Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Tragedi 1965 dan Rekolonialisme

Politik | 2023-07-11 03:49:25

Tragedi 1965, yang terjadi 45 tahun yang lalu, menjadi titik balik bagi rekolonialisme di Indonesia. Terlepas dari perdebatan sejarahwan mengenai tragedi tersebut, namun kenyataan yang tak terbantahkan adalah, bahwa tragedi itu telah menjadi “pembuka jalan” untuk melikuidasi pemerintahan anti-imperialis Sukarno dan mengembalikan status Indonesia sebagai koloninya negeri-negeri imperialis.

“Gerakan 30 September” atau Gerakan 1 Oktober tidak hanya menjadi alasan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kelompok sayap kanan garis keras (Neo-NAZI) untuk mengorbankan kampanye anti-komunis, tetapi juga menjadi “senjata” untuk melikuidasi keseluruhan kekuatan-kekuatan anti-imperialis di dalam negeri. Boleh dikatakan, bahwa sasaran utama penumpasan dan pemusnahan adalah kekuatan-kekuatan anti-imperialis dan pendukung Sukarno.

Dalam November 1967, setelah golongan Sukarnois dan PKI benar-benar telah dilumpuhkan, perwakilan rezim Orde Baru telah bertemu dengan para kapitalis terbesar dan paling berkuasa di dunia, seperti David Rockefeller, di Jenewa, Swiss. Hadir dalam pertemuan tersebut raksasa-raksasa korporasi barat, diantaranya General Motor, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemen, Goodyear, The International Paper Corporation, dll, setelah sebelumnya mengadakan Pertemuan di Paris Club dalam menandatangani Perjanjian Paris untuk menangguhkan Utang Luar Negeri Indonesia.

Dan, sebagai bonus tambahan dari pertemuan itu, pemerintah Indonesia telah bersedia mengundangkan UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang begitu ramah dan baik hati terhadap “perampokan sumber daya” alam Indonesia. Juga, setelah PKI dan ormas-ormasnya dihancurkan, Harian Media Massa Dan Buku Buku terbitan-terbitan berbau kiri dan nasionalis dilarang, rezim Orde Baru telah menciptakan sebuah kehidupan politik yang tidak mengijinkan “oposisi” untuk hidup.

Dan, apa yang tak kalah pentingnya, adalah bahwa rezim Orde Baru telah melakukan kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia, konon itu adalah kedua terbesar setelah kekejian NAZI-Hitler. Ada yang mengatakan, jumlah korban kemanusiaan dalam tragedi 1965 mencapai 500 ribu hingga 1 juta orang. Ratusan ribu orang dipenjara dan dibuang tanpa proses hukum atau pengadilan.

Indonesia, yang luasnya hampir sama dengan Britania raya, Perancis, Jerman barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia kalau digabungkan menjadi satu, merupakan “permata asia” dalam pandangan kolonialis dan imperialis. Mereka tidak menginginkan republik baru ini benar-benar merdeka, apalagi jika dikendalikan oleh kekuatan progresif atau anti-kolonialisme, maka disusunlah serangkaian dukungan terhadap Belanda untuk menggempur Republik Indonesia yang masih baru.

Di akhir tahun 1950-an, terutama setelah Soekarno sukses membawa revolusi Indonesia semakin ke kiri dan makin Berdikari (Mandiri), intervensi AS semakin memuncak. H. W. Brands menulis dalam “Journal of American History”, bahwa AS telah mengambil bagian dalam upaya “coup” yang gagal terhadap Soekarno tahun 1958. Campur tangan asing sangat nyata dalam menyokong pemberontakan PRRI/Permesta, upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, dan lain sebagainya.

Dampak jangka panjang dari “Tragedi 1965” adalah rekolonialisme. Segera setelah Bung Karno berhasil digulingkan, seluruh tatanan hukum, politik, ekonomi, dan budaya yang berbau kolonialisme, telah dipulihkan dan bertahan hingga kini. Sebagai misal, praktek-praktek neo-kolonialisme sangat nyata dalam pengelolaan ekonomi Indonesia, seperti lahirnya berbagai ketentuan (perundang-undangan) yang memudahkan pihak asing mengeruk kekayaan alam Indonesia, menghancurkan pasar di dalam negeri, mengeksploitasi tenaga kerja, dan lain-lain, salah satunya hari ini adalah OMNIBUS LAW.

Pendek kata, “Tragedi 1965” adalah usaha kolonialisme untuk menemukan pintu masuk guna menjajah kembali negeri ini. Tragedi ini telah merestorasi kekuatan-kekuatan dan praktik-praktik neo-kolonialisme dan Neo-Liberalisme di dalam negeri, misalnya semakin dominannya modal asing, tersingkirnya rakyat dari kehidupan politik, eksploitasi tenaga kerja murah, dan lain sebagainya.

Tragedi 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang menandai pembunuhan keji, pembuangan paksa dan pemenjaraan tanpa proses pengadilan, dan pelecehan terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituding sebagai anggota atau simpatisan komunis. Sebagian besar korban tragedi 1965 adalah para buruh, petani, aktivis perempuan, guru sekolah, guru mengaji, pegawai negeri, dan seniman.

Oleh karena itu, Tragedi 1965 adalah luka bangsa yang perlu disembuhkan sebelum melangkah jauh ke depan, yaitu dengan mengungkap tabir yang menutupi kejadian ini. Persoalan rekonsilisasi nasional pun hanya dapat berjalan dengan baik, jikalau proses ini sudah didahului dengan pengungkapan fakta dan pengadilan terhadap para pelakunya.

Dengan begitu, kita berharap bisa bersatu kembali untuk melawan imperialisme dan neokolonialisme-neoliberalisme dan produk produk yang dihasilkannya secara bersama-sama.

(Bandung, 11 Juli 2023)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image