Buya Hamka, Sosok Ulama dan Sastrawan Indonesia
Sastra | 2023-07-01 13:58:36Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab dikenal dengan nama Buya Hamka. Beliau dikenal sebagai seorang terkemuka ulama besar Muhammadiyah, budayawan, dan sastrawan di Indonesia. Beliau sangat berperan penting terhadap bangsa Indonesia. Berikut ini adalah biografi singkat tentang Buya Hamka.
Biografi Singkat
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab dikenal dengan nama Buya Hamka. Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hamka lahir di dalam keluarganya yang beragama Islam. Ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji Rasul ketika masih muda, karena beliau sebagai pelopor dari gerakan menentang ajaran Rabithah. Sedangkan ibunya, Siti Shafiyah berlatar belakang dari keluarga seniman. Hamka bekerja sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Kemudian Hamka turun ke dalam dunia politik melalui Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Islam), namun pada akhirnya partai itu dibubarkan pada tahun 1960 karena tokoh-tokoh didalamnya terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Pada tahun 1975, Hamka dipilih untuk menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama selama 5 tahun dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah sampai akhir hidupnya.
Hamka lahir pada era pergerakan, sejak kecil ia sudah terbiasa melihat perdebatan yang sengit antara kaum muda dan kaum tua mengenai paham agama. Pada tahun 1918, saat itu Hamka berusia 10 tahun dan ayahnya membangun pondok pesantren dengan nama "Sumatera Thawalib" yang terletak di Padang Panjang. Saat itulah ia melihat ayahnya yang sedang menyebarkan paham dan keyakinannya.
Hingga akhir tahun 1924, saat itu Hamka berusia 16 tahun dan ia akan diberangkatkan menuju Kota Yogyakarta. Di sana ia belajar dan bertemu dengan para anggota pergerakan Islam modern diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Suryopranoto, dan H. Fakhruddin. Mereka mengadakan kursus pergerakan di Gendong Abdi Dharmo, Pakualaman. Setelah belajar bersama, Hamka mulai mengenal perbandingan Politik Islam antara Syarikat Islam Hindia Timur dengan Gerakan Sosial Muhammadiyah. Setelah lama di Kota Yogyakarta, ia menuju Pekalongan untuk bertemu dengan guru sekaligus adalah kakak iparnya yaitu A.R Sutan Mansur yang berjabat sebagai ketua Muhammadiyah di Pekalongan. Di sana Hamka bertemu dengan Citrosuarno, Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo, dan Mohammad Roem.
Pada Juli 1925, Hamka kembali ke Padang Panjang dan ikut serta mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya. Kemudian pada bulan Februari 1927, Hamka berangkat menuju Mekkah. Ia bermukim selama 6 bulan dan kembali pada bulan Juli 1927. Sepulang dari Mekkah, pada 5 April 1929, Hamka menikah dengan Siti Raham. Hamka menerima perjodohan itu karena merasa bersalah telah merantau ke Mekkah tanpa pamit. Setelah menikah, ia aktif kembali dalam kepengurusan Muhammadiyah dan ditunjuk untuk menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1936, Hamka hijrah ke Medan bekerja sebagai penulis majalah di Pelita Andalas, Medan. Kemudian memimpin majalah Pedoman Masyarakat dan dalam rangka penerbitan Pedoman Masyarakat itu tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Ir Soekarno, dan Mohammad Hatta turut memberi sumbangan dalam pergerakan nasional. Saat di Medan, Hamka menekuni dunia sastra. Kumpulan puisi, syair, dan roman ditulis olehnya. Dua roman percintaan dengan kesan dakwah yang ditulisnya yaitu buku Dibawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelam Kapal Van Der Wijck yang laris terjual.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, penokohan dan kepopuleran Hamka sebagai ulama muda menarik perhatian Pemerintah Jepang dalam rapat besar umat Islam di Sumatera. Pada tahun 1942 di Medan, Hamka dimanfaatkan untuk membantu kepentingan militer Jepang. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 membuat Hamka ikut tenggelam dalam Revolusi. Pada tahun 1950, Hamka pindah ke Jakarta dan sempat aktif di Kementrian Agama pada bagian urusan haji. Pada pemilu tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota dewan konstituante mewakili Partai Majelis Syuro Muslimin Islam (Masyumi) dari Muhammadiyah. Perjuangan di medan politik ini mengantarkan hidupnya kepada pengalaman tragis, Dekrit Presiden tahun 1959 mengakibatkan bubarnya Dewan Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar. Setahun setelah itu, Ir Soekarno mengharuskan bahwa Partai Masyumi untuk membubarkan diri sebelum 17 Agustus 1960. Peristiwa itu sekaligus menandai berakhirnya peran Hamka dalam berpolitik. Ir Soekarno yang telah lama menjadi sahabat Hamka kini menjadi seorang musuh politik.
Karya Sastra
Selain dikenal sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai sastrawan. Pada saat Hamka pergi menuju Madinah, Beliau bekerja sebagai percetakan dan penulis. Ketika itu beliau bekerja sebagai penulis majalah dan kemudian Hamka menghasilkan karya pertamanya yang berjudul "Chatibul Ummah" yaitu berisi kumpulan pidato. Kemudian beliau merilis karya kedua yaitu "Tafsir Al-Azhar" berisikan kumpulan ceramah atau kuliah subuh yang nantinya akan disampaikan di Masjid Agung Al-Azhar. Setelah itu dibuatlah sebuah novel klasik dengan judul "Di Bawah Lindungan Ka’bah" menceritakan tentang adat dan tradisi di Tanah Minang. Selain itu, novel tersebut memberikan pandangannya tentang pola pikir kehidupan. Pada tahun 1938, Hamka menulis novel dengan judul "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" novel ini menceritakan tentang adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar sosial budaya yang menghalangi hubungan asmara dengan sang kekasih sampai akhir hidupnya.
Wafat dan Penghargaan
Buya Hamka wafat pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 bertepatan pada bulan Ramadhan. Beliau dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan karena beliau memiliki peran yang sangat penting dan sebagai ulama yang berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Beliau juga mendapatkan Penghargaan sebagai Pahlalwan Nasional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.