Paylater dan Belanja Digital: Bagaimana Islam Memandangnya?
Agama | 2025-11-29 12:55:27
Penggunaan paylater kini menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Fitur ini memungkinkan seseorang membeli barang atau layanan terlebih dahulu dan membayarnya di kemudian hari, sehingga berbagai kebutuhan dapat dipenuhi dengan lebih cepat dan praktis. Kemudahan tersebut sering membuat kita merasa terbantu, terutama dalam situasi mendesak. Namun, di balik manfaatnya, kita kerap lupa bahwa setiap penggunaan paylater tetap mengandung nilai moral serta prinsip yang perlu diperhatikan.
Dalam Islam, paylater bukan hanya bentuk penundaan pembayaran. Di dalamnya terdapat unsur tanggung jawab, kejujuran, serta kehati-hatian agar tidak terbebani oleh hutang atau terlibat dalam praktik yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Setiap penggunaan limit dan setiap cicilan yang dibayarkan memiliki dampaknya tersendiri, baik secara finansial maupun spiritual. Oleh karena itu, penggunaan paylater perlu dilakukan secara bijak agar tetap selaras dengan nilai etika dan ajaran agama.
Apa itu Paylater?
Paylater adalah layanan keuangan yang memungkinkan seseorang membeli barang atau jasa sekarang dan membayarnya di kemudian hari, baik secara penuh pada tanggal jatuh tempo maupun dengan cicilan. Layanan ini biasanya terintegrasi dalam e-commerce atau aplikasi dompet digital, sehingga proses pengajuannya cepat dan tidak memerlukan dokumen rumit seperti pinjaman bank. Meskipun praktis dan fleksibel, paylater memiliki risiko, seperti biaya layanan, bunga, atau denda keterlambatan yang dapat membuat total pembayaran menjadi lebih besar. Selain itu, kemudahan akses sering memicu perilaku konsumtif dan dapat memengaruhi skor kredit jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu.
Cara kerja paylater dimulai dengan pemberian limit kredit kepada pengguna oleh penyedia layanan. Limit ini dapat digunakan untuk berbelanja di platform yang bekerja sama. Saat melakukan transaksi, pengguna cukup memilih metode pembayaran paylater, lalu jumlah pembelian tersebut otomatis tercatat sebagai tagihan. Pengguna wajib melunasi tagihan tersebut pada tanggal jatuh tempo yang telah ditentukan. Jika pembayaran dilakukan tepat waktu, limit kredit kembali seperti semula dan dapat dipakai lagi. Namun, jika terlambat, penyedia layanan dapat mengenakan denda atau biaya tambahan.
Paylater dalam Perspektif Islam
Fitur PayLater memiliki kaitan erat dengan konsep utang piutang (qardh) dalam Islam, yang pada dasarnya diperbolehkan selama memenuhi prinsip keadilan dan tidak mengandung unsur yang merugikan. Masalah muncul ketika layanan PayLater mensyaratkan biaya tambahan di luar pokok pinjaman, seperti bunga, biaya layanan wajib, atau denda keterlambatan, karena hal tersebut termasuk kategori riba yang dilarang. Dalam pandangan ulama, riba bertentangan dengan nilai keadilan dan semangat tolong-menolong, sehingga pinjaman yang mewajibkan adanya tambahan pengembalian di luar pokok utang dianggap tidak sah dan tidak sesuai dengan ketentuan syariah.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
"Setiap utang yang menarik manfaat (bagi pemberi utang) adalah riba."
Kaidah tersebut menjelaskan bahwa setiap bentuk utang yang memberikan manfaat tambahan kepada pemberi utang termasuk riba. Maksudnya, jika seseorang meminjamkan uang dengan syarat harus menerima sesuatu yang lebih dari pokok utang, baik berupa tambahan uang, hadiah, atau bentuk keuntungan lain, maka hal itu tidak dibenarkan dalam syariah. Utang dalam Islam seharusnya menjadi sarana tolong menolong, bukan untuk memperoleh keuntungan.
Menurut para ulama, utang piutang dalam Islam merupakan bentuk tolong menolong yang dibolehkan selama tidak mengandung riba, ketidakjelasan, atau praktik yang merugikan salah satu pihak. Karena itu, para ulama menekankan pentingnya menjaga kehati-hatian dalam setiap akad utang, termasuk pada layanan modern seperti PayLater, agar tidak menimbulkan beban di luar kemampuan atau menyebabkan ketidakadilan bagi salah satu pihak.
Kemudahan PayLater memang dapat membantu memenuhi kebutuhan, tetapi fitur ini juga dapat mendorong perilaku konsumtif jika tidak digunakan dengan bijak. Islam mengingatkan agar seseorang menjauhi pemborosan dan hanya berutang untuk kebutuhan yang benar-benar penting. Setiap Muslim perlu memastikan bahwa ia mampu melunasi utang tepat waktu serta menghindari kebiasaan berbelanja secara impulsif. Dengan mengikuti pedoman ulama dan etika berutang, penggunaan PayLater dapat diarahkan agar tetap sesuai syariah dan tidak menimbulkan mudarat bagi diri sendiri maupun pihak lain. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad SAW:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Menunda-nunda (pembayaran) utang bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dasar pentingnya melunasi utang tepat waktu bagi orang yang mampu. Menunda pembayaran tanpa alasan yang benar dianggap sebagai bentuk kezaliman karena mengabaikan hak pemberi pinjaman. Sikap ini bertentangan dengan prinsip amanah dan keadilan dalam muamalah. Oleh karena itu, setiap bentuk utang, termasuk layanan modern seperti PayLater, perlu diselesaikan sesuai waktu yang disepakati agar tidak menimbulkan kerugian maupun ketidakadilan bagi pihak lain.
