Perempuan Indonesia dan Persoalan Kebangsaan
Politik | 2023-07-14 05:36:14Pada tahun 1947, setahun setelah Ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Bung Karno masih sempat-sempatnya menggelar “kursus wanita Indonesia”. Kursus itu digelar setiap dua minggu sekali. Bayangkan, begitu pentingnya persoalan mengenai wanita itu, maka Bung Karno selaku Presiden tetap mengusahakan kursus wanita itu berjalan.
Menurut Bung Karno, sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1946, maka urusan-urusan soal perempuan sesegara mungkin dijelaskan dan dipopulerkan. Katanya, kita tidak dapat menyusun suatu negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain) jika kita tidak mengerti soal-soal wanita.
Sekilas paparan di atas menyimpulkan: urusan soal perempuan bukan hanya urusan kaum perempuan saja, melainkan urusan masyarakat, juga urusan sebuah bangsa. Sebab, sebagaimana dikatakan Bung Karno, syarat mutlak bagi kemenangan sebuah revolusi nasional adalah persatuan nasional, yang sudah barang tentu di dalamnya ada laki-laki dan kaum perempuan.
Sekarang ini, bangsa Indonesia memang tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme secara fisik. Akan tetapi, disadari atau tidak, bangsa Indonesia berhadapan dengan bentuk baru dari kolonialisme, yaitu neo-kolonialisme dan buahnya bernama NEO-LIBERALISME. Memang betul, bahwa kolonialisme tidak hanya merugikan perempuan saja, tetapi semua golongan rakyat. Akan tetapi, karena sebuah sistem sosial menempatkan perempuan dalam peran domestik di rumah tangga, maka perempuanlah yang berhadapan langsung dengan ekses kolonialisme dan liberalisme baru itu.
Sebagai misal, ketika negara neoliberal menerapkan kebijakan privatisasi, maka kaum wanita dipaksa menanggung bebannya; karena negara memprivatisasi perusahaan listrik, maka perempuanlah yang dipaksa mengurusi pemenuhan listrik; karena negara memprivatisasi pendidikan, maka perempuanlah yang paling pusing tujuh keliling berpikir soal pendidikan anaknya.
Dampak lain dari penerapan kebijakan berbau neoliberalisme ini, adalah ada banyak pekerjaan-pekerjaan yang dikategorikan pekerjaan domestik, seperti memasak, merawat anak, menyetrika dan menjahit, itu bisa menjadi komoditi. Dengan demikian, neoliberalisme mengharuskan kaum perempuan menjual pekerjaan-pekerjaannya yang dulunya disebut “domestik” menjadi komoditi.
Penjualan komoditi ini bukan hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi juga dilakukan ke pasar tenaga kerja internasional, berupa pengiriman jutaan tenaga kerja wanita Indonesia ke berbagai negara dengan bidang pekerjaan sebagian besar adalah pekerja rumah tangga (PRT).
Dengan demikian, semakin jelas sudah: bahwa perjuangan melawan neo-kolonialisme atau neoliberalisme bukan saja menjadi kewajiban perempuan sebagai bagian dari entitas nasional, tetapi juga karena perempuanlah yang seharusnya paling berkehendak untuk keluar dari model penjajahan baru itu.
Sebab, perempuan sangat berkepentingan untuk mengembalikan negara sebagai alat memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk di dalamnya kepentingan rakyat Marhaen dan seluruh perempuan Indonesia. Tentunya, jika negara bisa dikembalikan fungsinya mengurus kebutuhan rakyat Marhaen, maka kesempatan perempuan untuk mengejar kesetaraan yang sesungguhnya akan lebih mudah.
Hidup Perempuan Indonesia Yang Melawan!
Yudya Pratidina Marhaenis, MERDEKA!
(Bandung, 14 Juli 2023)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.