Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mario Surya Rahmatdani

Cashback di Era Digital: Begini Pandangan Islam Terhadapnya

Agama | 2025-12-03 08:05:49
#belanjadapatuangkembali

Penggunaan cashback saat ini telah menjadi bagian dari kegiatan berbelanja sehari-hari. Fitur ini memberikan pengembalian sebagian nilai transaksi setelah pembayaran dilakukan, sehingga seseorang dapat memperoleh manfaat tambahan tanpa biaya yang lebih besar. Kehadiran cashback membuat aktivitas belanja terasa lebih menarik, terutama bagi mereka yang ingin menghemat atau mengatur pengeluaran dengan lebih efisien. Tidak jarang, promo cashback menjadi pertimbangan utama dalam memilih platform atau metode pembayaran tertentu.

Meskipun menawarkan berbagai keuntungan, penggunaan cashback tetap perlu memperhatikan nilai moral serta prinsip yang berlaku. Dalam Islam, cashback tidak hanya dipahami sebagai hadiah atau potongan biaya. Di dalamnya terdapat aspek kejelasan akad, kejujuran, serta kehati-hatian agar tidak muncul praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah. Setiap transaksi yang menghasilkan cashback memiliki pengaruh tersendiri, baik dari sisi finansial maupun spiritual. Oleh karena itu, penggunaan cashback sebaiknya dilakukan secara bijak agar tetap selaras dengan nilai etika dan ajaran agama.

Apa itu Cashback?

Cashback adalah program promosi yang memberikan pengembalian sebagian nilai transaksi kepada pengguna setelah ia melakukan pembelian barang atau jasa. Pengembalian ini dapat berupa uang, saldo dompet digital, poin, atau voucher yang dapat digunakan untuk transaksi berikutnya. Fitur cashback biasanya tersedia di platform e-commerce, layanan pembayaran digital, hingga aplikasi transportasi, sehingga pengguna bisa mendapat keuntungan tambahan tanpa proses pengajuan apa pun. Meskipun terlihat sederhana dan menguntungkan, cashback memiliki ketentuan tertentu, seperti batas minimum transaksi, persentase pengembalian, atau masa berlaku saldo yang diterima. Selain itu, penggunaan cashback yang terlalu sering dapat mendorong kebiasaan belanja impulsif, terutama jika seseorang berfokus mengejar promo tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya.

Cara kerja cashback dimulai ketika pengguna melakukan transaksi pada platform atau layanan yang menyediakan program tersebut. Setelah pembayaran dilakukan, sistem akan mencatat nilai pembelian dan menghitung besaran cashback sesuai ketentuan promo, seperti persentase tertentu atau nominal tetap. Pengembalian dana ini kemudian diberikan dalam bentuk saldo, uang, poin, atau voucher, dan biasanya langsung masuk ke akun pengguna dalam jangka waktu tertentu, mulai dari hitungan detik hingga beberapa hari kerja. Saldo atau poin tersebut dapat digunakan kembali untuk transaksi berikutnya sesuai syarat yang berlaku. Namun, beberapa program menerapkan batas minimum penggunaan, masa berlaku saldo, atau ketentuan khusus lainnya sehingga pengguna perlu memperhatikannya agar cashback tidak hangus atau tidak dapat digunakan.

Cashback dalam Perspektif Islam

Cashback merupakan bentuk promosi yang memberikan pengembalian sebagian nilai transaksi kepada pembeli setelah ia melakukan pembayaran. Dalam pandangan Islam, konsep cashback berkaitan dengan akad jual beli (al-bai’) dan pemberian hadiah (hibah), bukan dengan utang piutang sebagaimana pada layanan kredit. Pada dasarnya, jual beli yang disertai hadiah dibolehkan selama pelaksanaannya tidak mengandung unsur riba, ketidakjelasan (gharar), atau praktik yang merugikan salah satu pihak. Karena itu, cashback pada umumnya dipandang halal apabila diberikan sebagai hadiah tanpa syarat yang batil dan tidak berkaitan dengan akad utang.

