Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Pendidikan Nasional dan Kuasa Modal

Politik | 2023-07-05 04:41:43

Revolusi dagang akan runtuh bila kita tidak membeli apa yang mereka jual: ide-ide mereka, versi sejarah mereka, senjata-senjata mereka, dan gagasan mereka. Ingatlah: kita memiliki banyak, mereka sedikit. Mereka membutuhkan lebih banyak dari kita ketimbang yang kita butuhkan dari mereka. (Arundhati Roy, Pengarang Novel The God of Small Thing).

Anda pernah mendengar atau sudah tidak asing dengan salah satu negara kecil di Kepulauan Karibia yang terkenal dengan cerutu nomor wahid di dunia? Negara ini juga telah membesarkan pejuang-pejuang revolusioner sekaliber Che Guevara dan Fidel Castro. Negara yang kemudian menjadi rujukan negara-negara di Amerika Latin dalam menjalankan kebijakan ekonom politik yang memilih berseberangan dengan ideologi mainstream yang dinakhodai oleh Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan multinasional. Meski telah diembargo demikian lama oleh Amerika Serikat, namun Kuba mampu menjalanan pembangunannya tanpa mengacu pada resep yang ditawarkan oleh negara-negara maju melalui lembaga-lembaga multilateral semisal IMF, Bank Dunia dan WTO atau lembaga donor internasional berbasis keuangan lainnya. Salah satu indikator keberhasilan ini dapat dilihat melalui kebijakan pemerintah untuk menggratiskan sektor pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Keberhasilan ini kemudian mendorong penemuan-penemuan mutakhir di bidang bio teknologi dan bahkan negara ini berada sejajar dengan negara-negara maju.

Mengapa pendidikan harus menjadi prioritas utama? minimal ada tiga alasan mengapa pendidikan harus menjadi perhatian pokok negara yang ingin maju; Pertama: pendidikan adalah media untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Kedua: dengan pendidikan yang berkualitas maka akan mendorong peserta didik menemukan penemuan-penemuan baru melalui riset dan berbagai metode yang lain dan pada gilirannya akan memajukan potensi tenaga-tenaga produktif di sebuah negara. Ketiga: pendidikan juga menjadi media efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan kebenaran, namun hal ini akan sulit dilakukan ketika pilar-pilar pendidikan (pemerintah, pengajar dan pihak-pihak yang berwenang dalam masalah pendidikan) secara internal justru menjalankan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang akan diberikan (Korupsi-Kolusi-Nepotisme, tidak dialogis, tidak demokratis, dan sebagainya).

Lalu bagaimana wajah pendidikan di negara kita? Meski pertanyaan ini telah sering menjadi bahasan dan tema berbagai diskusi atau seminar yang dilakukan oleh berbagai kalangan, namun tetap perlu menjadi perhatian kita bersama. Hal ini penting mengingat pembahasan mengenai pendidikan sering kita lepaskan dengan logika kuasa modal (baca:neoliberalisme) yang telah menjadi inheren dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di republik ini. Dengan mengetahui relasi tersebut, maka kita akan terhindar dari pemahaman yang distortif dalam melihat fenomena pendidikan di negara kita. Sebagai contoh, masih banyak diantara yang menganggap bahwa kebijakan BHMN-isasi (swastanisasi kampus) yang diperkuat melalui BHP (Badan Hukum Pendidikan...untuk sekarang kita yang akrab ditelinga kita adalah PTN-BH) merupakan kebijakan otonom kampus sebagai solusi atas persoalan yang ada semisal persoalan keuangan. Atau ada pula yang menganggap bahwa kebijakan ini justru merupakan realisasi perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan dalam arti kata bahwa kebijakan ini murni produk negara. Pandangan-pandangan tersebut tentu sangat menyesatkan karena telah melupakan akar permasalahan yaitu relasi negara dengan kuasa modal.

Pendidikan dan Kuasa Modal
Sesuai dengan amanat UUD 1945, bahwa negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang layak bagi setiap rakyat Indonesia tanpa terkecuali sebagai jalan untuk mencerdaskan bangsa ini. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menjadi “barang” yang mudah diakses bagi siapa saja tanpa mempertimbangkan kelas sosial tertentu.

