Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pardomuan Gultom

Memaknai Kurban

Agama | Thursday, 29 Jun 2023, 16:44 WIB
Ilustrasi kurban (foto: rejogja.republika.co.id)

Ada beberapa tradisi kurban yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain pada masa dahulu kala. Bangsa Yunani, misalnya, membagi-bagikan daging kurban kepada mereka yang hadir untuk dijadikan berkat dan menyisihkan sebagiannya untuk keluarga mereka. Ada juga para ahli nujum dengan cara menuangkan madu dan air dingin ketika menyuguhkan daging kurban yang diikuti oleh hadirin dengan memercikkan air mawar dalam lingkungan majelis (Jayusman, 2012).

Kurban yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu tidak hanya berbentuk hewan, tetapi juga berbentuk pengorbanan manusia, seperti kebiasaan bangsa Funicia, Syuria, Parsi, Romawi dan Mesir kuno. Tradisi ini terus berlanjut di masa Romawi hingga dikeluarkannya larangan pada tahun 587 masehi. Demikianlah pelaksanaan kurban berbagai bangsa menurut kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Memaknai Kurban

Kata “kurban” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti mempersembahkan kepada Tuhan (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari raya lebaran haji) (KBBI, 1996). Kata “kurban” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Arab. Ada 3 (tiga) buah kata yang mempunyai pengertian kurban, yaitu: al-nahr, qurban, dan udhiyah. Kata “al-nahr” yang berarti kurban hanya sekali terdapat dalam Alquran dalam surat al-Kautsar dengan menggunakan bentuk amr, yaitu inhar. Kata “nahr” dari segi bahasa berarti “dada”; sekitar tempat untuk meletakkan kalung. Jika dikatakan nahrtuhu, maka maknanya saya mengenai dada dalam arti menyembelihnya (Jayusman, 2012).

Bentuk yang kedua dari kata “qurban” berasal dari kata “qaraba”, yang berarti “dekat”, yang sesuai dengan tujuan ibadah kurban, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata “qurban” digunakan untuk pengertian pelaksanaan ibadah kurban. Bentuk yang ketiga adalah kata “udhhiyah”. Udhhiyah untuk pengertian ibadah kurban dapat ditemukan dalam beberapa bentuk, yaitu udhiyah, idhiyah (dengan bentuk jamaknya udhhahi, dhahiyah), Adhah (dengan bentuk jamaknya dhahaya), dan adhha (Husain; al-Kanadhalawi, dalam Jayusman, 2012).

Secara etimologi, kurban, yaitu hewan yang dikurbankan atau hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Dalam hal ini, penamaan sesuatu, yaitu Idul Adha dengan nama waktunya, yaitu Dhuha (matahari naik sepenggalahan) (al- Ma’luf; al-Zuhail, dalam Jayusman, 2012), dimana pada waktu itulah pelaksanaan ibadah kurban.

Terkait dengan definisi kurban, ahli fikiq mengajukan beberapa terminologi (Jayusman, 2012), yaitu: pertama, Wahbah al-Zuhaili menyatakan kurban adalah menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada waktu yang telah ditentukan. Atau binatang ternak yang disembelih guna mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari Idul Adha. Kedua, ‘Abd Rahmân al-Jazîrî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala Madzhib al-Arba’ah, menyatakan kurban adalah binatang ternak yang disembelih atau dikurbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari idul kurban; apakah orang yang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak. Kalangan Malikiyah menyatakan ibadah kurban tidak diperintahkan bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji. Menurut kalangan Malikiyah karena mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji telah ada pensyari’atan dam (al-Hadyu). Dan ketiga, Hasan Ayyûb menyatakan kurban adalah unta, sapi, kambing yang disembelih pada Idul Adha dan hari-hari tasyrik dengan tujuan unuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dari definisi tersebut, dapat diambil beberapa pokok pikiran tentang ibadah kurban sebagai berikut, yakni: pertama, binatang yang dikurbankan adalah binatang tertentu, yaitu unta, sapi, kerbau, biri-biri, domba, dan kambing serta yang sejenis dengannya. Kedua, waktu pelaksanaannya pada hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik. Dan ketiga, tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sejarah Ibadah Kurban

Hari raya Idul Adha berkaitan erat dengan pelaksanaan ibadah kurban dan ibadah haji yang juga berkaitan dengan nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang memiliki posisi mulia dalam agama Samawi. Muhammad Quraish Shihab dalam “Membumikan Alquran” (1994) dalam Jayusman (2012) menyebut bahwa nabi Ibrahim hadir pada suatu masa persimpangan yang menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan. Kehadiran nabi Ibrahim ketika dipeselisihkannya manusia diperbolehkan sebagai persembahan kepada Tuhan. Secara profetik, melalui Ibrahim, larangan pengorbanan tersebut ditegaskan. Alasannya bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk dikurbankan, tetapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Shihab, 1994).

Ali Shariati dalam bukunya yang berjudul “Haji” (1983) yang dikutip oleh Jayusman (2012), menyebutkan bahwa Ismail bukan hanya sekedar putra bagi nabi Ibrahim, tetapi ia adalah buah hati yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya dari Tuhan sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan kesetiaannya kepada Allah.

Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh keduanya, yaitu nabi Ibrahim dan putranya, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi kurban penyembelihan tersebut dan menggantikannnya dengan seekor domba sebagai pertanda hanya karena kasih sayang-Nya kepada manusia, maka praktik pengorbanan seperti itu tidak diperkenankan (Jayusman, 2012).

Hikmah Ibadah Kurban

Ibadah kurban, seperti juga ibadah lainnya, merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang merupakan manifestasi dari iman. Tujuannya adalah untuk mencapai derajat taqwa. Ibadah kurban merupakan perwujudan rasa syukur atas nikmat Allah yang tak terhingga jumlahnya yang telah kita terima.

Menurut Jayusman, melalui ibadah kurban, umat manusia mengenang kembali dan mencoba meneladani kesetiaan nabi Ibrahim dan putranya Ismail kepada Allah. Rangkaian peristiwa yang dialami nabi Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai hari raya Idul Adha mampu mengingatkan bahwa yang dikurbankan tidak boleh manusianya, tetapi yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti rakus, ambisi yang tidak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum atau norma apapun. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan, dan dijadikan kurban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah (Jayusman, 2012).

Dengan demikian, tidaklah ada kaitan antara daging dan darah dengan qurban (kedekatan) kepada Allah. Kalaupun ada, tujuannya yakni dalam rangka meringankan beban mereka yang membutuhkan, membela orang yang lemah dan meningkatkan derajat ke manusiaan (Sabiq; Shihab, dalam Jayusman, 2012). Dari kisah keteladanan nabi Ibrahim, manusia dapat mengambil pelajaran bahwa harus siap mengorbankan segala sesuatu yang paling kita cintai sekalipun, guna menjalankan perintah Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image