Cashback menjadi bermasalah apabila ia diposisikan sebagai manfaat tambahan dari transaksi yang hakikatnya adalah pinjaman. Hal itu merujuk pada kaidah fiqh yang masyhur:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap utang yang menarik manfaat (bagi pemberi utang) adalah riba.”

Kaidah tersebut menjelaskan bahwa apabila suatu akad bersifat pinjaman, lalu pemberi pinjaman mengambil keuntungan berupa tambahan uang, hadiah, atau manfaat lain, maka tambahan tersebut termasuk riba. Namun, dalam mekanisme cashback yang murni merupakan hadiah dari penjual atau penyedia layanan setelah pembeli melakukan transaksi tunai, tidak terdapat unsur utang-piutang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan setelah akad jual beli selesai tidak termasuk riba, karena tidak berkaitan dengan kewajiban pengembalian utang.

Dalam fiqh muamalah, ulama menyatakan bahwa hadiah atau bonus dalam jual beli diperbolehkan selama ketentuannya jelas, tidak menipu, dan tidak memberatkan pihak tertentu. Oleh karena itu, cashback yang diberikan sebagai bentuk promosi atau strategi pemasaran dinilai sah selama tidak mengandung unsur penipuan, seperti menaikkan harga terlebih dahulu agar cashback tampak besar, atau menciptakan ketidakjelasan mengenai nominal dan masa berlakunya.

Terkadang penggunaan cashback dapat mendorong perilaku konsumtif, terutama ketika seseorang berbelanja demi mengejar promo, bukan karena kebutuhan. Islam mengingatkan agar setiap Muslim menjaga perilaku belanja dan tidak berlebihan. Allah berfirman dalam QS. Al-Isrā’ ayat 27:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

"Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

Ayat ini menjelaskan bahwa pemborosan adalah perbuatan yang buruk dan tidak disukai. Karena itu, meskipun cashback menguntungkan, seseorang tetap perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan agar tidak terjebak dalam perilaku boros atau belanja impulsif.

Selain itu, Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam setiap transaksi. Rasulullah SAW bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

“Penjual dan pembeli memiliki hak memilih selama mereka belum berpisah ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa transaksi harus berlangsung secara ridha, jelas, dan tanpa penipuan. Prinsip tersebut berlaku pula pada cashback: promo harus transparan, syaratnya jelas, dan tidak mengandung unsur yang dapat menimbulkan perselisihan.

Dalam praktiknya, sebagian platform digital menggabungkan cashback dengan program lain, seperti paylater atau cicilan. Jika cashback diberikan sebagai bonus dari transaksi yang berlandaskan utang berbunga, maka cashback tersebut terikat dengan akad riba dan menjadi tidak diperbolehkan. Karena itu, ulama menekankan pentingnya memahami mekanisme promo secara utuh agar tidak terjerumus pada akad yang tidak sesuai syariah.

Dengan demikian, keberterimaan cashback dalam Islam tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya keuntungan, tetapi oleh kejelasan akad, kebersihan mekanisme, serta ketiadaan unsur riba dan penipuan. Cashback dapat menjadi fasilitas yang bermanfaat dan menguntungkan apabila digunakan secara bijak dan sesuai kebutuhan. Islam mendorong setiap Muslim untuk mengutamakan kejujuran, kehati-hatian, dan keseimbangan dalam muamalah, sehingga setiap transaksi, termasuk cashback, dapat berjalan secara adil, aman, dan selaras dengan nilai-nilai syariah.

Cashback Diperbolehkan atau Tidak?

Penggunaan cashback pada prinsipnya dapat dibolehkan dalam Fiqh Muamalah selama mekanismenya mengikuti ketentuan hadiah (hibah) yang sah. Cashback dipandang sebagai bentuk pemberian atau potongan harga yang diberikan oleh penjual secara sukarela tanpa menambah kewajiban apa pun kepada pembeli. Ketentuan ini juga sejalan dengan Fatwa DSN–MUI No. 86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah, yang menjelaskan bahwa pemberian hadiah dalam transaksi diperbolehkan selama tidak menjadi syarat yang merugikan dan tidak terkait dengan akad yang dilarang.