Logika diatas jelas kontradiktif dengan doktrin neoliberalisme yang saat ini menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Doktrin neoliberalisme mengisyaratkan bahwa berbagai hal yang sebelumnya menjadi tanggungjawab sosial atau menjadi tanggungjawab negara dialihkan menjadi tanggungjawab individu. Sehingga kemiskinan dan kebodohan (baca:tidak mampu mengakses pendidikan yang layak) yang dialami mayoritas rakyat Indonesia dinisbahkan sebagai kesalahan individual rakyat Indonesia yang menurut McLelland tidak memiliki “N’Ach” atau Need for Achievement yaitu keinginan untuk berprestasi. Dalam logika ekonomi neoliberal diterangkan bahwa semua sektor kehidupan termasuk pendidikan harus diarahkan pada kompetisi yang sebebas-bebasnya (laissez faire). Ini berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya mendapat perhatian penuh oleh negara melalui jaminan subsidi, kemudian harus dicabut sepenuhnya. Bagi pemerintahan yang berpihak pada kebijakan neoliberalisme, subsidi merupakan bentuk intervensi yang memboroskan anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus dihapus. Dengan demikian sektor pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dengan usaha sendiri.

Kondisi inilah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi dan swastanisasi pendidikan. Dan sasaran empuknya tentu rakyat marhaen yang semakin tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.

Saya pribadi sendiri sering bertanya tanya, “Apa Presiden Jokowi tidak pernah membaca buku Orang Miskin Dilarang Sekolah hingga ia tidak tahu atau malah tidak mau tahu realita dilapangan problem soal Pendidikan kita? Jawaban dari pertanyaan ini tidak cukup dengan menyederhanakannya bahwa ini hanya persoalan watak birokrasi kita yang sarat Korupsi-kolusi-nepotisme, bad governance dan sebagainya. Namun lebih dari itu mesti kita lihat bahwa kebijakan seperti pemberian KIP (Kartu Indonesia Pintar) atau KIP-KULIAH dirasa belum mampu sepenuhnya menolong pembiayaan pendidikan anak anak Indonesia yang mencari pendidikan yang lebih bagus. Dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), yang merupakan salah satu persetujuan di WTO, tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education Services; Higher Education Services; Adult Education; Other Educations Services (Darmaningtyas:2005). Negara kita yang merupakan anggota WTO tentu akan serta merta menjalankan kebijakan liberalisasi di sektor pendidikan sesuai yang tercantum dalam perjanjian diatas.

Kenali Musuhmu
Saya selalu tertarik dengan slogan There Are Many Alternatives (selalu ada banyak alternatif ). Slogan ini selalu mengingatkan saya dengan negara-negara di Amerika Latin yang berpuluh-puluh tahun berjibaku dengan kebijakan neoliberal dan diperparah dengan pemerintahan diktator yang merupakan perpanjangan tangan imperium negara-negara maju. Resep neoliberal semisal pencabutan subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) justru membuat mereka semakin miskin dan jauh dari sejahtera. Namun beberapa dekade terakhir, beberapa negara di kawasan ini telah mampu memberikan alternatif kepada negara-negara Dunia Ketiga yang sama-sama terjajah oleh kekuasaan modal. Dan ini tentu tdiak hadir begitu saja namun melalui perjuangan yang panjang.

Kita tidak bisa hanya menunggu political will dari pemerintah namun saatnya terlibat serta untuk merubah kondisi yang tidak adil ini. Mulailah dengan mengenali siapa saja yang berada dalam imperium modal global dan tentu siapa saja kaki tangannya di republik ini. Lalu simak dengan seksama bagaimana mereka bekerja agar kita tidak mudah tertipu karena mereka sangat lihai. Dan tugas ini mesti kita lakukan secara bersama karena kekuatan mereka justru berada pada ketidakmampuan kita untuk bersatu mewujudkan Pendidikan Nasional Gratis Yang Ilmiah Dan Demokratis.


Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image