Keinginan Kembali Kepada UUD 1945 (Pasal 33) yang Asli
Politik | 2023-07-13 04:33:32UUD 1945 termasuk salah satu konstitusi progresif-revolusioner di dunia. Di dalamnya terdapat semangat anti-neokolonialisme (dan kolonialisme) dan pro-kesejahteraan sosial. Pasca reformasi Mei 1998, seiring dengan menguatnya angin liberalisme, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen terutama setelah Amandemen 2002, Banyak yang berubah: UUD 1945 tidak asli lagi.
Satu hal yang patut dicatat dari amandemen 2002 itu: yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945 itu agar senafas dengan kemajuan zaman, tetapi justru upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala fondasinya yang berbau anti-kolonialisme (dan neo-kolonialisme) dan pro kesejahteraan rakyat. Hasilnya pun gampang ditebak. Sejak amandemen 2002, kita menemui kembali bentuk-bentuk kolonialisme lama, yang dulu diperangi founding father kita, dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, dan budaya.
Pengaturan ekonomi oleh negara dihilangkan: liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi dan bentuk bentuk liberalisasi lainnya. Model pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya nasional pun berorientasi asing. Tujuan kegiatan ekonomi adalah keuntungan bagi usaha perseorangan, bukan lagi kemakmuran rakyat. Kita bukan lagi warga negara, tetapi sudah menjadi warga pasar.
Dalam politik juga terjadi demikian. Sistim pemerintahan kita menjadi penyokong kuat otonomisme yang hanya membesarkan raja-raja kecil di daerah dan mempermudah penetrasi modal asing di seluruh pelosok negeri. Parlemen kita hanya menampung pemburu kekuasaan, petualang politik dan pencari popularitas. Politik kita sekarang ini mirip dengan politik kolonial: politik yang mengabdi kepada kepentingan segelintir elit politik dan mengabaikan mayoritas rakyat Marhaen.
Kehancuran budaya jauh lebih parah lagi. Semangat kolektivisme, yang menjadi ciri bangsa kita sejak dulu, telah hancur digerus oleh konsumerisme dan semangat mementingan diri sendiri. Kecintaan kepada negeri dan rakyat sudah berganti menjadi pemujaan terhadap komoditas.
Amandemen UUD 1945 (Tahun 2002) salah kaprah. Alih-alih mengikut semangat reformasi Mei 1998, amandemen 2002 justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neo-kolonialisme dan Neo-Liberalisme. Yang dituntut reformasi Mei 1998 adalah adendum, yaitu penambahan klausul tanpa mengubah naskah aslinya, tetapi yang dijalankan oleh kaum reformis Borjuis dan kaum oportunis—yang dibelakangnya adalah lembaga-lembaga asing—mengubah substansi UUD 1945. Yang bermasalah kan cuma soal masa jabatan Presiden, tetapi kenapa Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan diobrak-abrik juga.
Sebagai respon atas berbagai problematika bangsa itu, muncullah keinginan untuk kembali kepada semangat UUD 1945 (terutama di Pasal 33) yang asli. Akan tetapi, sebagian orang picik—khususnya kelas menengah dan intelektual salon—berteriak “hati-hati dengan orde baru dan tentara dan sisa-sisanya!” Seolah-olah, di mata mereka itu, kembali ke UUD 1945 adalah proyek restorasi orde baru.
Ah, orang-orang ini tidak tahu sejarah. Orde baru tidak pernah melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apa yang terjadi selama 32 tahun orde baru adalah pengebirian terhadap UUD 1945: kolonialisme direstorasi sejak 1967 (terutama setelah UU PMA resmi diberlakukan April 1967), demokrasi dan hak-hak berpendapat diinjak-injak, dan mayoritas rakyat marhaen telah dikeluarkan dari agenda pembangunan orba itu.
UUD 1945 dilahirkan oleh Revolusi Agustus 1945. Karena itu, jiwa dan semangat UUD 1945 adalah jiwa dan semangatnya Revolusi Agustus. “UUD 1945 adalah jiwa daripada revolusi 1945. UUD 1945 adalah anak kandung atau saudara kembar dari Proklamasi 17 Agustus 1945,” kata Sukarno, bapak pendiri bangsa kita. Dengan demikian, upaya kembali ke UUD 1945 adalah bermakna kembali kepada semangat dan jiwa Revolusi Agustus 1945. Ibarat orang yang sudah kesasar di tengah belantara, dengan bahaya sudah mengancam di hadapannya, maka tak ada pilihan selain bergegas mencari jalan pulang. Setelah itu, barulah kita berjalan kembali dengan penuh kehati-kehatian.
Hampir semua pergulatan gagasan dan cita-cita perjuangan bangsa kita terangkum dalam semangat Revolusi Agustus 1945. Dan UUD 1945, yang dilahirkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, merupakan peta yang seharusnya menjaga kita dalam perjalanan panjang mengarungi cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Kini, peta itu sudah dimanipulasi oleh neo-kolonialis dan kaum neo-liberal. Petunjuk jalan yang mesti kita lalui sudah dikaburkan. Di tengah kebingungan dan keputus-asaan melihat jalan mana menuju ke depan, para perampok datang silih-berganti merampasi barang-barang dan bekal kita. Itulah yang terjadi saat ini.
Kita harus kembali ke semangat UUD 1945 (Terutama Pasal 33) yang asli: anti-kolonialisme. Sebagai langkah demokratis untuk ke sana, saya mengusulkan dilaksanakannya sebuah referendum. Referendum ini hanya membawa satu tugas pokok: menanyakan kepada rakyat apakah mereka setuju atau tidak untuk kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.