Namun, cashback tidak diperbolehkan apabila menjadi manfaat yang diwajibkan dalam akad utang piutang atau menjadi kompensasi atas pemberian pinjaman. Tambahan manfaat yang terikat pada akad utang termasuk kategori yang tidak sah karena mengandung unsur keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman. Oleh karena itu, cashback hanya dapat dibenarkan apabila tidak dipersyaratkan dalam akad utang dan tidak menjadi kewajiban yang harus diberikan kepada pengguna.

Dalam praktiknya, sebagian besar program cashback pada platform digital diberikan sebagai strategi pemasaran, bentuk apresiasi, atau potongan harga yang sifatnya tidak mengikat. Selama mekanismenya jelas, transparan, dan tidak menimbulkan ketidakadilan, cashback dapat dianggap sesuai dengan prinsip syariah. Syarat penggunaan, masa berlaku, dan nilai cashback perlu dijelaskan secara terbuka agar tidak terjadi unsur ketidakjelasan yang dapat merugikan salah satu pihak.

Walaupun bermanfaat, penggunaan cashback tetap perlu disikapi dengan bijak. Promo yang menarik dapat memicu perilaku konsumtif apabila seseorang berbelanja hanya untuk mengejar keuntungan berupa hadiah. Karena itu, konsumen dianjurkan untuk mempertimbangkan kebutuhan secara proporsional dan tidak melakukan pembelian secara impulsif. Dengan memahami ketentuan hadiah dalam pandangan syariah dan memperhatikan prinsip kehati-hatian, cashback dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas yang sah dan tidak bertentangan dengan nilai keadilan serta etika transaksi dalam Islam.

Contoh Paylater yang tidak diperbolehkan:

Sebuah layanan PayLater menawarkan cashback Rp50.000 asal pengguna mengambil cicilan tertentu. Cashback ini tidak sah karena menjadi manfaat yang terikat dengan utang. Contoh lainnya adalah promo toko yang menaikkan Harga barang dari Rp1.500.000 menjadi Rp1.800.000, lalu memberikan cashback Rp300.000 agar terlihat seperti potongan Harga.

Menutup dengan Refleksi

Pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa keberkahan dalam transaksi tidak ditentukan oleh besarnya promo atau menariknya penawaran, tetapi oleh sejauh mana mekanisme tersebut sesuai dengan prinsip syariah. Sebuah transaksi dianggap baik apabila berlangsung secara jujur, tidak mengandung penipuan, dan tidak menimbulkan manfaat yang merugikan salah satu pihak. Cashback sebagai bentuk hadiah atau potongan Harga tetap harus ditempatkan dalam koridor yang benar agar tidak berubah menjadi praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai muamalah.

Ketentuan cashback dalam syariah bukan sekadar pembahasan teknis atau hukum, tetapi juga pedoman etika yang mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan konsumen dan keadilan bagi penyedia layanan. Aturan ini mengingatkan bahwa setiap keuntungan dalam transaksi harus diperoleh dengan cara yang bersih, tanpa rekayasa harga, tanpa syarat yang merugikan, dan tanpa menjadikannya sebagai manfaat dari akad yang terlarang. Dengan memahami batasan tersebut, seseorang dapat menikmati promo secara wajar tanpa terjerumus pada praktik yang mendatangkan ketidakjelasan atau kedzaliman.

Fasilitas cashback yang digunakan secara benar dapat memberikan manfaat, meringankan pengeluaran, dan menambah kenyamanan bertransaksi. Namun, apabila dimanfaatkan tanpa memperhatikan ketentuan atau mendorong perilaku konsumtif, cashback justru dapat menjadi mudarat. Karena itu, Islam mengajarkan agar setiap fasilitas modern tetap disikapi dengan bijak, proporsional, dan sesuai aturan. Dengan menjadikan syariah sebagai pedoman utama dalam setiap bentuk muamalah, kita dapat memastikan bahwa setiap transaksi termasuk yang melibatkan cashback tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga membawa keberkahan dan menjaga integritas moral dalam kehidupan sehari-hari.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image