Terapkan Fair Trade, Starbucks Menjadi Merek Kopi Terbaik Dunia
Bisnis | 2023-06-26 16:05:57Beberapa tahun terakhir popularitas coffe shop dan penikmat kopi meningkat drastis. Dikutip dari laman Statista, konsumsi kopi dunia pada periode 2020/2021 berjumlah 166,35 juta kantong berukuran 60 kilogram. Sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yakni sejumlah 164 juta kantong. Meminum kopi menjadi salah satu life style yang kerap dilakukan, baik oleh anak muda maupun orang tua. Saat ini ‘ngopi’ tidak hanya sekedar untuk menikmati minumannya, verba tersebut mengalami perluasan makna seperti dijadikan ajang bersosialisasi dan menunjukkan eksistensi.
Animo yang besar dari penikmatnya membuat industri kopi menjadi ladang yang sangat prospektif sehingga berbagai perusahaan berkompetisi untuk menghasilkan minuman kopi terbaik. Numero uno-nya pastilah terbersit merek Starbucks. Perusahaan kopi asal Seattle, Washington, Amerika Serikat ini berdiri sejak tahun 1971 dan mulai merambah pasar internasional sejak 1980-an. Starbucks tidak hanya menjual minuman kopi, tetapi juga memperkenalkan budaya minum kopi di luar ruangan serta mengambil kesempatan di tengah komunitas yang mayoritasnya adalah pekerja (Harford, 2006). Kepraktisan kopi dalam kemasan yang mudah dibawa kemana saja menjadi ide Starbucks yang mudah diserap oleh konsumen karena dibalut dalam berbagai budaya pop. Kampanye periklanan yang dilakukan oleh Starbucks antara lain dengan film, musik, poster, hingga eksposurnya dengan para selebriti ternama.
Tak hanya itu, Starbucks menarik masyarakat untuk mengonsumsi kopinya dengan skema kampanye Fair Trade yang menciptakan kesinambungan antara petani dan produsen kopi dengan konsumen. Hal itu membuat masyarakat tertarik untuk memilih membeli Starbucks dibanding merek lain yang tidak menerapkan konsep Fair Trade. Menurut Alex Nichol dan Charlotte Opal, Fair Trade adalah sebuah development tools yang berfungsi untuk melindungi produsen lokal di negara yang lemah. Tujuannya adalah untuk menetapkan harga yang layak bagi petani kopi di negara berkembang agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Pada tahun 2000, Starbuck mengadopsi skema CAFÉ (Coffee and Farmers Equity) yang memiliki standar dan prinsip Fair Trade. Langkah tersebut dilakukan sebagai respon terhadap globalisasi yang membawa dampak tidak meratanya pendapatan, menawarkan iklim perdagangan yang lebih baik, serta melindungi hak-hak produsen yang seringkali terpinggirkan terutama di negara berkembang (Rizqiyanto, 2017).
Seringkali konsumen yang memutuskan untuk membeli produk Fair Trade adalah orang yang sadar akan globalisasi dan kemiskinan di negara dunia ketiga dan tergerak secara etis untuk mengubah kondisi tersebut dengan daya belinya. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa konsumen cenderung membeli produk yang mengklaim bahwa mereka peduli isu sosial dan lingkungan. Salah satunya adalah penelitian Elliot dan Freeman di Inggris yang menyatakan bahwa 74% orang akan membeli produk berlabel ‘peduli sosial dan lingkungan’. Begitu besarnya pengaruh dari masyarakat salah satunya tercermin pada aksi demonstrasi yang meminta Starbucks untuk menerapkan Fair Trade. Sejalan dengan aksi itu, NGO Global Exchange bahkan mengancam akan memboikot Starbucks. Dengan menargetkan suatu perusahaan tertentu, akan semakin mudah membangkitkan kesadaran masyarakat akan suatu isu sehingga mereka menggunakan cara tersebut (Stanley, 2002).
Dilansir dari artikel jurnal berjudul “Starbucks’s Fair Trade in The Edge of Globalization” oleh Saomi Rizqiyanto, terdapat beberapa alasan mengapa Starbucks menggunakan Fair Trade dalam perdagangannya, sebagai berikut:
· Riset Cone Communication menunjukkan sejumlah 62% responden akan mengganti produk yang mereka gunakan jika tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut.
· Riset Alison Maitland menunjukkan 75-80% konsumen akan menghargai perusahaan yang menerapkan nilai-nilai etis, sisa 20%-nya akan meninggalkan perusahaan yang tidak peduli pada isu sosial.
· Riset Luxury Institute menunjukkan banyak orang Amerika yang kaya dan berpendidikan menginginkan perusahaan yang mempertimbangkan nilai etis dan bertanggung jawab untuk isu sosial.
Alasan tersebut sangat masuk akal, mengingat Starbucks merupakan perusahaan yang berorientasi pada konsumen. Pada akhirnya, konsep Fair Trade merupakan salah satu faktor pendukung agar masyarakat tertarik untuk mengonsumsi produk Starbucks ketimbang merek lain yang tidak melakukan upaya-upaya memperjuangkan isu sosial dan lingkungan.
Salah satu faktor pendukung yang melejitkan nama Starbucks di mata konsumen adalah penggunaan konsep Fair Trade. Dengan konsep ini, Starbucks dapat menarik calon konsumen yang peduli akan isu-isu sosial dan lingkungan untuk mulai membeli produknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.