat 29 yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh darimu. Sungguh Allah maha penyayang kepadamu." (QS An-Nisa’ 4:29).

Hal ini terjadi biasanya ketika seseorang membeli suatu barang yang metodenya menggunakan bentuk transaksi secara kredit atau pembayarannya ditangguhkan. Dalam kasus semacam ini tingginya harga yang ditentukan oleh penjualmerupakan bentuk kompensasi kepada penjual karena sudah memberikan kemudahan terhadap pembeli dalam melakukan pembayaran. Dalam konteks penjualan secara kredit, seorang pembeli akan mendapatkan aset produktif yang memberikan manfaat keuntungan, sementara mendapat keuntungan merupakan salah satu tujuan daripada perniagaan (Zikwan, 2019).

Karena itu, selisih antara harga tunai dari penjualan secara kredit merupakan nilai keuntungan bukan riba. Namun, beliau tidak memperbolehkan pengambilan sebuah keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran merupakan riba.

IMPLEMENTASI DAN PENYIMPANGAN YANG TERJADI ATAS PEMIKIRAN ZAID BIN ALI

Di zaman yang banyak menganut modernisasi saat ini, banyak kegiatan transaksi yang menggunakan metode kredit baik pada barang kebutuhan primer ataupun sekundar entah itu berupa transaksi untuk pembelian alat transportasi, alat memasak, pakaian, dan lain sebagainya. Contohnya terjadi pada proses transaksi jual beli tanah atau rumah dengan sanak saudara atau tetangga, di mana pada proses transaksi tersebut biasanya menerapkan metode kredit tanpa ada tambahan biaya lain ketika pihak pembeli terlambat membayarkan cicilan sesuai dengan perjanjiannya. Meski demikian, tak jarang pula banyak pihak yang menerapkan sistem kredit disertai dengan penambahan biaya ketika pelanggannya tidak membayar cicilan sesuai dengan waktu yang disepakati.

Hal tersebut dapat ditemukan pada banyak perusahaan salah satunya E-comerce tepatnya pada fitur pay latter. Apabila konsumen terlambat dalam membayarkan cicilan sesuai dengan tanggal yang ditentukan maka akan dikenakan denda tambahan dan pembatasan aktivitas pada akun tersebut. Hal ini tentunya menyimpang dengan pemikiran Zaid bin Ali tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pematokan harga yang lebih tinggi pada transaksi kredit dibandingkan transaksi secara tunai merupakan perolehan keuntungan yang diperbolehkan dengan catatan tidak ada penambahan biaya lain-lain terlebih jika terjadi penundaan pembayaran karena hal tersebut tergolong riba. Pada nyatanya, masih banyak ditemukan kegiatan transaksi kredit yang menyimpang dengan pemikiran Zaid bin Ali, yang dimana masih menerapkan denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran.

Sebaliknya, transaksi kredit yang sesuai dengan pemikiran tersebut masih minim ditemukan diberbagai lingkungan karena mayoritas masyarakat saat ini memprioritaskan kepentingan bisnis dari pada hal lainnya. Untuk itu sebagai seorang muslim, sebaiknya tidak hanya berorientasi terhadap kepentingan bisnis saja tetapi juga perlu memperhatikan bagaimana menciptakan kemaslahatan bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image