Dalam praktiknya, layanan PayLater sering dipandang sekadar sebagai fasilitas yang memudahkan proses belanja tanpa memperhatikan implikasi hukumnya dalam syariat Islam. Padahal, ketentuan utang piutang dalam Islam tidak hanya dimaksudkan untuk memberi kelonggaran dalam memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap transaksi berlangsung secara adil, aman, dan bebas dari riba serta praktik yang merugikan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa syariat sangat memperhatikan keseimbangan hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam suatu akad.
Dengan demikian, kemudahan PayLater tidak dapat dinilai hanya dari sisi praktis, seperti kemampuan membeli barang meskipun pembayarannya ditunda. Yang lebih penting adalah bagaimana mekanisme layanan tersebut tetap mengikuti prinsip syariat, tidak menimbulkan kezaliman, dan mendorong penggunanya untuk bersikap bijak serta bertanggung jawab dalam berutang. Pemahaman ini menunjukkan bahwa keberterimaan PayLater tidak ditentukan oleh kecanggihannya, tetapi oleh sejauh mana layanan tersebut selaras dengan etika muamalah dalam ajaran Islam.
PayLater Dibolehkan atau Tidak?
Berdasarkan kajian Fiqh Muamalah dan ketentuan yang ditetapkan oleh DSN–MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017, penggunaan layanan PayLater pada prinsipnya dapat dibolehkan apabila mekanismenya mengikuti akad qardh yang sah. Akad ini mengharuskan bahwa utang dikembalikan sesuai jumlah pokok tanpa tambahan apa pun yang bersifat wajib. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar transaksi utang piutang tetap berada dalam semangat tolong menolong, bukan menjadi sarana untuk mengambil keuntungan dari pihak yang membutuhkan.
Namun, dalam praktik yang umum digunakan pada berbagai platform digital, layanan PayLater biasanya menetapkan biaya tambahan seperti bunga cicilan, biaya layanan tertentu, hingga denda keterlambatan yang secara otomatis wajib dibayarkan oleh pengguna. Penambahan yang melekat pada kewajiban pembayaran ini termasuk kategori riba karena memberikan keuntungan finansial kepada pemberi utang sekaligus menambah beban bagi pihak yang berutang. Hal ini bertentangan dengan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa setiap utang yang mendatangkan manfaat bagi pemberi utang tergolong riba, sehingga tidak dapat dibenarkan oleh syariat.
Sesuai ketentuan Fatwa DSN–MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017, transaksi yang mengandung riba, unsur ketidakjelasan (gharar), atau bentuk kezaliman dinyatakan tidak sah dan tidak boleh dilakukan. Karena itu, layanan PayLater yang menetapkan biaya tambahan di luar pokok utang tidak diperbolehkan menurut hukum Islam. Suatu layanan PayLater hanya dapat dinilai halal apabila seluruh ketentuannya bebas dari riba, mekanismenya jelas dan transparan, serta memenuhi prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam muamalah Islam. Dengan demikian, keberadaan layanan tersebut dapat memberikan manfaat tanpa bertentangan dengan tuntunan syariah.
Contoh Paylater yang tidak diperbolehkan:
- Ada bunga keterlambatan: Pengguna memiliki tagihan Rp500.000, lalu dikenakan tambahan 5% per bulan jika terlambat membayar. T
- Tambahan biaya yang dihitung dari persentase utang: Setiap transaksi dikenai “biaya layanan” sebesar 2% dari total belanja.
- Tidak ada akad jual beli yang jelas: Penyedia hanya memberi pinjaman, lalu menarik pembayaran lebih tinggi tanpa menjual barang secara syariah.
Menutup dengan Refleksi
Pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa keberkahan dalam transaksi tidak ditentukan oleh kemudahan fitur atau modernnya layanan, tetapi oleh sejauh mana akad tersebut sesuai dengan prinsip syariah. Sebuah transaksi dinilai baik apabila terbebas dari riba, tidak menimbulkan kezaliman, dan tidak merugikan salah satu pihak.
Aturan tentang utang piutang, termasuk pada layanan PayLater, bukan sekadar kajian hukum, tetapi juga pedoman moral. Aturan ini menjaga keseimbangan antara kebutuhan individu dan keadilan sosial, serta antara kemudahan bertransaksi dan tanggung jawab untuk tetap berada dalam batas syariah.
Fasilitas yang digunakan dengan cara yang benar dan sesuai ketentuan akan membawa kemanfaatan, kenyamanan, dan keberkahan. Sebaliknya, kemudahan yang dimanfaatkan tanpa memperhatikan aspek hukum dapat menimbulkan mudarat. Dengan memahami prinsip-prinsip tersebut, kita diajak untuk menggunakan teknologi secara bijak, menempatkan amanah sebagai prioritas, dan menjadikan syariah sebagai pedoman utama dalam setiap bentuk muamalah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
