Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andien Razaq Sandi Prasetyo

Sempitnya Ruang Aman di Internet Bagi Perempuan

Edukasi | Sunday, 25 Jun 2023, 23:24 WIB

Beberapa waktu lalu jagad dunia maya diramaikan dengan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang terjadi di kota Padang. Seorang pengguna Twitter dengan username @cakuegurl membongkar kasus revenge porn yang menimpa sepupunya sendiri. Tindak kekerasan ini dilakukan seorang mahasiswa bernama Panji Adinul, yang merupakan mahasiswa Universitas Andalas (Unand).

sumber: ELSAM.

Melalui Twitter, sepupu korban menceritakan bahwa pelaku memang pernah memiliki hubungan spesial dengan korban. Namun, saat korban memutuskan hubungan mereka, pelaku justru tidak terima dan memilih untuk menyebarkan foto dan video yang diambil tanpa sepengetahuan korban. Pelaku diketahui mengirimkan foto dan video korban ke beberapa teman sosial media korban dan keluarga korban. Tak hanya itu, pelaku juga mengirimkan foto dan video itu ke beberapa pelanggan coffee shop tempat korban bekerja.

Kasus KBGO berupa revenge porn ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sudah banyak kasus yang terjadi, namun tak semua kasus berhasil ditindak karena banyaknya korban yang tidak berani melapor dengan berbagai alasan. Revenge porn merupakan salah satu bentuk kekerasan di internet yang seringkali menimpa perempuan. Dalam kekerasan ini, korban akan menyebarkan konten sexually explicit milik korban tanpa persetujuan dan dengan tujuan untuk memeras atau menyakiti korban.

Berdasarkan data Komisi Nasional anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terungkap bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah siber 6,3 kali lebih banyak dari kasus kekerasan yang terjadi secara langsung. Selama 2023 ini, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada sebanyak 869 kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan di ranah siber. Sedangkan untuk kasus kekerasan yang terjadi secara langsung berjumlah 136 kasus. Bahkan, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional Tahun 2021 yang dilakukan KemenPPPA dan BPS, sebanyak 8,7% perempuan berumur 15-64 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online sejak berumur 15 tahun. Bahkan, sebanyak 3,3% perempuan mengalami kekerasan seksual secara online dalam setahun terakhir.

Komnas Perempuan sendiri meyakini jika kasus KBGO di masyarakat layaknya fenomena gunung es. Di mana ada banyak kasus yang terjadi tetapi tidak tercatat karena banyak korban yang tidak berani melapor. Menurut Komnas perempuan setidaknya ada berbagai alasan yang membuat korban tidak berani melapor. Mulai dari rasa takut yang dialami korban, rasa malu terhadap keluarga dan teman dekat, sampai ketidaktahuan korban kemana mereka harus melaporkan kasus kekerasan yang menimpa mereka. Hal ini tentu harus menjadi perhatian berbagai pihak, untuk mencegah perempuan menjadi korban KBGO. Sebab, kekerasan ini dapat berdampak sangat signifikan bagi korban dan dapat membuat korban trauma seumur hidupnya.

Di Indonesia sendiri, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, dalam UU TPKS ini pemerintah hanya secara eksplisit menyebutkan perihal kekerasan berbasis elektronik (KBGE). Dalam undang-udang ini, KBGE hanya dijelaskan dalam 3 makna saja. Pertama melakukan perekaman atau pengambilan gambar tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, dan melakukan penguntitan dengan tujuan seksual.

Hal ini tentu sangat disayangkan, karena UU ini belum bisa memberikan kepastian dan mekanisme yang memadai dalam proses penyidikan kasus KBGO, termasuk pemulihan korban. Selain itu, UU ini juga akan semakin membuat korban semakin rentan terhadap kasus KBGO, mengingat cepatnya distribusi dokumen elektronik melalui sosial media.

Sebagai perempuan, hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dirinya menjadi korban revenge porn adalah waspada dengan mengobservasi perilaku pasangan. Selain itu, mereka juga harus mengetahui jenis-jenis kekerasan seksual. Apabila terlanjur korban, perempuan dapat melakukan beberapa tindakan sesuai panduan SAFENet dalam mengatasi KBGO. Pertama mereka perlu menyusun kronologi dan menyimpan barang bukti untuk melakukan proses pelaporan ke jalur hukum. Tidak hanya itu, mereka juga perlu melakukan konsultasi psikologis dalam rangka pemulihan dan penguatan mengingat panjangnya proses pelaporan tersebut.

Tingginya intensitas penggunaan ruang digital harusnya mendesak dibuatnya lembaga rujukan yang secara spesifik diperuntukkan untuk melindungi hak-hak masyarakat di ranah digital khususnya bagi perempuan yang rentan menjadi korban KBGO. Keterbatasan penanggulangan isu kekerasan berbasis gender khususnya online mendorong kurangnya sensitivitas gender dalam mencermati isu tersebut. Hukum di Indonesia dianggap belum responsif karena kecenderungan terhadap nilai patriarki yang justru memicu konsep Blaming The Victim. Sehingga, UU ITE dan UU Pornografi tidak berperspektif pada korban.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image